Jumat, 17 April 2009

Hanya Sekedar Cerita

Apa yang bisa dikira dari sebuah senyuman manis di pagi hari? Senyuman yang biasakah? Atau sekedar senyuman pelapis rasa hormat pada atasan dan rekan sejawat?

Pagi-pagi sekali ia sudah datang menungguku. Perempuan itu lagi. Ia hanya menatapku sekilas lalu berlalu begitu saja. Entah kemana, aku tidak perlu tahu dan itu bukan urusanku. Aneh. Entah sudah berapa lama ia menunggu, lalu setelah bertemu denganku ia malah berlalu meninggalkanku. Siapa dia? Aku rasa aku mengenalnya.

Hari-hari selanjutnya aku tidak pernah lagi bertemu dengan perempuan itu. Aku terlalu sibuk untuk sekedar berpikir siapa dan darimana asalnya. Aku tidak peduli. Tiba-tiba saja aku merasa tidak harus mengerjakan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Aku lebih senang berdiam diri saja. Tapi bagaimana caranya dalam ruanganku yang dikelilingi oleh jendela tanpa tirai.

Dalam kesepian yang Cuma sekilas itu aku memutar kembali memori kepadanya. Aku merasa pernah melihatnya dalam sebuah pertemuan. Aku lupa entah dimana, namun aku masih ingat lekuk wajahnya.Ah, aku hentikan saja pikiranku. Aku tidak ingin pikiranku terbang melayang kesana.

Aku masih melamun. Aku tidak mau melanjutkan pekerjaan. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Maka, akan lebih baik diam saja. Dalam diam aku teringat lagi padanya. Bukankah ia perempuan yang waktu itu tidur di rumahku? Bisa saja. Pertemuan bisa terjadi kapan saja dimana saja dengan siapa saja.

Ya, aku ingat. Ia adalah perempuan yang waktu itu dirumahku. Aku ingat sekarang. Dunia ternyata terlalu sempit sampai kita selalu bertemu dengan seseorang yang itu-itu lagi. Ada gejolak dalam hatiku yang ingin bicara dengannya. Tapi, aku kira aku tidak harus melakukannya. Aku tidak ingin membuka sekedar percakapan dengannya. Aku anggap pertemuan yang aneh itu hanya romantika hidup belaka.Aku sama sekali tidak ingin mengenalnya lantas mengajaknya bercinta. Tidak, aku tidak ingin.

Aku hanya inginkan hidup yang biasa saja. Tidak perlu ada kejutan juga tidak apa-apa. Yang jelas segala sesuatunya sudah begitu adanya sehingga tak perlu lagi ada banyak tanya mengghinggap. Kalau suatu saat hidup ini ternyata penuh kejutan maka akan kuterimakan juga sebelum ternyata kusadari bahwa kejutan adalah bagian dari hidupku juga. Apakah hidup ini terlalu membosankan? Tidak juga. Hidup ini tidak pernah terasa membosankan jika kau tahu bagaimana membuatnya menjadi menyenangkan. Hidup adalah permainan. Ada yang menang, selalu ada yang kalah. It’s just a game. Yeah...lets play.

Mainkan apa saja dalam hidupmu. Bolehlah sekali-kali supaya tidak stuck di pekerjaanmu yang sekarang ini. Anggap saja pekerjaanmu itu Cuma main-main. Buatlah aturanmu sendiri. Tidak usah ikuti aturan atasan atau perusahaan. Your game, your rules! Buatlah semacam itu, agar engkau merasa nyaman dengan dirimu sendiri. Mainkan saja peranmu. Jalankan strategi. Cari banyak kawan lalu kalahkan musuh. Mengalah untuk menang. Menikam dari belakang.

Lalu tentang perempuanmu, apakah engkau juga harus menjadikannya sebagai objek permainan? Aku rasa itu tergantung penilaianmu terhadapnya. Apakah ia memang layak dibegitukan? Mengapa tidak kau mainkan saja permainan cinta yang paling dahsyat untuknya? Berikan ia ciuman paling beringas yang kau punya. Berikan pula ia kenikmatan yang hanya bisa kau berikan. Bukan dari lelaki lain. Buat ia merasa bahwa kaulah segalanya. Berikan ia segala yang ia inginkan lalu kau tinggalkan. Bukankah itu semua hanya bagian dari permainan? Hahaha. Aku tidak sedang mengajarimu untuk berbuat kurang ajar. Aku hanya sekedar menjelaskan padamu bagaimana caranya bermain.

Kembali pada hidupku. Aku rasa aku sudah selesai dengan perempuan itu. Yang penting aku sudah benar-benar yakin bahwa memang itu dia. Selesai sudah. Tak usah diperpanjang. Tak usah kau tanyakan lagi siapa dia yang tidur dirumahku, apa yang telah aku lakukan padanya. Tidak usah lagi ada pertanyaan.


*****

Hidup ternyata hanya berlalu begitu saja. Setidaknya buatku, aku tidak tahu apa-apa tentang hidupmu. Dalam keadaan seperti ini aku selalu merasa harus pergi. Aku akan pergi. Jauh dari hidup yang sekarang ini. Aku akan membuka lagi lembaran baru sejarah. Aku pergi bukan karena aku merasa bosan pada keadaanku yang sekarang. Bukan pula karena perempuan itu. Perempuan yang kutemukan di pagi hari yang berkabut. Tiada kesan khusus.

Aku telah bersiap untuk memulai perjalanan kembali. Aku belum tahu kemana tujuanku. Aku tidak lagi bangun pagi-pagi dengan mata yang perih. Aku tidak lagi tergesa-gesa untuk sarapan. Aku tidak perlu lagi bersusah payah mengerjakan seluruh file-file yang berserakan di meja keparat itu. Aku tidak perlu lagi membuat laporan-laporan sialan yang akan segera jadi omong kosong. Aku bersyukur untuk tidak perlu merasakannya lagi. Setidaknya untuk beberapa saat karena aku tidak pernah tahu kemana takdir memaksaku.

Bisa saja setelah engkau membaca tulisanku ini aku akan kembali terperangkap menjadi seorang pekerja lagi. Atau malah aku menjadi pembunuh bayaran yang selalu disewa untuk membunuh seseorang. Bisa itu seorang caleg pemenang suara terbanyak di Pemilu kemarin, atau juga Anggota DPR yang sedang dalam proses penyidikan oleh KPK. Apalagi di waktu sekarang ini sehabis Pemilu yang gombal dan krisis yang masih belum mau pergi. Apapun bisa terjadi. Semua kemungkinan masih terbuka. Tiada yang tak mungkin.

Perjalanan ini telah dimulai. Lika-likunya mulai bisa kurasakan. Setiap dengus nafasnya pun masih dapat kuraba. Aku memulai kembali perjalanan yang entah apakah akan berujung pada suatu keniscayaan atau ketiadaan. Aku belum tahu apakah perjalanan ini segera akan jadi saksi atas pilihanku.

Aku melangkah. Sekali, dua kali, terus melangkah dengan perasaan yang biasa saja. Seperti sudah aku bilang, aku merasa harus segera pergi. Maka aku terus melangkah maju. Tak ada yang kusesali. Semua telah kutinggalkan. Tiada lagi tersisa bahkan mimpi kubawa.

*****

How if God was one of us...*)

Aku tidak pernah berharap untuk melibatkan Tuhan dalam setiap hal yang kulakukan. Aku hanya jalani hidup yang Cuma begini ini. Aku tidak pernah tahu agama itu apa. Aku punya agama hanya karena turunan dari orang tuaku saja, selebihnya aku tidak pernah tahu agama itu untuk apa dan apa gunanya. Aku pernah dengar bahwa Tuhan memang berkuasa atas segalanya. Aku tidak yakin. Aku tidak pernah tahu Tuhan itu ada. Aku hanya tahu dunia ini sudah begini dari sananya. Tidak ada sesuatu pun yang menjaganya.

Tapi, belakangan ini aku justru cenderung untuk berpikir bahwa Tuhan itu memang ada. Aku belum belajar lagi tentang agama tapi seakan semua pertanda jelas adanya. Tuhan memang selalu ada dalam setiap perkara yang ku alami. Agaknya, aku mulai termakan omongan seorang teman. Temanku itu bilang kalau Tuhan memang ada dan semua yang terjadi di dunia ini sudahlah tentu dibawah kuasaNya. Hebat sekali omongannya bukan? Tahu darimana dia tentang Tuhan. Sedang aku tahu sendiri kalau kelakuannya jauh dari apa yang Tuhan ajarkan. Lho, tahu darimana aku tentang ajaran Tuhan. Sudahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi. Kalau memang Tuhan itu ada, biar Tuhan sendiri saja yang mengingatkanku nanti. Sekali lagi, kalau memang Tuhan itu ada dan Tuhan tidak lupa.

Jenuh aku berpikir tentang Tuhan. Aku tidak mau lagi memikirkannya. Setidaknya, sampai suatu saat nanti dimana Tuhan benar-benar tidak lupa untuk mengingatkanku. Dalam perjalanan ini banyak hal yang tiba-tiba menyeruak ke dalam pikiranku. Semua kenangan, pahit, getir, manis, rindu, kehilangan, kecewa, itu hanya sebagian saja. Aku menatap mereka kembali satu persatu pada cermin masa lalu.

Kenangan. Bicara tentang kenangan tanyakanlah pada Merbabu yang menjadi saksi atas kerinduan yang tidak pernah tersampaikan. Tanyakan padanya tentang bagaimana kenangan itu terbuat dari serpihan debu yang bercampur dalam kabut kerinduan. Tanyakan padanya tentang siapa pula yang telah menjadikan kenangan itu pernah menjadi berarti sebelum akhirnya tidak jadi apa-apa. Aku terkenang padanya. Perempuan yang lahir di bulan Januari yang pernah menyita perhatianku untuk beberapa masa. Aku terkenang padanya kala membayangkan sore itu dengan Merbabu yang kini sedang tegak dihadapanku. Waktu itu Merbabu memaksaku untuk merindukan seseorang dan entah kenapa pilihannya ada perempuan itu.

Dalam bayangan pepohonan yang masih berkelebat di luar jendela aku masih terbayang pada perempuan itu. Mengingat kembali padanya seakan membuka sebuah ruang hampa yang telah terkubur lama. Kenangannya berhembus bagaikan udara yang mengisi setiap ruang hampa untuk lalu melebur kembali dalam semesta. Sayang sekali dia tidak pernah tahu. Aku terlalu malu untuk mengatakannya. Aku tidak ingin dia tahu. Cukup aku dan hatiku saja yang tahu, mungkin Tuhan juga tahu. Selebihnya aku tidak ingin tahu.

Bicara tentang kekecewaan, apalagi yang harus kuceritakan? Bukankah kau sudah tahu semuanya. Aku memang belum pernah bercerita padamu, tapi aku yakin kau pasti tahu lewat tulisanku. Aku tidak mau membahas cerita lalu itu. Aku tidak ingin melihatmu mengasihaniku lewat cerita ini.Aku tidak ingin membagi cerita itu padamu. Suatu saat nanti, kalau kau sudah tahu rasanya bolehlah kita bertukar cerita.

Entah sudah sejauh mana perjalanan ini kutempuh. Dalam malam gelap yang Cuma hitam disekelilingku ini. Malam bagaikan selimut tebal raksasa. Pekat. Malam adalah misteri. Misteri dalam kegelapan yang menebal. Sekarang, aku terjebak didalamnya. Aku berjalan kaki saja setelah turun dari bis. Aku nyalakan rokok dan mulai menikmatinya.

Ada banyak cerita, ada banyak kisah. Semua terangkum jadi satu dalam setiap lembaran memori. Banyak yang terungkap, ada yang tiba-tiba menyublim dalam hening. Semuanya meradang jadi satu dalam debur hati yang tak pernah berhenti terbantah oleh sepi.



*) dari lirik lagu One of Us, dinyanyikan oleh Joan Osborne

Kelapa Gading, 17 April 2009


Rabu, 08 April 2009

Pada Suatu Pagi

Pada gerimis pertama di Bulan Mei. Dalam kabut tebal menutupi keremangan pagi. Matamu masih terpejam bersama nyanyian pagi dari burung-burung yang hinggap di dahan pohon itu. Engkau masih saja melanjutkan mimpi yang terpenjara karena ruang dan waktu. Selimutmu masih melingkari lekuk tubuhmu, mengingatkanku pada Megan Fox yang telanjang ria didalam selimut kala photoshoot untuk sebuah majalah. Tapi, tentu kau bukan dia. Kau hanyalah kau seorang. Seperti yang ada didalam kepalaku.

Aku beranjak menyambut pagi. Dengan secangkir kopi panas dan roti sisa semalam. Aku duduk di teras sambil menatap kosong pada jalanan yang sepi. Kabut masih ada Cuma tipis saja. Aku biarkan pintu jendela terbuka supaya kau terjaga. Dalam pagi yang seperti ini apa yang akan aku lakukan, aku tidak tahu. Aku hanya ingin menikmatinya saja.

Mendung masih menjagal pagi ini. Aku pikir hujan akan turun sebentar lagi. Aku masuk ke dalam sebentar, ia masih tertidur. Lelap. Rasanya, tak ada beban yang hinggap di matanya. Semoga kedamaian menghiasi tidurnya. Perlahan waktu beranjak. Aku tidak ingin melakukan apa-apa. Aku habiskan kopi dan roti itu. Lumayan, sekedar pengganti sarapan.

Aku ingin menikmati hari liburku ingin dengan santai saja. Entah kenapa aku seperti ingin berjalan-jalan. Baiklah, aku akan jalan keluar sebentar, sekedar menyapa tetangga yang sedang nongkrong di teras sambil baca koran atau menyapu halaman. Tapi, aku harus meninggalkan dia. Tak apa. Hanya sebentar saja.

Aku mengambil jaket. Nyalakan sebatang rokok. Lalu melangkah perlahan menyusuri jalanan yang semakin sepi. Aku lihat banyak penghuni rumah yang sudah bangun. Lampu jalanan sudah dimatikan. Namun, agaknya mereka hanya beraktivitas didalam ruangan saja. AKu masih menghisap rokok yang semakin hambar ini. Aku terhenti pada suatu persimpangan. Ada semacam pos ronda disana. Maka aku duduk sebentar.

Aku tidak sedang merokok. Hanya diam saja termenung sendirian sambil menyandar pada dinding bilik yang basah karena embun. Dalam lembap, seribu tanya menghujam. Tiba-tiba saja aku teringat dia. Dia yang sedang kutinggalkan sendirian di rumah. Dia yang kutinggalkan dalam tidurnya yang hening. Aku belum benar-benar mengenal dia. Siapa dia, darimana asalnya, aku belum tahu. Aku belum tahu apa memang aku yang lupa? Aku tidak yakin.

 

Rasanya kemarin tidak ada seorang perempuan pun yang tidur di kasur itu. Lalu kenapa pagi ini dia ada disitu? AKu malah tambah bingung. Aku benar-benar tidak ingat kejadian semalam. Padahal semalam aku tidak mampir kemana-mana, langsung pulang setelah bekerja. Aku hanya ingat kalau pagi ini aku bangun setelah tertidur diatas sofa. Tak ada perasaan aneh kala melihat dia ada di tempat tidur. Apa yang telah terjadi semalam? Aku bangun sambil masih mengenakan baju yang kupakai seharian kemarin. Lalu, dia masih tertidur dengan pakaian yang lengkap-tidak telanjang. Tidak ada botol minuman hanya ada gelas-gelas bekas minum kopi yang belum dicuci.

Aku masih mereka-reka sambil mengingat beberapa kejadian semalam. Apakah kita semalam memang tidur bersama lalu terpisah setelahnya? Apakah yang benar-benar terjadi semalam? Tidak ada petunjuk. Aku masih tidak yakin. Perasaanku semakin gelisah. Hati kecilku berkata sekedar untuk menenangkan bahwa tidak ada yang benar-benar terjadi.

Aku melangkah pulang. Pagi masih mendung. Gerimis masih turun. Tak ada sinar matahari. Kabut menipis. Burung-burung masih diam di dahan seperti enggan untuk terbang. Perutku mulai lapar, tandanya minta sarapan.

Aku tiba di rumah. Dia masih tertidur. Tidak terganggu dengan jendela yang kubiarkan terbuka. Semakin kutatap wajahnya, semakin aku tidak ingin membangunkannya. Tidak ada yang ingin kulakukan dengannya. Maka aku biarkan saja. Radio kunyalakan, beritanya masih seputar pemilu dan jalanan yang macet. Resiko hidup di kota besar. Televisi...ah tidak ingin aku menontonnya. Lagipula, pag-pagi seperti ini acaranya hanya penuh omong kosong ala selebriti. Aku membuat sarapan pagi. Seperti biasa hanya nasi dan telur dadar saja.

Sepertinya, akan lebih baik jika dia saja yang membuatkan sarapan untukku. Alangkah nikmatnya hidup kalau seperti itu. Tidak perlu lagi melakukannya sendirian. Hahaha. Tapi memang hidupku ya begini ini. Semuanya harus kulakukan sendirian.

Sambil menikmati sarapan, aku terus memandanginya. Cantik juga rupanya. Kau bisa lihat dari alis matanya, lalu lekuk bibirnya. Badannya pun bagus, seperti lekukan Mercy C-Class. Tegas namun lembut. Tapi sayang, aku tidak pernah tahu makhluk seperti apa dia ini. Selesai sarapan, aku mendekatinya. Aku duduk tepat disampingnya. Aku gerakkan tanganku didepan hidungnya. Aku rasakan nafasnya. Artinya, dia ini benar-benar manusia.

Gila. Seorang perempuan yang tidak jelas asal-usulnya tidur di rumah seorang bujangan. Aku tidak takut terhadap pandangan orang yang aneh setiap melihat kasus yang seperti ini. Buatku ini tiada bedanya. Hanya, sekarang ada seorang perempuan yang sedang tertidur di rumahku. Itu saja. Lagipula, aku tidak mengenalnya. Dan yang paling penting, aku tidak melakukan apa-apa dengannya.

Pagi mulai beranjak. Udara mulai menghangat. Kabut perlahan menghilang. Jalanan masih sepi. Mentari mulai nampak, sinarnya masuk lewat jendela kamar. Aku lihat sinarnya menepuk pipi perempuan itu. Ia masih tertidur juga. Sekarang aku yang bingung. Apa yang telah terjadi pada perempuan ini sehingga tidurnya begitu lelap? Pilihlah jawabanmu sendiri, seperti kau memilih wakilmu di Pemilu.


Kelapa Gading-Cijerah, 8 April 2009, 11.22

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...