Senin, 20 Oktober 2008

Sebuah Lagu dan Catatan Perpisahan

”selamat tinggal semua, bukan aku tak cinta
tiada lagi tersisa, bahkan mimpi kubawa
....
selamat jalan kawan, bukan aku tak cinta
mungkin saja kau benar
semoga saja kau benar”
Iwan Fals, Semoga Kau Benar, Album 1910

Petikan lirik lagu dari Iwan Fals yang judulnya "Semoga Kau Benar" ini kembali terngiang di kepala saya. Saya lupa kapan terakhir kalinya saya memutar lagu itu. Sebelum lulus SMA lagu itu bisa sempat mengisi hari-hari saya. Tapi, siang ini entah kenapa saya benar-benar ingin mendengarkannya lagi.

Waktu SMA dulu, sebagian dari petikan lagu diatas pernah saya katakan pada beberapa orang sahabat saya yang akan mengikuti ujian saringan mandiri di UGM, Yogyakarta sana. Saya (tentunya) berharap bahwa apa yang mereka lakukan dengan keputusan mereka mudah-mudahan benar adanya.

Berpisah dan meninggalkan sesuatu adalah sebuah konsekuensi yang datangnya satu paket dengan kejadian itu sendiri. Entah siap atau tidak tapi kenyataan datang untuk dihadapi lalu dijalani. Memang tidak selalu kita berpisah dengan lambaian tangan atau pun tangis sendu di bibir pelabuhan. Perpisahan mungkin terjadi begitu saja tanpa persiapan apa-apa bahkan ucapan selamat tinggal sekalipun.

Kalaupun perpisahan ini harus terjadi untuk sebuah alasan biar waktu saja yang membuktikan bahwa memang perpisahan itu layak adanya.

Hasta luego mi amigos*),



*) Sampai berjumpa lagi, kawanku - dari bahasa Spanyol


Pharmindo, 20 Oktober 2008, 12.31

Selasa, 14 Oktober 2008

Catatan Seorang Pengangguran (2)

Tuan-tuan dan Puan-puan,
Hari ini menurut kabar yang sudah beredar ada beberapa departemen yang untuk kesekian kalinya membuka lowongan untuk menjadi PNS/CPNS. Sebuah kesempatan lagi bagi kami untuk mencoba peruntungan.

Memang beginilah keadaan dari tahun ke tahun. Beribu pintu lowongan dibuka namun sebandingkah dengan jumlah kami yang semakin bertambah dari hari ke hari? Berpa orang dari kami yang akan masuk pintu itu? Suatu jumlah yang tidak akan masuk akal bila melihat perbandingannya. Setiap tahunnya pula sebagian dari kami memang menunggu kesempatan yang diberikan pemerintah untuk menjadi abdi negara. Kami tentu bersaing dengan mereka yang desersi dari pekerjaannya yang sekarang sehingga angka perbandingannya tentu akan naik pula. Maka, anda-anda jangan heran bila melihat kelakuan kami ini yang sengaja mendaftar untuk semua posisi yang tersedia walau kadang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan.

Kami memang begini karena keadaan yang menginginkannya. Keadaannya sudah seperti ini sehingga memaksa kami untuk berbuat yang demikian. Sungguh, keadaan telah memaksa kami. Kami memang harus melakukan semua ini sebagai usaha untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Masalah penempatan di unit kerja dan kualifikasi pendidikan biarlah nanti atasan kami yang mengurusnya dengan memberikan penyesuaian. Kami membeli harapan dan mimpi untuk jadi abdi negara yang seluruh sisa hidupnya akan dibiayai oleh negara bahkan untuk sekedar bernafas sekalipun.

Tuan-tuan dan Puan-puan tentunya akan tertawa bila melihat kami hari ini yang sedang mengantri di bawah panas matahari ibukota yang membara. Kami mengantri sepanjang hari ini hanya untuk menyerahkan persyaratan yang dibutuhkan sebagai pelengkap dokumen administrasi. Kami mengantri untuk sekedar meyakinkan panitia penerimaan bahwa kami ini pantas dan layak untuk dipanggil dan diterima untuk mengikuti proses selanjutnya. Kami mengantri dengan harapan Bapak Menteri benar-benar membaca surat lamaran kami yang ditujukan kepadanya.

Tuan-tuan dan Puan-puan yang terhormat,
Tentu dulu anda tidak sempat mengalami hal yang demikian. Saya yakin sebagian dari anda juga ada yang pernah mengalaminya namun dengan kondisi yang jauh berbeda dibandingkan dengan saat ini. Atau malah anda-anda ini benar-benar tidak sempat sama sekali untuk merasakan yang demikian ini. Mungkin, anda tidak seperti kami karena anda punya cara yang lebih jitu daripada sekedar mengantri untuk daftar. Anda-anda ini punya jurus yang lebih cepat untuk masuk dan diterima sebagai abdi negara. Saya tidak perlu sebutkan cara-cara atau jurus-jurus itu. Anda sendiri yang lebih tahu. Tentu saya tidak akan berprasangka yang macam-macam karena masih dalam suasana bulan Syawal. Namun, kalau ada semacam pretensi ke arah yang negatif apa boleh buat karena memang realita menunjukkan yang demikian itu.

Dulu, sebelum anda-anda menduduki kursi yang empuk baik di perjalanan menuju kantor hingga akhirnya benar-benar kembali berada di ruang kantor apakah anda pernah berpikir bahwa anda-anda juga dulunya sama seperti kami-kami ini? Sebelum karir anda-anda menanjak sedahsyat sekarang pernahkah terlintas dalam benak bahwa memang banyak cara yang bisa dilakukan untuk diterima sebagai pegawai dan berkarir dengan sangat cepat walau kadang mungkin saja untuk menghalalkan segala maca cara termasuk menciumi tangan atasan setiap berjabat tangan?

Pernahkah anda-anda sekalian berpikir tentang nasib kami? Pernahkah anda-anda sekalian memikirkan sebuah solusi agar kami ini juga punya kehidupan sendiri dan tentunya nasib yang lebih baik? Pernahkah juga anda-anda sekalian berpikir untuk merasakan bagaimana bila menjadi seperti kami? Apakah anda-anda pernah punya pretensi untuk sekian ratus halaman surat lamaran yang segera jadi omong kosong belaka karena tidak pernah dibaca oleh perusahaan yang dituju dan segera masuk ke paper shredder?

Semuanya bisa terjadi di dunia yang serba tidak pasti ini. Semuanya masih mungkin untuk terjadi bahkan tanpa pesan pembukaan semata. Seperti anda yang tiba-tiba mendapatkan surat rekomendasi untuk naik jabatan yang berarti semuanya akan ikut naik, mulai dari tunjangan hingga biaya-biaya dinas lainya.

Tuan-tuan dan Puan-puan,
Alangkah hidup ini begitu menyenangkan bila dijalani bukan dengan kepalsuan. Kepalsuan ada dimana-mana. Ia ada dan mengintai di sekitar kita. Kita menjadi palsu tanpa harus menjdi jahat. Kita menjadi palsu agar bisa diterima sebagai pribadi yang utuh-padahal tetap saja palsu.

Kami juga sangat mungkin untuk berada dalam jalur kepalsuan. Kami bia memalsukan segalanya seperti anda yang membuat travel cheque palsu. Kami juga bisa menjadi palsu hingga luntur hakikat diri kami yang sesungguhnya. Kami bisa menjadi palsu hinggatidak lagi menjadi diri kami yang sebenarnya dan seutuhnya. Bukankah kepalsuan-kepalsuan itu memang dibutuhkan di dunia kerja nanti?

Tuan-tuan dan Puan-puan,tentu anda lebih tahu dan piawai untuk hal ini. Anda-anda ini tentu sudah seiring berurusan dengan hal ini. Seperti ketika saat anda menemui bawahan yang patuh benar pada perintah anda dan pada akhirnya anda tidak akan pernah menyadari bahwa si bawahan itu adalah si penjilat paling hebat. Bukankah itu sudah menjadi suatu bagian dari pekerjaan anda-anda bukan?

Kepada anda-anda yang membaca tulisan ini lewat internet di PC Desktop, laptop, PDA atau HP sekalipun, anda-anda yang membaca tulisan ini sambil ditemani segelas cappucino hangat. Kami tidak akan menuntut sesuatu pada anda-anda semua. Kami tidak minta untuk dikasihani agar diberikan pekerjaan atau mungkin hanya selembar nota/surat rekomendasi. Tidak. Kami tidak butuh itu.

Kami bukanlah pengangguran seperti di Amerika sana yang masih diberi kepercayaan untuk mengajukan kredit ke Bank yang pada akhirnya menusuk pemerintahan mereka sendiri yang terlilit krisis global. Kami juga bukan pengangguran seperti di Brunei sana yang tetap dibayar oleh negara dengan jumlah yang cukup.

Kami adalah bagian dari takdir. Dimana ada kaum pekerja, disana ada juga kaum pengangguran. Kami adalah bagian dari nasib yang malah justru harus menentukan nasib kami sendiri. Kami akan selalu ada di dunia ini untuk melengkapi dunia.

Kami adalah pengangguran yang senasib sepenanggungan dengan kaum pengangguran lainnya yang ada di bangsa di anak benua manapun. Kami belum memiliki pekerjaan walau kualifikasi kami kadang mencukupi. Kami adalah pengangguran yang tetap berusaha untuk keluar dari sirkuit kemelut*) yang sangat tidak menyenangkan ini. Apapun yang terjadi, kami ingin menjadi diri kami sendiri. Kami tidak ingin kehilangan harga diri hanya karena kami adalah pengangguran.


Pharmindo, 14 Oktober 2008, 08.35

*) Sirkuit Kemelut, sebuah judul novel karya Ashadi Siregar

Senin, 13 Oktober 2008

Catatan di Masa Krisis

Dalam hari-hari yang kujalani kembali sebagai seorang pengangguran, aku merasa tidak ada yang perlu untuk kuceritakan apalagi sampai harus membuatkan tulisan tentangnya. Namun, tiba-tiba aku merasa harus menulis sesuatu. Baiklah, aku tidak akan menulis tentang bagaimana keseharian seorang pengangguran. Aku tidak akan bercerita padamu tentang hari-hari seorang pengangguran yang selalu sama dari detik ke detik berikutnya. Aku tidak akan bercerita tentang hidup seorang pengangguran yang sedikit demi sedikit aka mengalami krisis. Aku juga tidak akan bercerita bahwa nasib memang selalu membutuhkan teman untuk bercerita. Suatu saat mungkin nasib akan menghampirimu dan ia akan bercerita padamu tentang bagaimana seorang pengangguran hanya bisa bermimpi dan menabur harapan untuk masa depan.

Semuanya kembali seperti biasa. Dunia pun memang begitu adanya. Kini aku bukan lagi seorang pustakawan yang selalu menulis Surat dari Bukit. Sudah lama pula aku tidak menulis catatan yang selalu diakhiri dengan kata Salam dari Bukit. Lebaran sudah berlalu. Saatnya kembali pada kenyataan yang hampir biasa. Kota-kota besar akan penuh sesak dengan kaum pendatang yang membeli mimpi di kampungnya dan berharap mimpinya itu jadi kenyataan di kota. Semua itu terjadi begitu saja setiap tahunnya. Mungkin suatu saat nanti aku juga akan jadi bagian dari mereka yang datang untuk menantang kehidupan di metropolitan yang semakin gemerlap oleh mereka yang menanamkan uangnya.

Pada hari yang biasa ini, rupanya dunia kita sedang (kembali) mengalami krisis. Dunia ini sudah bertambah tua namun krisis demi krisis salaing bergantian untuk menggerogoti dunia ini. Krisis apa yang belum pernah dunia ini alami? Krisis Nuklir? Krisis Pangan? Krisis Lingkungan? Atau yang lebih parah Krisis Kemanusiaan? Kali ini krisis keuangan yang bersumber dari negerinya Rambo itu membuat seluruh dunia merasakan getirnya dan mereka semakin merasa bahwa punya uang di masa sulit seperti ini benar-benar berharga walau nilai tukar terhadap dolar semakin turun. Dari Bursa Efek Jakarta hingga New York Stock Exchange semuanya ambruk tak terkecuali. Bahkan, BEJ sempat ditutup selama beberapa hari karena ada sentimen panik dari para pemain di lantai bursa.

Berita tentang krisis ini akan sama setiap harinya dimana pemerintahan di seluruh penjuru dunia akan memberikan bail out terhadap sektor perbankan yang memang menjadi objek dari krisis ini. Pada berita lainnya, kabar tentang indeks gabungan sejumlah lantai bursa akan diberitakan mengalami penurunan indeks yang cukup signifikan setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berita semacam itu akan mejadi langganan headline sebuah koran nasional dan breaking news yang muncul setiap jamnya dari sebuah televisi nasional.

Krisis ini setidaknya membuka mata dunia bahwa Amerika Serikat memang berperan besar dalam terjadinya badai krisis dunia ini. Malapetaka ini berawal dari tidak kunjung selesainya kasus ”subprime mortgage” atau kredit perumahan di Amerika sana. Begitulah, tanpa penyelesaian yang pasti dan dibiarkan semakin larut dalam kekacauan ekonomi lokal maka seluruh dunia pun ikut menanggung beban dari krisis ini. Kenapa Amerika Serikat selalu saja dijadikan kiblat ekonomi modern? Kenapa kurs nilai tukar mata uang dengan dolar amerika selalu jadi patokan kemajuan ekonomi suatu bangsa?

Aku rasa semua ini hanya akal-akalan saja. Tentu ada aktor dan sutradaranya dibalik semua kejadian ini. Semua ini hanya omong kosong agar IMF mau kembali menjulurkan tangannya pada setiap negera yang terlibas badai krisis ini. Sama seperti yang bangsa ini hadapi sekitar 1 dekade yang lalu. Lagu lama ini akan diputar kembali dengan cara yang lebih global, modern, dan lebih canggih untuk menghadapi infrastruktur keuangan dan ekonomi Indonesia yang lebih kuat dibandingkan 10 tahun yang lalu.

Aku yakin ada skenario besar yang mengatur semuanya. Kurang lebih mirip dengan skenario Calciopolli yang menjungkalkan Juventus ke Serie-B di Italia sana. Skenario ini akan berjalan dengan mulus karena pada dasarnya persepsi seluruh warga dunia sudah sama bahwa mereka pada akhirnya akan menyadari dunia ini sedang mengalami krisis. Pembentukan persepsi yang melibatkan peran media ini tentu akan mempermudah sang sutradara untuk menjalankan semua rencana-rencana yang tersusun rapi dalam berkas-berkas seusai rapat. Rencana-rencana yang baru akan terungkap 3 atau 4 tahun ke depan, ketika seluruh warga dunia akhirnya menyadari juga bahwa mereka sebenarnya hanya jadi bagian dari permainan omong kosong ekonomi dunia.

Kejadian seperti ini tentu mirip dengan yang terjadi di Indonesia pasca krisis di tahun 1999 dimana IMF memberikan tangannya untuk menyelamatkan bangsa yang karam ini. Presiden dimasa itu ”dipaksa” untuk menandatangani nota kerjasama yang sebetulnya merugikan seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Maka, apabila pada medio 2003 negeri kita kembali ribut tentang divestasi beberapa BUMN strategis dan liberalisasi pendidikan dengan merubah PTN-PTN menjadi BHMN semua itu hanyalah sisa-sisa dari bom waktu yang disetel 3 atau 4 tahun ke belakang itu. Kita hanya akan jadi sitting duck (sasaran empuk) dari rudal-rudal skenario global yang mewakili kepentingan kaum imperialis-kapitalis modern.

Aku rasa untuk saat ini krisis ini belum benar-benar terasa bagi kami kaum pustakawan dan belum terlambat pula bagi kami untuk menyadarinya. Kami hanya mengikuti beritanya saja lewat koran yang dilanggan setiap bulan dan internet yang selalu kami buka sebelum berdoa untuk memulai pekerjaan. Kalau memang krisis ini benar-benar menyapa dan memberi salam selamat pagi Dunia kepada kami, aku belum tahu akan seperti apa jadinya dunia ini.


Salam dari Pharmindo,


Pharmindo, 13 Oktober 2008, 08.41

Selasa, 07 Oktober 2008

Catatan Di Awal Bulan Syawal

Seperti biasanya. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh untuk ke-1429 kalinya ini kurang lebih masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Hampir sama kalau tidak mau dibilang masih sama. Shalat Ied di lapangan, makan ketupat, sungkeman lalu menangis, silaturahmi ke rumah tetangga dan sanak saudara. Rasanya, semua itu juga kita lakukan tahun kemarin. Catatan ini ditulis pada malam pertama dimana titik-titik hujan masih malu-malu untuk turun, tumpah, lalu membasahi tanah yang bercucuran air mata ini. Catatan ini ditulis sebagai catatan pembuka di awal bulan Syawal.

Catatan ini dimaksudkan untuk menjadi penanda bahwa telah terjadi sesuatu di hari ini. Masih sesuatu yang biasa dan entah sampai kapan masih akan terasa biasa. Catatan ini ditulis oleh seorang Pustakawan yang telah mengakhiri masa kerjanya. Pada catatan yang ia tulis tepat di hari yang sama pada awal bulan kemarin, ia menulis tentang catatannya ketika Ramadhan sedang menuju awalnya. Kini, Ramadhan telah berlalu meninggalkannya, dan ia menulis kembali catatannya di hari ketika bulan Syawal menggantikan Ramadhan tepat di hari Idul Fitri.

Bulan ini adalah awal dari sebuah petualangan yang mungkin akan segera dimulai. Petualangan yang mungkin jadi awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan untuk terbang tinggi dan lebih tinggi lagi. Perjalanan yang menjadi awal dari sebuah akhir. Perjalanan yang ditandai dengan sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang sulit namun memang seharusnya sudah terjadi. Aku telah membuat keputusan untuk terbang tinggi lagi. Aku telah memutuskan untuk memulai hidupku lagi. Hidup yang hanya akan kujalani dengan diriku sendiri. Hanya diriku saja. Aku telah memutuskan untuk tidak terikat lagi. Aku hanya ingin jadi diri sendiri sebelum aku lupa rasanya jadi diri sendiri.

Aku memutuskan untuk kembali menjadi diriku sendiri. Itulah kenapa sebabnya aku bisa bilang ini adalah sebuah keputusan yang sulit. Sulit sekali untuk menjadi diri sendiri. Begitu sulitnya, hingga aku sendiri tidak tahu apa aku masih punya sisa-sisa dari diriku yang dari kemarin hingga hari ini memang begini-begini saja. Aku masih ingin menjadi diri sendiri.

Aku tidak ingin lagi terjebak dan terperangkap dalam sebuah situasi pekerjaan yang baru kini kusadari bahwa memang semua itu tidak menyenangkan. Alangkah tidak menyenangkannya apabila kita kehilangan perasaan bahagia di akhir pekan untuk dihabiskan bersama deretan daftar di dalam database Athenaeum dan tumpukan buku yang menunggu untuk disampul. Belum lagi, kehilangan waktu untuk sekedar berselonjor sambil mendengarkan suara si penyiar pujaan di akhir pekan yang selalu menyenangkan. Atau, waktu untuk sekedar diam dan tidak melakukan apa-apa. Semuanya terjadi padaku pada situasi pekerjaan yang kemarin. Aku benar-benar tidak bisa menjadi diriku sendiri. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang lain. Orang lain yang asing sekali bahkan untuk diriku sendiri. Aku menjadi sesuatu yang terasing di semesta yang memang kuciptakan sendiri. Aku bagaikan horizon terasing*) yang yang jauh berada di titik langit yang entah dimana ujungnya.

Memang sulit untukku untuk terus menjadi anggota baru dari kaum pekerja yang mengabdi pada suatu profesi yang lalu kemudian masuk perangkap comfort zone. Sebuah daerah yang selalu menjadi perbincangan hangat oleh para pemandu karir, motivator, hingga pakar SDM. Aku tidak menampik kenyataan bahwa pada akhirnya aku juga akan menjadi bagian dari mereka. Mereka yang selalu bangun pagi dan pulang di sore hari. Mereka yang selalu bekerja 8 jam sehari dengan 1 jam istirahat. Mereka yang selalu bersemangat dan bergembira bila akhir pekan datang tanpa undangan. Suatu saat, aku juga ingin menjadi bagian dari mereka. Mereka yang selalu berpacu dengan waktu dan deadline. Mereka yang merasa wajib menjadi sesuatu. Bahkan jika jadi omong kosong sekalipun.

Aku akan jadi bagian dari mereka. Bangun pagi dengan mata yang masih pedas dan melangkah gontai untuk mandi dan pada waktu aku membuka mata aku sadari betapa kenyataan dalam hidup ini terjadi apa adanya. Terjadi begitu saja walau tanpa pembukaan dan akhir yang indah. Kenyataan yang kadang pahit getirnya telah aku rasakan sementara entah pahit atau manis yang lain masih menunggu untuk aku rasakan. Betapa hidup ini akan terasa setelah mata ini tidak terpejam lagi. Lihatlah perjuangan menghadapi kenyataan. Sebuah kisah yang tertulis akan menjadi cerita dari mereka yang terlibat dan bermain-main di dalamnya. Aku akan menulis kisah itu. Merangkai catatan demi catatan yang kutuliskan di hari yang aku menjalaninya sebagai sebuah kemestian.

Apapun itu, dengan keadaanku yang sekarang, aku hanya ingin jadi diri sendiri yang mengikuti arus hidup yang entah dimana muara hulunya. Aku akan ikuti kemana angin berhembus. Aku masih ingin jadi diri sendiri. Aku masih ingin terbang. Jauh. Jauh tinggi. Hingga hanya mimpi saja yang mampu menembusnya. Flying high to the mountain high**).

Begitulah yang terjadi padaku sekarang. Hei, tidakkah kau ingin bertanya padaku bagaimana aku akan menjalaninya? Aku rasa belum saatnya aku bercerita. Aku baru saja memutuskan untuk (kembali) menjadi seorang pengangguran yang bersaing dengan lebih dari 4 juta orang sepertiku. Bersaing untuk menjadi sesuatu. Bersaing untuk berbuat sesuatu. Bersaing untuk menang. Pada sebuah dunia yang disebut hidup. Dunia yang kau dan aku sedang jalani.


Bandung, 1 Oktober 2008, 23.29


*) Horizon Terasing, sebuah judul Pameran di Selasar Sunaryo Art Space Bandung
**) bagian dari lirik lagu Sherina dengan judul Better Than Love, album Primadona, 2006

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...