Kamis, 30 Agustus 2012

Tiga Surat Cinta untuk Aninda (3-habis)

Aninda cintaku, manisku, sayangku,

Hari-hariku disini sebentar lagi usai. Engkau tentu membayangkan aku mengunjungi tempat-tempat yang pernah kita idamkan saat menonton bersama serial drama “Surgeon Bong Dal Hee” dan “Fashion 70’s”. Pengetahuan dan wawasanmu selalu bertambah usai menyaksikan bagaimana dr. Ahn mengoperasi pasiennya. Engkau pun tentunya makin paham tentang ego dan persaingan sesama dokter. Dari semua itu Aninda, aku selalu salut akan rasa penasaranmu pada sejarah perang Korea. Seperti engkau tahu, aku pun sama penikmat sejarah walau tidak pernah hafal tanggal berlangsungnya pemberontakan PRRI dan Permesta.

Sejarah bagiku adalah hal yang sangat penting untuk menandai keberadaan kita di dunia ini. Masa depan dibangun dari puing-puing sejarah. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah selalu ada untuk kita berkaca, berkontemplasi, dan menatap diri lebih dalam.

Aku selalu kebingungan menjawab pertanyaanmu soal Perang Korea. Perang yang berlangsung selama tiga tahun itu dimulai oleh serangan Korea Utara pada 25 Juni 1950. Perang baru reda pada 25 Juli 1953. Tidak lama memang, engkau tahu sendiri penjajahan Jepang di Indonesia pun hanya berlangsung empat tahun. Tetapi, dampak dan akibat yang dihasilkan dari invasi Jepang itu sendiri lebih kejam dan sporadis dari tiga setengah abad umur pendudukan Belanda.

Aninda, aku kini membayangkan wajahmu lengkap dengan kerutan dahi usai bertanya soal perang itu. Engkau masih tidak percaya bahwa perang yang singkat itu menimbulkan dampak yang begitu besar bagi keutuhan sebuah keluarga. Telah engkau saksikan sendiri Aninda, bagaimana perang membuat pertalian sebuah keluarga menjadi berserakan seperti yang dialami Kang Hee dan Deo Mi. Mungkin nanti, saat aku telah kembali, kita bisa membaca lagi sejarah Perang Korea ini bersama. Kata temanku, Majalah Horison bulan April kemarin menampilkan esai seorang Profesor asal Korea yang membahas soal Perang Korea dan hubungannya dengan perkembangan sastra di negerinya Ahn Jung Hwan* ini.

Sehari sebelum kepulanganku, Kim dan Lee mengajakku mampir ke sebuah tempat yang masih ada hubungannya dengan ketertarikanku soal sejarah. Kim dan Lee tahu itu sejak mereka menjadi tamu istimewaku dulu di Jakarta. Kami pernah bertukar pandangan soal dunia susastra yang dipengaruhi oleh gelombang sejarah masing-masing bangsa di belahan timur bumi ini.

Pagi tadi, aku berdiri dihadapan National Museum of Korea. Museum yang namanya serupa dengan Musium Nasional negeri kita, Aninda. Sayangku, museum ini besarnya luar biasa. Museum ini adalah museum keempat terbesar di dunia. Engkau bisa membayangkan sendiri bagaimana luasnya museum ini. Lee menjelaskan bahwa dibutuhkan delapan belas jam untuk mengelilingi seluruh museum ini. Bayangkan Aninda, delapan belas jam hanya untuk membaca peradaban yang dibentuk atas nama sejarah. Delapan belas jam dikotamu mungkin hanya jadi jumlah waktu kerja seharian belaka. Namun disini, bisa jadi delapan belas jam yang fantastis.

Aninda tercinta, suatu saat nanti bila kita datang ke museum ini bersama tentu engkau akan melihat sendiri bagaimana sejarah dikemas secara menarik. Penyajian artefak dan sistem penandaan koleksi museum sangat informatif. Dibalut dengan penerangan yang begitu anggun dan elegan. Seakan kita dibuat lupa bahwa sejarah itu tidak mengandung kebenaran. Kim dan Lee bergantian menjelaskan satu persatu peninggalan sejarah bangsanya disana. Aku jadi ingat Guru Sejarah kita, Ibu Guru Enny, yang selalu antusias membawakan pelajaran dan selalu tahu siapa yang menguap selama pelajaran berlangsung.

Tidak hanya sampai disitu. Kim dan Lee rupanya ingin memberiku kenangan tak terlupakan soal sejarah bangsanya. Aku bersyukur dalam hati karena aku membawa banyak hal untuk kuceritakan kembali padamu, Aninda. Kim dan Lee membawaku mengunjungi Istana Raja Korea Purba bernama Gyeongbokgung Palace. Aroma sejarah kian pekat dari angin yang berhembus menempa. Seperti di museum, aku serasa diundang untuk menjelajahi masa lalu suatu bangsa. Bedanya, di museum tadi kental dengan nuansa modern sedangkan di Istana ini aku melihat akar tradisional bangsa Korea dengan segala keasliannya.

Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat. Aku membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Bangsa Korea memang niat sekali melindungi sejarahnya. Bangunan ini memang nyaris dibumihanguskan oleh Jepang. Namun, Pemerintah Korea sengaja merevitalisasi bangunan ini agar mampu menghadirkan kembali bagian sejarah bangsa yang terancam musnah.

Demikianlah Anindaku, sejarah yang dipertahankan dan diurus dengan begitu serius punya andil dalam membentuk sebuah bangsa yang hebat. Kita perlu belajar bahwa sejarah selalu hadir sebagai bentuk perjuangan melawan lupa. Kita tidak perlu repot-repot menuntut Pemerintah untuk menambal dinding bangunan-bangunan bersejarah macam museum di negeri kita. Kita hanya perlu menatap sejenak ke belakang. Mengenang apa yang telah kita lalui dalam sejarah hidup kita masing-masing. Mengenang hari pertama aku jatuh cinta kepadamu, masa-masa pertengkaran yang selalu berakhir dengan kata maaf, pun hari-hari menjelang pernikahan kita yang segera menanti usai kepulanganku dari Korea ini.

Begitulah Aninda, surat-surat ini pun telah jadi bagian dari sejarah kita. Sejarah yang akan menembus ruang dan waktu bagi anak cucu kita kelak. Sejarah yang akan menuliskan nama kita disana sebagai suatu kesatuan yang utuh, tak lekang oleh waktu.

Peluk hangat dan cium mesra,

Kekasihmu yang akan segera pulang.


Paninggilan, 14 Mei 2012

*Ahn Jung Hwan, pemain sepakbola yang mencetak gol penentu kemenangan Korea Selatan atas Italia 2-1, di perempat final Piala Dunia 2002 lalu.

Selasa, 28 Agustus 2012

Tiga Surat Cinta untuk Aninda (2)

Anindaku, cintaku, 

Apa kabarmu hari ini? Aku harap matahari yang sama menerangi indah harimu disana. Aku ingin bercerita tentang keadaanku hari ini. Usai hari kedua seminar yang sangat melelahkan. Terlalu banyak hal yang tidak harus kita mengerti, Aninda. Terlalu banyak juga hal yang tidak perlu diungkapkan. Hanya saja, aku selalu merasakan kehadiranmu bersamaku disampingku setiap aku menuliskan kata-kata dalam surat ini. Engkau seakan menjelma dalam bayangan malam di sudut jendela kamar itu.

Apa yang aku ceritakan sekarang ini adalah cerita tentang perut kami yang dimanjakan dengan makanan disini. Untungnya, kami terlahir sebagai manusia yang mampu menilai suatu makanan layak disebut istimewa atau tidak. Sesuatu yang tidak dimiliki makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Sarapan kami disini tergolong istimewa. Kami makan pagi di sebuah restoran yang terletak di lobi hotel. Sajian makanan tersedia dalam buffet dan dihidangkan secara bebas merdeka. Kami bebas mengambil apa saja selama berjenis-jenis makanan itu ada disana. Engkau tentu tahu kebiasaan orang Indonesia kan? Seperti itulah kami disana. Menu sarapan yang jarang kami sentuh disini macam roti, kentang, sosis, buah, susu, jus, dan salad menjadi menu favorit kami.

Usai sarapan, kami kembali menghadiri seminar. Masing-masing perwakilan negara anggota ICAO menyampaikan hasil pemikiran mereka. Kami pun kebagian dan turut serta menyumbangkan pemikiran. Paparan itu sukses menuai kritik dan pujian. Aku tidak terlalu ambil pusing. Biar saja temanku itu yang menjelaskan. Aku percaya bahwa ia sudah lebih dari paham mengenai hal itu.

Malamnya, kami merasa segar untuk sekedar mencari angin di Negeri Ginseng ini. Kim dan Lee mengadakan semacam welcoming party kecil-kecilan. Kami disambut lagi oleh hidangan yang mewah dan gemerlap. Aku memang masih kenyang, begitupun kawan lainnya. Tetapi, rasa penasaran kami terlalu besar sehingga kami mencoba banyak makanan yang belum pernah kami kenal. Aku sudah lupa nama-nama makanan itu. Ingatan jangka pendekku agak bermasalah akhir-akhir ini. Aninda, engkau tahu sendiri bahwa makanan Korea yang aku kenal hanyalah kimchi dan bibimbap. Selebihnya, aku lupa. Padahal, Kim dan Lee sudah menerangkan dengan sangat jelas apa yang kami makan itu tadi.

Demikianlah Aninda, betapa makanan yang masuk perut kami ini sejatinya adalah faktor utama terwujudnya perdamaian dunia. Perang, apapun bentuknya, sejatinya disebabkan oleh sekelompok manusia yang selalu merasa lapar atau mereka yang sudah kenyang tetapi lupa untuk berhenti.

Aku tulis surat ini dengan perasaan yang sama seperti saat pertama kali jatuh cinta padamu, Aninda. Hanya kepadamu, Aninda. Perasaan yang sama seperti kemarin, esok, dan seterusnya.

Penuh cinta,


Kekasihmu si sudut kota Seoul.


Paninggilan, 14 Mei 2012.

*ICAO: International Civil Aviation Organization

Senin, 27 Agustus 2012

Tiga Surat Cinta untuk Aninda (1)

Aninda tercinta,

Sayangku, aku kirimkan surat ini dari sebuah bandara paling wahid di dunia. Aku tiba di Incheon International Airport setelah melalui dua belas jam perjalanan yang melelahkan. More than an Airport, beyond expectation. Tulisan itu seperti sengaja menyambut kedatanganku disini. Konon, bandara ini adalah bandara terbaik di dunia. Arsitektur modern yang diterapkan di bandara ini mewakili fungsionalitasnya sebagai ranah publik. Aku belum sempat menulusurinya karena aku sudah terlalu lelah. Transit di Kuala Lumpur yang memakan waktu hampir empat jam membuatku jenuh. Ditambah lagi makanan dan minuman kaleng yang dijual disana tidak membuat perutku puas. Engkau pun tahu, dalam hitunganku hanya ada dua makanan di dunia. Enak dan Enak Sekali. Tetapi, yang tadi itu diluar hitungan. Aku harus menambahkan kategori baru, Tidak Enak.

Sesampainya aku di Incheon ini, aku mencari tempat penyewaan ponsel. Aku mula-mula menyewa ponsel dengan harga yang lumayan mencekik. Bayangkan, aku harus membayar sewa sekitar 3000 won atau dua puluh lima ribu rupiah. Dengan uang sejumlah itu engkau pun tahu kita sudah bisa makan enak di warung Bu Nikmah. Belum lagi, biaya telepon 10 won per detik dan SMS 100 won per sekali kirim. SMS pun tidak bisa international coverage. Memang mahal, tapi aku lakukan juga demi menemukan dua orang sahabatku disini, Kim Min Suk dan Lee Yo Won. Sudah jelas aku tidak bisa menghubungi mereka lewat telepon umum disini. Engkau pun tentu tahu aku tidak seperti Olivia yang rajin belajar bahasa Korea hingga paham aksara Han Geul.

Aninda sayangku, tak lama kemudian Kim dan Lee membawaku ke Seoul. Aku dan empat orang kawan lainnya benar-benar kelelahan. Suasana mobil pun terasa sepi dan hening selama satu setengah jam perjalanan. Aku tidak sempat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan dari Incheon ke Seoul. Aku berharap Kim dan Lee mengerti keadaan kami yang sangat kelelahan ini. Aku terbangun ketika Lee membangunkanku tepat di depan hotel yang namanya sulit sekali untuk dibaca. Seoul KyoYuk MunHwa HoekWan Hotel. Barangkali nanti, engkau bisa tanyakan pada Olivia bagaimana membaca nama hotel itu dengan benar.

Hotel bintang tiga ini tidak terlalu mengecewakan untuk kami. Kira-kira 11 km jauhnya dari pusat kota Seoul. Hotel ini juga tidak jauh dari Seoul National University, tempat Kim dan Lee kuliah Sastra Timur. Besok, Kim dan Lee akan mengajak kami untuk jalan-jalan sebelum kami memulai seminar esok lusa.

Aninda, seperti engkau tahu, perjalanan ini berisi empat orang saja. Perlu aku jelaskan lagi, bahwa kami delegasi Indonesia ini punya misi dalam pertemuan ICAO Legal Seminar ini. Aku sengaja memilih orang-orang terbaik yang memang mengerti masalah legislasi internasional dan teknis operasional penerbangan. Dan yang penting, mereka bertiga bisa diajak kerjasama. Kami punya tujuan mensukseskan program Indonesia untuk kembali masuk dalam ICAO Council. Engkau tahu itu, Aninda. Sungguh tanggung jawab yang amat besar.

Malam ini adalah malam pertama kami di hotel. Apa lagi yang bisa diceritakan dari sebuah hotel, Aninda. Bukankah lebih baik kita bicara tentang mimpi-mimpi malam, tentang impian masa depan, atau malah tentang hidup kita di masa tua nanti. Oh ya, aku tadi lihat pengumuman event Digital Cherry Blossoms untuk menyemarakkan perayaan Festival Cherry Blossom. Sebuah panel berukuran 22 meter nanti akan ditempatkan sepanjang jalur yang menghubungkan area sentral bandara dengan terminal penumpang. Aku membayangkan engkau ada disini bersamaku untuk menikmati musim semi yang selalu menyenangkan.

Aninda, aku ingin mengucapkan terima kasih. Buku tulisan Claudia Kaunang itu sungguh berguna. Sulit membayangkan bagaimana berkeliling Korea dalam sembilan hari hanya dengan bekal uang tiga juta rupiah. Besok, aku akan meminta Kim dan Lee mengantarku ke area perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan. Kata Kim, aku harus menandatangani perjanjian untuk tidak menuntut salah satu pihak bila nanti terjadi kontak senjata disana. Kedengarannya mengerikan memang, tetapi bukankah sensasi semacam itu yang kita cari dalam hidup yang semakin menjenuhkan ini.

Lalu, aku juga akan meminta mereka membawaku ke N Seoul Tower dimana terdapat Pohon Gembok Cinta. Aku akan mengabadikan cinta kita disana, Aninda. Aku akan menulis nama kita di gembok itu dan menguncinya. Konon, ketika gembok itu terkunci, maka pasangan yang namanya ada di gembok tadi tidak akan terpisah untuk selamanya. Kedengarannya romantis bukan, Aninda? Kelak, jika besok aku sampai kesana, akan kugembok tulisan untuk cinta kita:

“Aninda & Anggi, Insya Allah akan bersama kesini, nanti.”



From the corner of Seoul,
Peluk hangat dan cium,

Faithfully yours,


Paninggilan, 14 Mei 2012

Selasa, 14 Agustus 2012

Sebuah Kebanggaan dari Indonesia

Today was definitely not my day. Too much distraction in every way i did. You have your own 'bad day' with your own terms. To me, i don't really know what i feel right now. It's a kind of something that you just can't avoid.

That's not what i'm gonna tell you. 

Agak penasaran waktu tahu @adhityamulya kuis di blog suamigila.com. Aneh aja, secara penulis favorit saya ini jarang ngadain kuis lewat blognya. Barangkali, semangat beliau masih menggebu-gebu soal "apa sih yang bisa dibanggain dari Indonesia?". Sila baca post terbaru berjudul "Bangga Sama Indonesia".

Menjelang perayaan kemerdekaan 17 Agustus, selalu ada pertanyaan dalam benak saya. Apa kita sudah benar-benar merdeka? Faktanya, memang NKRI telah melalui sejarah yang panjang dalam usaha pencapaian kemerdekaannya. Sila baca kembali buku-buku Sejarah Indonesia. Satu fakta yang tidak terbantah hingga hari ini.

Masalahnya, kemerdekaan yang sudah kita rasakan selama 67 tahun ini sudah berdampak apa pada kehidupan kita? Sudahkah bertambah baik, atau malah stagnan hingga hampir masuk jurang kebangkrutan? Masih adakah yang bisa dibanggakan dari sebuah entitas bernama Indonesia? Please noted, bukan sekedar kebanggaan semu hanya karena jadi fans fanatik Timnas Garuda.

Tulisan berikut saya kutip dari tulisan @adhityamulya di blognya:

"Ketika maling ada di mana-mana dan tidak tersentuh hukum, Negara jalan di tempat. Prestasi olahraga tidak terurus. Singapura dan Malaysia yang merdeka lebih lambat dari kita, jadi lebih maju dari kita. MRT gak jadi-jadi karena keberadaannya akan merugikan koruptor. Negeri tetangga udah beres dengan MRT dan bangun marina bay sands dan Menara petronas. Negara lain udah beres bangun kilang minyak, kita masih beli minyak jadi karena itu yang menguntungkan mafia minyak. Satu container berankat dari pulau jawa ke papua berisi semen, dipatok harga ongkos kirim 40 juta rupiah karena ada mafia transportasi yang menguasai. Kasian jadi orang Indonesia. Di mana kita hidup, di sana ada mafia.

Menpora entah sibuk ngapain yang jelas selama dia menjabat, prestasi olahraga ga pernah seancur ini. Menteri pertanian yang dari partai islam itu entah ngapain di departemennya sampe kedelai aja kita impor. Kementerian agam entah ngapain aja yang jelas, banyak data membuktikan bahwa ongkos haji bias lebih murah dari yang mereka patok. Kasian jadi jemaah haji Indonesia. Seharusnya nabung X aja cukup, tapi karena mark up, harus bayar Y. nabung lebih lama. Bukan gak mungkin ada yang meninggal duluan sebelum mampu bayar Y."

Miris memang melihat pencapaian negara tetangga yang merdeka lebih akhir dari Indonesia. Tidak perlu dulu dibandingkan dengan Jepang. Seakan semua pencapaian bangsa kita ini hanya seadanya saja.

Sebuah Kebanggaan

Masih berhubungan dengan kuis dan blogpost diatas, saya mencoba menjawab pertanyaan dari kuis di suamigila.com tadi:

Q:Gue minta kalian untuk sebutkan 1 hal tentang pemerintahan Indonesia yang membuat bangga.

dan inilah jawaban saya:



Entah mengapa, hanya jawaban itu yang terlintas dalam benak saya. Sedikit ngawur dan keluar konteks 'pemerintahan', tetapi bukankah kemajuan industri nasional adalah produk turunan dari Pemerintahan?

Memang benar adanya bahwa Indonesia ini pernah mengalami suatu loncatan dramatis dalam bidang teknologi. Terutama, dalam bidang kedirgantaraan. Tentu kita selalu terkenang akan Pak B.J Habibie dengan revolusinya sendiri untuk mendirikan pabrik pesawat terbang pertama di region ASEAN.

Hasilnya, Indonesia melalui PT. Nurtanio, lalu PT. IPTN, hingga kini PT. Dirgantara Indonesia, mampu memliki beberapa karya yang bisa dibanggakan. Deretan produk seperti helikopter BO105, Super Puma NAS332, CN235, NC212, hingga N250 pernah menjelajahi langit nusantara ini. Saya berharap, program pesawat baru N219 pun akan mengalami hal yang sama dengan para suksesornya.

Saya menyaksikan dan mengalami sendiri kejatuhan industri high-technology ini. Terutama sejak krisis moneter 1998 dan pailit tahun 2003. Saat ini, dengan sumber daya yang tersisa, baik dari sisi fabrikasi dan sumber daya manusia, PT. DI masih bisa bertahan dan membuat pesawat. Terakhir, mereka berhasil menyelesaikan 4 buah pesawat CN235-110 KCG pesanan Korean Coast Guard (Kesatuan Penjaga Pantai Republik Korea Selatan). Ke-4 pesawat varian CN itu melengkapi jumlah lini produk CN235 menjadi 59 buah, varian pesawat produksi PT. DI yang paling laris. Itu belum termasuk pesanan helikopter Super Puma NAS332 dan Bell 412 dari TNI.

CN235-110 KCG pesanan Korean Coast Guard (courtesy: indoflyer.net)

Update terbaru, PT. DI berhasil mendapatkan kontrak untuk membuat komponen pesawat terbang CN295 dari Airbus Military. Dalam bisnis pembuatan komponen, hal itu bukan merupakan sesuatu yang baru bagi PT. DI. Selagi program CN235 dan N250 masih aktif medio 90-an, mereka juga turut membuat spare part pesanan Boeing. Selain itu, tahun 2012 ini, PT. DI sedang melengkapi persyaratan sertifikasi dari Ditjen Perhubungan Udara untuk memulai program rancang bangun dan sertifikasi pesawat baru tipe komuter, N219. Diharapkan, pada 2014 pesawat N219 sudah bisa mengangkasa.

Saya berharap bila program ini sukses kelak tidak akan dijadikan bahan kampanye suatu entitas politik tertentu. Pun, ketika roda pemerintahan berganti tidak lantas menggugurkan segala upaya yang telah dikerahkan hingga saat ini.


Paninggilan, 14 Agustus 2012.

Minggu, 12 Agustus 2012

Mencoba Sukses: Bacaan Wajib (calon) Orang Sukses

"Kenapa harus klep jantung yang gua ambil?"
"Karena gua gak punya klep bajaj." Sutradara gusar.


Sebagai sebuah komedi horor, "Mencoba Sukses" harus dipahami dalam konteks yang disampaikan dalam bagian pengantarnya. Bagaimana buku ini harus dibuat seringkas, ringan, dan sekomedik mungkin. Demi tercapainya tujuan-tujuan yang disebutkan dalam pengantarnya.

Disini, pembaca tidak akan repot dipusingkan soal karakterisasi. Karena, pada umumnya pembaca sudah lebih dulu akrab dengan tokoh-tokoh seperti Pocong, Babi Ngepet (belakangan ganti nama jadi Babi Nge-Pad setelah punya iPad), Genderuwo, Suster Ngesot, Kuntilanak, dan sahabat mereka lainnya.



Personifikasi pada berbagai karakter tadi turut menyumbang sebuah pemaknaan baru. Mereka dibiarkan bermain dan hidup dalam alam imajinasi pembaca. Dari situlah sebuah komedi tampil menampakkan wujudnya. Permainan antara jalan cerita dengan imajinasi pembaca.

Bersiaplah untuk tertawa sepuasnya dengan dialog-dialog yang mengocok perut. Ditambah dengan ilustrasi yang anti mainstream dan cenderung jadi parodi. Belum lagi, fenomena urban yang dirangkum "Mencoba Sukses" jadi bumbu tawa tersendiri.

"Mencoba Sukses" (versi saya) dimulai dengan sebuah email dari Pocong yang jobless usai akting terakhirnya. Untuk pembaca yang belum tamat 'Empat Musim Cinta' tentu saja ini adalah hal baru. Jadi, harus baca dari awal.



Pocong yang baru join di mailing list hantuindonesiaunite mencoba peruntungannya kembali dengan mencari info soal job yang mungkin bisa didapatkannya. Pernah bayangin memedi yang tadi disebutkan saling kirim pesan di milis? Nah, jawabannya ada disini. Mana sampai ada guyon soal Hantu Indonesia Perjuangan, akibat isu keretakan di milis hantuindonesia unite.

Singkat cerita, Pocong bertemu dengan Babi Ngepet dan mulai merencanakan sebuah aksi agar mereka berdua bisa main film. Untuk itu, mereka mencoba segalanya, mulai dari minta tips dari Kuntilanak hingga mendatangi produser yang desperate ingin membuat tiruan film Ayat-Ayat Cinta.


Namun, ketika peluang itu datang, Pocong seakan lupa pada nasib Babi Ngepet. Karena terlalu jumawa mendapatkan peran utama. setelah itu, Babi Ngepet pun serasa kehilangan. Maka, ia pun kembali menikmati facebook dengan iPad barunya. Penasaran kenapa sampai Babi Ngepet bisa punya iPad?

Proses syuting pun berjalan. Ternyata, sebagai pemeran utama akting Pocong tidak seperti yang diharapkan. Diam-diam, Kuntilanak dan Suster Ngesot merencanakan Pocong untuk diganti dengan Jin Tomang. Hal ini juga yang menyebabkan judul film ikut diganti: Ayat-Ayat Jin Tomang.

Dengan harga diri yang berceceran Pocong harus meninggalkan proyek film yang prestisius itu. Apapun alasannya, Pocong tetap tersingkir. Sampai suatu ketika, Pocong kembali mengaktifkan dirinya di milis hantuindonesiaunite dan menemukan sesuatu yang aneh. Babi Ngepet segera menghubungi Pocong.

Babi Ngepet kembali menemui Pocong untuk memberikan sebuah penjelasan. Tak lama, terkuaklah semuanya. Dengan bantuan Toni a.k.a Syaitonirojim, Babi Ngepet berhasil membubarkan syuting film itu. Penjelasan Babi Ngepet itu memang berharga mahal karena membuat mereka berhutang pada Toni.


Adakah solusi untuk membayar hutang itu? Menyadari bakatnya, Babi Ngepet pun menjelaskan idenya pada Pocong. Dengan segera, disaksikan kerlingan bintang kejora, Pocong pun mengumpulan seluruh kepercayaan dirinya, demi satu judul: Pocong Cenat Cenut.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Menyenangkan rasanya melihat penulis favorit kita menulis lagi. Melihat judulnya sepintas 'Mencoba Sukses' membuat saya teringat judul album The Changcuters 'Mencoba Sukses Kembali'. Apa ada hubungannya? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, @adhityamulya penulis "Mencoba Sukses" yang saya kenal itu tergolong penggemar girlband @Princess_Ind.

Tapi, kalau dipikir lebih lanjut, soal judul tadi mungkin ada hubungannya dengan buku-buku @adhityamulya sebelumnya: Gege Mengejar Cinta dan Jomblo. Dua judul dengan predikat bestseller dan terbaik dimasanya (if i may add). Pemilihan nama "Mencoba Sukses" barangkali ada hubungannya dengan dua buku itu tadi. Sebagai representasi sebuah harapan bahwa buku yang baru terbit setelah Catatan Mahasiswa Gila ini meraih kesuksesan yang setara dengan pendahulunya, #GMC dan #Jomblo.

Sungguh sebuah kejutan karena "Mencoba Sukses" adalah sekuel lanjutan dari cerpen "Scene 40 Yang Bermasalah Itu" yang dimuat dalam antologi 'Empat Musim Cinta' (GagasMedia,2010). Ide yang disampaikan dalam "Mencoba Sukses" termasuk sederhana. Justru, dalam kesederhanaannya buku ini malah bisa bercerita banyak. Walau tidak se'berat' #GMC dan #Jomblo.

"Mencoba Sukses" sebagai sebuah bentuk novel ringan bergenre komedi horor mampu berperan ganda. Selain sebagai antitesis mainstream untuk film komedi horo esek-esek juga sebagai penangkap beberapa fenomena yang lazim terjadi di zaman media sosial seperti sekarang ini. "Mencoba Sukses" adalah novel yang berkonteks kekinian yang dipadukan dengan unsur-unsur klenik. Paduan keduanya menghasilkan komposisi jalan cerita yaang ringan, menghibur, walau sedikit absurd.

Dengan demikian, agaknya tujuan @adhityamulya sudah tercapai. Mencoba sukses untuk mendidik Alde dan Arza dan sukses menghibur pembaca yang setia menunggu karya terbarunya.

Judul              : Mencoba Sukses; Sebuah Komedi Horor
Penulis           : Adhitya Mulya
Penerbit         : GagasMedia
Tahun             : 2012
Tebal             : 192 hal.
Genre             : Novel Komedi
 

Pharmindo, 11 Agustus 2012.

Sabtu, 11 Agustus 2012

#KotbahTimeline: Ketika Mimbar Jum'at Pindah ke Twitter

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Ramadhan, bulan dimana karakter kebanyakan orang berubah 180 derajat, entah itu pencintaan atau sekedar pencitraan.

Pernahkah kamu melihat seorang Imam shalat Jum'at membawakan ceramahnya dalam bentuk timeline di Twitter? Kalau belum pernah, barangkali buku Kotbah Timeline ini akan mewakili rasa penasaran itu.


Saya pikir #KotbahTimeline ini sengaja dibuat untuk menangkap fenomena trending topic. Dimana, menjelang waktu Jum'atan lelaki yang entah itu memang berniat untuk Jum'atan atau hanya sekedar pasang status Jum'atan sering dikategorikan sebagai 'orang ganteng'.

Jangan heran bila pada waktu menjelang Jum'at tengah hari orang yang Jum'atan itu dielu-elukan karena kadar kegantengan mereka dipastikan naik setelah menunaikan shalat Jum'at. Agaknya, mengenai hal ini masih diperlukan suatu penelitian dan ukuran yang jelas serta bisa dipertanggungjawabkan. Ini adalah soal lain.



Didorong oleh rasa kagum dan takjub memiliki sosok kakek dan ayah yang penceramah, akhirnya pemilik akun @pergijauh ini memutuskan untuk menjadi seorang penceramah. Bukan sembarang penceramah. Perceramah orisinil dengan pemikiran sendiri. Begitu katanya di pembukaan.

Twit ringan yang ditulis @pergijauh ini dibagi menjadi ke dalam 52 bagian. Mengikuti tanggalan kalender. Niscaya, jika #KotbahTimeline ini dibaca seminggu sekali setiap hari Jum'at pun tidaklah terlalu salah. Karena memang diisyaratkan demikian.

Walaupun terkesan ringan dan penuh humor, ada beberapa pesan yang mengandung kedalaman makna namun tidak menghilangkan kesan populis. Seperti penggalan khotbah berikut:
"Jangan terlalu sering mengumbar doa di Twitter, karena sesungguhnya Gusti Allah benci kepada tweeps yang riya' dan suka pamer" (Khotbah Minggu 1)

atau yang ini:
"Jikalau kau berdoa untuk orang lain, sertakanlah namanya dalam doa-mu, janganlah memakai hashtag #nomention lagi." (Khotbah Minggu 3)

"Bahwa sesungguhnya menghargai Tuhan-mu jauh lebih penting daripada memberhalakan agamamu" (Khotbah Minggu 3)

Membaca #KotbahTimeline di bulan Ramadhan seperti ini memang memberikan sensasi tersendiri. Ramadhan memberikan kita kesempatan untuk berintrospeksi diri. Melihat lebih dalam kepada diri sendiri demi mencapai derajat ketakwaan. #KotbahTimeline setidaknya mengingatkan kembali dasar-dasar pemaknaan suatu ritual ibadah yang biasa kita jalani.



Tidak ada salahnya untuk memilih #KotbahTimeline sebagai bacaan seru yang dibaca ketika Jum'at tiba. Seperti halnya memilih agama, dalam membaca buku ini pun tidak ada paksaan atasnya.

Sebuah bacaan alternatif yang lagi-lagi dihasilkan dari fitur sebuah media sosial bernama Twitter. #KotbahTimeline berhasil menangkap fenomena-fenomena yang terjadi belakangan ini di kalangan Twitteriyah dan menuliskannya kembali sebagai 'sindiran' halus.

Demi kebutuhan untuk saling mengingatkan dalam konteks hubungan antara manusia dengan Tuhannya maupun atara sesama manusia yang kian hari semakin renggang dan mudah retak. Hanya karena perbedaan kecil dalam memaknai suatu sudut pandang.

Sebelum tulisan ini ditutup, si penulis buku ini @pergijauh pun tidak lupa memberikan tata cara memakai sarung yang baik dan benar untuk Jum'atan. Pesan saya, jangan sampai mengikuti cara yang salah. Ingat, anda mau Jum'atan!

Judul               : Kotbah Timeline
Penulis             : Abdul Gofar Hilman
Penerbit           : Plotpoint Kreatif Publishing
Tahun              : Juni 2012
Tebal               : 232 hal.
Genre              : Komedi

Pharmindo, 11 Agustus 2012.

Selasa, 07 Agustus 2012

Perihal Menjadi Imam

Jadi imam itu berat bukan main. Amanah imamah, jangan main-main. Aku belum sanggup tegak untuk itu. Kalau kubaca “Iyyaka na’budu wa-iyyaka nasta’in”, aku merasa bertanggungjawab atas ikrar itu secara kolektif. Menjadi imam itu memimpin sumpah: “Hanya kepada-Mu kami menyembah...”

“Jamaah Kaffah” dalam buku "Tuhan Pun Berpuasa", Emha Ainun Nadjib, Penerbit Buku Kompas, 2012.
 

Menjadi imam atau pemimpin adalah satu hal yang erat kaitannya dengan amanah. Bila saya ditunjuk untuk memimpin shalat berjamaah maka itu merupakan amanah atau kepercayaan yang diberikan kepada saya. Singkatnya begitu. Selama syarat imam shalat terpenuhi maka saya akan pimpin shalat berjamaah tersebut.

Membaca petikan tulisan Emha Ainun Nadjib diatas justru malah membuat saya kembali bertanya pada diri saya sendiri. Kalau saja seorang Emha masih merasa enggan, masih merasa malu kepada Tuhannya, dan sungkan kepada jamaah, karena derajatnya yang sekedar derajat makmum, lha kok saya bisa-bisanya menerima begitu saja pinangan kawan-kawan untuk mengimami shalat mereka.

Padahal, tanggung jawab seorang imam itu cukup berat. Kalau ia membaca Al-Fatihah ia tentu harus paham apa makna shirattal mustaqim. Kalau ia bersujud ia tentu harus paham apa makna dibalik gerakan sujud itu. Kalaulah ia membaca hafalan ayat, sudah barang tentu hafalan ayatnya juga harus kuat. Belum lagi dengan hukum bacaan tajwid yang fasih.

Bila Emha saja masih merasa rendah diri untuk menjadi seorang imam, maka apalah artinya saya ini. Lalu saya jadi bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Apakah saya bisa menjamin penyembahan kepada Allah SWT oleh jamaah dibelakang saya? Apakah saya benar-benar mampu menjadi pandu mereka dalam menghadapi shirattal mustaqim?

Menurut Emha sendiri, kalau mau jadi imam itu sing kaffah. Maksudnya, kalau mampu mengimami shalat maka harus mampu juga memimpin jamaah dalam konteks yang lebih luas. Dalam segala konteks kehidupan. Baik itu dalam konteks ekonomi, sosial, kebudayaan, moral, politik, kemanusiaan, demokrasi, hingga peradaban.

Barangkali, kawan-kawan harus kembali melihat potongan saya. Apakah saya benar-benar bisa menjalankan peran tersebut. Tolong, jangan jadikan saya imam. Biarkanlah saya jadi makmum di barisan shaf paling belakang. Kalau memang masih harus jadi imam, biarlah Allah SWT menempatkan saya kesitu. Supaya saya bisa kaffah, menuruti apa kata Emha. Wallahu'alam bis shawab.



Medan Merdeka Barat, 7 Agustus 2012.

Jumat, 03 Agustus 2012

Press Release: SGA Menolak Bakrie Award 2012

BAGI YANG BERKEPENTINGAN

Bersama ini saya sampaikan, bahwa saya telah menerima surat bertanggal 12 Juni 2012 dari Freedom Institute (terlampir) yang ditandatangani Sdr. Rizal Mallarangeng. Surat tersebut memberitahukan bahwa saya terpilih sebagai penerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2012 bidang Kesusastraan.

Sehubungan dengan kemungkinan diumumkannya para penerima PAB 2012 pada tanggal yang belum saya ketahui, saya menyatakan bahwa saya telah mengirim surat bertanggal 18 Juni 2012 kepada pihak Freedom Institute, yang menyampaikan bahwa penghargaan tersebut sebaiknya diberikan kepada orang lain yang dianggap layak, karena saya tidak dapat menerimanya.

Demikianlah pernyataan ini saya sampaikan, demi kelengkapan berita ketika diumumkan.

Jakarta, 23 Juli 2012

Tertanda

Seno Gumira Ajidarma




Medan Merdeka Barat, 3 Agustus 2012.
NB: Dikutip dari milis Pembaca SGA.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...