Minggu, 13 Januari 2013

A Year in Blogging: The Unread 2012 (2-tamat)

postingan sebelumnya sila klik disini

 
Mei (lanjutan)

The Karamazov Brothers


Akhirnya,  saya menemukan sebuah karya legendaris Dostoevsky ini di sebuah toko buku impor di bilangan Senayan. Secara tidak sengaja usai sebuah diskusi buku yang menghadirkan beberapa penulis seperti Maggie Tiojakin @maggietiojakin, dan Okky Madasari @okkymadasari. Dipandu oleh Feby Indirani @febyindirani acara ini juga menghadirkan editor buku, Hetih Rusli @hetih, yang namanya saya kenal melalui beberapa karya Clara Ng @clara_ng.

Setelah Nagabumi, buku ini menjadi buku tertebal kedua tahun ini. Entah kapan saya punya waktu menamatkan buku berdurasi 870 halaman ini.


Juni

The Kite Runner


The Kite Runner karya Khaled Hossaini ini sudah pernah diangkat ke layar lebar. Seperti biasa, karena saya bukan banci bioskop, saya melewatkan filmnya. Impresi pertama tentang buku ini saya dapatkan dari murid saya dulu, Olivia. Waktu itu, Olivia dengan serius membaca buku ini di pojok perpustakaan. Tidak mungkin tidak ada sesuatu yang menarik dari buku ini.

Saya pun kemudian menemukan versi terjemahan bahasa. Sepintas, garis besar cerita sudah saya dapatkan. Pokoknya, seseorang harus berdiri diantara persahabatan dan pengkhianatan. Sampai saat ini, buku ini masih berdiri dengan tegak, bersebelahan dengan Rock n Roll Mom. Setia menunggu panggilan dari sang pemilik rak.

Rock n Roll Mom



Kisah seorang Ibu tidak akan pernah berhenti memancarkan kasih sayang. Begitu pun pada buku ini. Bunda Iffet, seperti sudah kita ketahui bersama, selalu berada disamping Slank, dalam keadaan apapun. Termasuk, saat personil Slank didera persoalan dengan narkotika.

Apapun alasan dibalik itu semua tadi, yang jelas buku ini belum sempat saya baca. Bahkan hanya untuk highlighting bagian peran Bunda Iffet dalam membantu Bimbim cs lepas dari jeratan narkoba.

Tales From The Road: Mencicip Keunikan Budaya Dari Yogyakarta Hingga Nepal

Keunikan budaya Indonesia kadang menjadi nilai tambah tersendiri bagi seorang pelancong. @matatita dalam buku ini bercerita kembali tentang perjalanan yang dilakukannya ke berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara tetangga.


Pembacaan saya berhenti di bagian pertengahan buku ini. Keburu tertawan oleh “Life Traveler” punya @windyariestanty. Cara penulisan cerita dan sudut pandang dari @matatita membuka cakrawala berpikir pada suatu dimensi lain. Inilah bagian yang paling menarik sepanjang pembacaan buku ini.

Turangga Gila Bola



Sebagai pecinta sepakbola, saya mencoba untuk membaca sebanyak mungkin interpretasi yang muncul atas entitas bernama sepakbola. Termasuk buku ini. Saya pikir buku ini adalah cerita komik. Namun, ternyata bukan. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari pengalaman awal membaca uku ini.

Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus

Buku ini adalah buku kedua dari Meiliana K. Tansri yang saya punya. Setelah sebelumnya dengan berhasil saya menamatkan novel “Konser”, menulis review di blog ini, hingga mendapatkan apresiasi dari penulisnya langsung. Seperti pernah saya tuliskan dalam satu postingan di tahun kemarin. Sila klik disini untuk membacanya.

Ternyata, buku ini adalah bagian kedua dari sebuah trilogi Darah Emas. Belakangan, bagian pertama dan bagian terakhir trilogi ini banyak muncul di bagian diskon beberapa toko buku. Namun, tak lantas hal itu membuat saya segera melengkapi kedua bagian trilogi yang hilang. Saya pun belum tahu kapan akan mulai membaca buku yang masih tersegel utuh ini.

The Bourne Objective

Pada suatu bookfair di Istora, tidak sengaja saya menemukan buku ini dalam tumpukan buku diskon. Ketika itu, saya sedang mencari komik Garfield terbitan Papercutz. Perkenalan dengan Jason Bourne sudah dimulai sejak film The Bourne Identity dirilis, menyusul kemudian The Bourne Supremacy, The Bourne Ultimatum, dan kemarin The Bourne Legacy. 


Image tentang Jason Bourne yang diperankan Matt Damon masih membekas dalam pembacaan awal. Saya tentu berharap buku ini difilmkan seperti buku One Shot yang diangkat ke layar lebar dengan judul Jack Reacher. Agaknya, saya masih harus menunggu lagi apakah masih ada kelanjutan serial Jason Bourne setelah The Bourne Legacy kemarin.

Madonna: Like an Icon

Dalam usaha saya mengumpulkan buku-buku tentang biografi musisi, saya merasa seakan dipertemukan dengan buku ini pada sebuah cuci gudang di Matraman. Saya sudah lupa harga aslinya berapa namun saya dapatkan buku ini for only setengah uang merah. Saya cek ulang lewat Barnes & Noble pada saat tulisan ini dibuat dan di web mereka tertera harga buku baru sebesar USD 9,95.


Buku ini menceritakan perjalanan karir seorang Madonna. Ditulis oleh jurnalis berpengalaman, Lucy O’Brien, buku ini bercerita soal popularitas dan kepribadian sang ‘Material Girl’. Didalamnya juga disajikan foto-foto sepanjang perjalanan hidup Madonna yang dalam buku ini didaulat sebagai  “one of our greatest living pop icons”. Tidak ketinggalan beberapa foto anaknya ikut ditampilkan pula.

Berikut adalah deskripsi singkat dari bagian belakang sampul buku:

"Madonna: Like an Icon" is a groundbreaking biography that finally solves the mystery at the heart of Madonna's chameleonlike existence. Extensively researched and perceptively written by journalist Lucy O'Brien, it explores the complex personality and legendary drive that has made Madonna the most famous female pop artist of our time. O'Brien draws upon scores of interviews with producers, musicians, collaborators, lovers, and friends--many of whom have never spoken so candidly--to examine Madonna's fascinating life. From her mother's premature death to her dynamic arrival on the New York club scene to her training for "Evita" and beyond, every stage of her life is illuminated.

O'Brien provides an incisive portrayal, from Madonna's early days dancing at gay clubs in Detroit to the producers and musicians she both alienated and amazed in her uncompromising quest to seize on the next cultural wave.

Madonna adalah sebuah fenomena. Rasanya, sulit untuk membahas sejarah musik pop dunia tanpa melibatkan diva yang satu ini.


Sedikit catatan singkat. Judul album Madonna, Something to Remember, yang dirilis tahun 1995 silam pernah dijadikan sebuah acara radio dengan judul yang sama di radio Paramuda 93.7 FM Bandung. personally, saya suka cover image album itu.

Juli

Outliers


Outliers menarik perhatian saya dalam sebuah wawancara di radio medio 2009 lalu. Acara itu dilangsungkan dalam rangka penerbitan buku sekaligus promosi. Banyak cerita yang menggugah kesadaran saya. Bahwa orang sukses itu memang sudah diciptakan dari sananya. Ada beberapa analisis yang bisa membuktikan hal itu. Pada bab-bab awal, Malcolm Gladwell menjelaskan pembuktian saintifiknya.

Buku ini menceritakan bagaimana para “Outliers” membentuk diri mereka. Malcolm Gladwell ingin pertanyaan inti dari buku ini: “what makes high-achievers different?”. Dia menjawab bahwa kita terlalu menyimpan perhatian penuh pada kebiasaan atau bagaimana menjadi orang yang sukses. Kita lupa untuk melihat hal-hal lain dibelakang kesuksesan dan keberhasilan para “Outliers”. Misalnya saja, pada darimana mereka berasal, bagaimana kultur dan kebiasaan mereka, keadaan keluarga mereka, soal keturunan, dan lain-lain. Sebagai contoh, Gladwell memberi penjelasan tentang bagaimana menjadi seorang pemain sepakbola terbaik, mengapa orang Asia hebat dalam bidang matematika, dan mengapa The Beatles menjadi band terbaik sepanjang masa.

Buku ini baru saya baca tiga tahun setelah acara radio itu tayang. Saya rasa tidak ada istilah terlambat. Karena bagaimanapun isi buku ini tidak berubah atau mengalami revisi. Gladwell menulis buku lainnya guna melengkapi Outliers, seperti The Tipping Point, Blink, What the Dog Saw. Gladwell mengajak pembacanya pada suatu pengalaman yang baru untuk melakukan self-motivation tanpa harus menggurui.


Oktober

Aku dan Marley


Lagi-lagi, saya membaca buku terjemahan yang sebelumnya diangkat ke layar lebar, diperankan oleh Owen Wilson dan Jennifer Aniston. Saya berhenti pada halaman-halaman awal karena beberapa kesibukan pekerjaan. Selain, menghabiskan waktu membaca The Indiana Chronicles: Lipstik dari Clara Ng @clara_ng , Namaku Hiroko dari Nh. Dini, Markesot Bertutur dari Emha Ainun Nadjib dan Anak Tanah Air karya Ajip Rosidi.  Dua judul terakhir saya selesaikan menjelang akhir tahun 2012.

Membaca kisah persahabatan manusia dengan binatang peliharaan adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan. Bahwa binatang pun bisa menjadi sahabat manusia. Hal ini seperti tercermin dalam film “Hachiko” yang dibintangi Richard Gere.

Untuk Indonesia yang Kuat: 100 Langkah Untuk Tidak Miskin

Berawal dari sebuah promo di twitter, saya mendapatkan buku ini dengan harga yang lumayan murah. Diatas rata-rata diskon toko buku online. Sebagai bagian dari kelas menengah (cieee...)-mengacu pada kriteria yang disebutkan dalam buku ini- saya ingin tahu bagaimana perencanaan keuangan yang baik. Terlebih, penulisnya sendiri adalah seorang financial planner berpengalaman, Ligwina Hananto @mrshananto, yang juga mempunyai acara radio khusus untuk subjek financial planning. Belakangan, @mrshananto muncul juga di televisi membawakan acara serupa.


Saya rasa penting bagi kita untuk mulai “menyelamatkan” keuangan pribadi. Kondisi ekonomi di Indonesia yang akhir-akhir ini dinilai stabil. Didorong pula oleh “kekuatan” kelas menengah yang konsumtif, maka asumsi investasi bukan lagi hal yang tabu dan menakutkan untuk dijalani secara pribadi. Niscaya, buku ini menjadi panduan awal tentang bagaimana mengelola keuangan pribadi. 

Saya tidak menganggap buku ini seperti novel yang harus dibaca tamat dari awal sampai akhir. Karena sifatnya yang guidance material, maka saya membaca subjek-subjek tertentu saja. Sampai akhirnya saya tersadar bahwa buku ini belum saya pahami sepenuhnya . hahaha...

Talk-inc Points

Perkenalan dengan buku ini saya dapatkan dari sebuah radio di Bandung yang mengulas isi buku bersama ketiga penulisnya, Alexander Sriewijono, Rebecca “Becky” Tumewu, dan Erwin Parengkuan. Ketiganya sudah well-established sebagai public speaker yang kerap tampil mengisi acara on-air maupun off-air.


Dalam satu kesempatan training di ATKP Medan, medio Oktober, oleh Instruktur saya sempat disuruh maju untuk tampil membawakan presentasi singkat mengenai Program Keselamatan Penerbangan di Indonesia. Tidak ada masalah walaupun saya harus menghadapi audiens yang berasal dari ASEAN maupun negara lainnya seperti Bangladesh, Nepal, Mauritius, Ethiopia, dan Timor Leste. Saya hanya menambahkan satu hal pada point self-evaluation, yaitu harus mulai belajar jadi seorang presenter. Kelak, pelajaran itu akan saya bawa kemana-mana.

Pucuk dicinta ulam tiba. Pada program CBD bulan ini, saya mendapati buku ini dalam bagian diskon. Sangat lumayan. Saya menggarisbawahi beberapa poin yang diperlukan untuk menjadi seorang presenter yang baik dan mampu menyampaikan pesan jelas. Siapa yang tahu kalau suatu saat nanti saya akan membawakan presentasi di hadapan Direktur atau Direktur Jenderal, misalnya. Saat ini, buku panduan ini berjejer dengan rapi di sebelah buku Soe Hok-Gie di meja kerja kantor.

Aerial

Dalam pembacaan buku “Skenario Dunia Hijau” Sitta Karina @sittakarina saya menemukan sebuah cerpen (lupa judulnya) yang menjadi awalan cerita bagi novel ini. Itulah kenapa saya kemudian lantas penasaran untuk mengetahui kelanjutan perang antara Negeri Cahaya dan Negeri Kegelapan.


Seperti biasa, buku ini kembali tersisih akibat jadwal pekerjaan rutin yang mengharuskan saya pergi memberikan training ke luar kota. Seterusnya, hingga kemudian menumpuk di bagian waiting list, menunggu untuk dibaca.

November

Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya: Seri 1: Politik Dalam Negeri dan Masalah Nasional

Mochtar Lubis adalah satu nama yang melekat sejak pembacaan pertama atas karyanya, Jalan Tak Ada Ujung, waktu saya masih duduk di SMA. Sebagai tokoh yang saya kagumi, saya selalu ingin tahu jalan pikiran yang menjadi dasar perjuangan Mochtar Lubis. Seorang wartawan yang juga seorang sastrawan. Hal ini dimungkinkan dengan pembacaan atas “Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan”. Sebuah buku berisi kumpulan wawacara Mochtar Lubis dengan beberapa wartawan dan disunting oleh Ramadhan KH.


Masalah dalam negeri hingga kondisi politik yang tidak kunjung usai selama masa-masa awal pemerintahan orde baru menjadi sorotan Mochtar Lubis. Kondisi ekonomi yang belum mapan sepenuhnya dan masih mengharapkan bantuan asing berkedok investasi mendapat kritik keras.

Buku ini berisi tajuk-tajuk yang ditulis Mochtar Lubis dalam harian Indonesia Raya yang dipimpinnya. Topiknya dibatasi mengenai politik dalam negeri dan masalah-masalah nasional. Rentang waktunya dimulai sejak tahun 1966 hingga saat harian Indonesia Raya dibredel pada tahun 1970-an. Menarik untuk mengamati sejarah Indonesia dari sisi lain sudut pandang seorang wartawan yang mengalami penahanan semasa orde lama dan orde baru. 


Desember

Sepanjang bulan Desember ini saya tidak banyak membeli buku baru. Saya mencoba menamatkan dan melanjutkan pembacaan atas beberapa buku yang tertunda. Seperti, Cerita dalam Keheningan karya Zara Zettira @ZaraZettiraZR, Markesot Bertutur, Mochtar Lubis Bicara Lurus, Anak Tanah Air, dan Setengah Pecah, Setengah Utuh dari Parlindungan Marpaung. Ditambah satu esai penafsiran saya tentang Markesot. Semua saya tuangkan dalam postingan bulan Desember 2012. 

Blogheader Image, 2009 - Desember 2012

Blogheader Image, Desember 2012 - sekarang


Kalaupun ada perubahan, saya mengganti gambar dari header blog ini. Tercatat pada tanggal 29 Desember 2012, gambar yang sudah terpasang selama tiga tahun diganti dengan sebuah gambar yang lain. Keduanya masih bertema sama: perjalanan. Blog ini selalu saya asumsikan sebagai media perjalanan saya. Baik itu dalam proses menulis atau pun melakukan hobi membaca. Sehingga, kedua gambar header itu menunjukkan keseragaman dengan misi yang saya lakukan disini. Saya serahkan kepada pembaca untuk menafsir sendiri makna dibalik kedua gambar itu.


Sebuah Konklusi

Semua buku yang dibaca maupun yang belum selesai tahun 2012 ini ibarat sebuah kaleidoskop berwarna. Tidak ada warna yang tampil dominan. Semua genre saya usahakan untuk dibaca. Mulai dari komik hingga politik. Semuanya saya harap membawa perubahan atau pembaruan dalam gaya membaca maupun penulisan saya.

Sebuah buku memiliki ceritanya sendiri. Perjalanan tidak akan berakhir ketika cerita itu usai. Lembaran baru akan terus mengisi cerita. Selamat membaca di tahun 2013.


Jakarta-Bandung-Paninggilan, 13 Januari 2013.

Sabtu, 12 Januari 2013

A Year in Blogging: The Unread 2012 (1)

Pekerjaan menulis sebuah review, A Year in Blogging, selama ini hanya ada dalam pikiran semata. Tanpa benar-benar dituangkan menjadi sebuah tulisan yang bisa tayang di blog ini.


Kenapa saya lebih cenderung bercerita tentang buku-buku yang belum dibaca selama tahun 2012 kemarin? Sederhana saja. Buku-buku yang belum dibaca lebih mudah saya temukan dalam daftar my books di akun Goodreads saya. Lagipula, menulis tentang mereka jauh lebih mudah daripada menulis review tentang buku yang sudah dibaca. Seperti yang sudah saya lakukan selama ini disini.

Saya tidak pernah melakukan suatu penilaian atas sebuah karya tulisan. Saya merasa tidak berhak untuk melakukan judgement terhadap suatu buku apapun. Baik atau tidak baik, bagus atau jeleknya sebuah buku hidup dalam pikiran masing-masing pembaca. Soal urusan kritik, itulah mengapa Tuhan menciptakan kritikus dan akademisi.

Terinspirasi dari satu thread diskusi di Goodreads, saya ingin membuat catatan yang sekaligus juga jadi dokumentasi tertulis tentang me and my blog. So, here i go. Please feel free to read and enjoy this-not-so-awesome note.

Februari

Lunch With Mussolini

Buku ini saya beli karena tertarik dengan judulnya. Sekali lagi, pemberian nama judul bagi suatu karya berpengaruh dalam menentukan frame of reference di benak pembaca. Dari awal, saya sudah berpikir bahwa buku ini berbicara seputar peristiwa sejarah. Barangkali saja ada satu tokoh dari penulis, Derek Hansen, ada yang benar-benar diceritakan melakoni sebuah “lunch” dengan Il Duce Mussolini. 



Berikut deksripsi singkat pada bagian belakang sampul buku (courtesy Goodreads):

In the spring of 1945, with the end of the Second World War in sight, a German officer orders the reprisal shooting of eight woman in a small alpine village near Lake Como.

Nearly fifty years later, in a suburb of Sydney, the daughter of one of the victims discovers her mother's executioner quietly living under an assumed name a few streets away.

Aware of the impotence of the law. Colombina is determined to avenge the past. She makes up her mind to confront the old man and make him pay for his crime.

Colombina in turn is forced to confront her own past and her own involvement.
In Lunch with Mussolini four men meet every Thursday to share their passion for storytelling.

Derek Hansen weaves a gripping tale of romance and tragedy, heroism and treachery, which twists and turns to an ending as stunning as it is unexpected.

Personal Note:
Buku ini juga menandai pertemuan kembali dengan seorang sahabat lama, @lellydisini di sebuah toko buku di bilangan Jalan Siliwangi Bandung.


Maret

Soe Hok-Gie Sekali Lagi & Bekisar Merah

1
Kedua buku ini saya beli bersamaan pada sebuah bookfair. Sangat beruntung karena keinginan saya untuk membaca karya-karya Ahmad Tohari akhirnya bisa tersalurkan. Bila pada Ronggeng Dukuh Paruk edisi terbaru menampilkan tiga novel sekaligus-Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari-maka Bekisar Merah memuat Bekisar Merah dan lanjutannya, Belantik.

Cover edisi terbaru

Ronggeng Dukuh Paruk berhasil saya tamatkan bulan Juni. Itupun dengan cara mencicil setiap bubaran kantor di bis jemputan. Namun, Bekisar Merah terlanjur dikandangkan ke Markas Besar Buku di Bandung. Sehingga saya tidak punya banyak kesempatan untuk membacanya ketika sedang di Bandung. Terus demikian hingga buku-buku baru lainnya berdatangan dan meninggalkan Bekisar Merah berdiri tegak, angkuh, di dalam rak. 

Akhir Desember kemarin, saya melanjutkan pembacaan Bekisar Merah. Sudah sampai sekitar halaman 100-an lebih dan cerita sudah menginjak kelanjutan hidup Lasi dalam pelariannya di Jakarta. Saya pikir satu atau dua bulan lagi buku ini bisa saya tamatkan.

2

Soe Hok Gie Sekali Lagi, adalah sebuah buku yang diterbitkanpada tahun 2009 lalu. Buku ini juga sempat diangkat menjadi satu topik bahasan dalam acara talkshow “Kick Andy”, saat itu. Pada acara itu, disebutkan beberapa alasan kenapa buku ini diterbitkan. Suatu keputusan yang tidak terlalu salah menyusul kisah perjalanan hidup Seo Hok-Gie yang diangkat ke layar lebar pada tahun 2005 oleh dua sineas terbaik Indonesia, Riri Riza dan Mira Lesmana, dan Gie diperankan dengan apik oleh Nicholas Saputra @nicsap. 


Penjiwaan karakter Gie yang dilakukan Nicholas Saputra mirip dengan apa yang dilakukan Reza Rahadian dalam film “Habibie dan Ainun” yang masih tayang belakangan ini.  Agaknya, masih banyak kisah tentang Soe Hok-Gie yang mengandung relevansi dengan keadaan bangsa kita saat ini. Dengan penerbitan kembali buku tentang Gie-setelah re-publish Catatan Seorang Demonstran- kita seakan diajak melihat kembali sejarah, juga tentang semangat seorang Gie yang mau berbuat untuk bangsa yang sangat dicintainya.

Saya agak mengalami sedikit kesulitan dalam menamatkan buku ini. Isi buku yang berupa kumpulan artikel dan tulisan dari sahabat-sahabat Gie cenderung mudah membuat mood naik turun. Karenannya, saya hanya membaca artikel/tulisan tertentu yang saya anggap menarik. Seperti beberapa potongan puisi yang sempat di-scoring ke soundtrack film Gie yang juga dibawakan oleh Nicholas Saputra.

Akhirnya semua akan tiba pada suatu masa
Pada suatu hari yang biasa

Sekarang, buku ini saya simpan dengan gagah di meja kantor. Sengaja, sebagai pengingat bahwa saya masih punya ‘pekerjaan’ yang belum selesai.


April

Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang


Sudah jadi rahasia umum bahwa menamatkan bab demi bab dalam buku Nagabumi adalah sebuah kepuasan pribadi (iya gak sih?). pembacaan Nagabumi episode pertama saya habiskan sepanjang bulan April hingga Agustus 2010. Lagi-lagi kendala jarak Jakarta-Bandung menjadi faktor lambatnya pembacaan. Impresi atas Nagabumi I yang mengandung beberapa “fakta” sejarah selalu membuat penasaran untuk terus membuka halaman dan berlanjut dari satu bab ke bab lainnya.

Menamatkan Nagabumi II saya rasa adalah pekerjaan membaca paling berat tahun 2012 ini. Terlalu banyak buku lain yang mendistraksi perhatian. Pengalihan ini bukan karena masalah panjangnya halaman buku tetapi justru karena keistimewaan Nagabumi. Mau dibaca kapanpun, selama bersambung, tidak jadi masalah karena Nagabumi dulunya diciptakan sebagai cerita bersambung di harian Suara Merdeka Semarang. Dalam episode kedua ini, dilengkapi dengan ilustrasi yang dibuat oleh Beng Rahadian @bengrahadian, seorang komikus penggiat Akademi Komik Samali. Saya pernah sekali berkunjung ke Akademi Samali sehingga pemuatan karya @bengrahadian tadi memliki ikatan emosi yang kuat untuk saya yang juga mengidolakan Seno Gumira Ajidarma.

Hening


Hening adalah satu yang tersisa dari sekumpulan buku yang saya beli pada pesta buku diskon di toko buku terbesar di Matraman. Alasan saya tertarik membaca buku ini adalah satu pernyataan di balik sampul:

Pada akhirnya, pertanyaan yang utama adalah: sanggupkah manusia mempertahankan keyakinannya di tengah masa-masa penuh penganiayaan? Dan benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan.

Hening, yang ditulis salah satu penulis terbaik Jepang, Shusaku Endo, bercerita tentang seorang misionaris Portugis yang berusaha melakukan kristenisasi pada masyarakat Jepang abad 17 periode Edo. Hubungan antara misionaris Portugal dengan Jepang tidak pernah saya tahu kapan dimulainya. Hanya saja, ada satu asumsi yang muncul ketika saat ini saya sedang membaca Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 1 yang ditulis Rosihan Anwar. Jauh sebelum  Perang Pasifik, Portugis sudah melakukan penjelajahan ke berbagai belahan dunia. Tujuannya jelas, mencari sumber rempah-rempah yang menjadi barang mahal di Eropa kala itu. Dengan judul misi dagang, berlayarlah pelaut-pelaut terbaik Portugis atas titah raja.

Sudah tercatat dalam beberapa buku sejarah bahwa pendudukan Portugis atas Nusantara yang didahului oleh kejatuhan Kerajaan Malaka pada tahun 1511, menyebabkan penjelajahan samudera sangat dimungkinkan menjangkau wilayah-wilayah negara kepulauan lain. Barangkali saja, salah satu kapal misi dagang Portugis sempat berlabuh di Jepang dan sesuai dengan misi 3G: Gold, Glory, Gospel; mereka berusaha meneruskan “titah suci” itu di bumi yang mereka pijak.


Mei

Untuk Negeriku

Hasrat untuk memiliki buku trilogi tulisan Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, ini muncul dalam satu lawatan  ke rumah seorang Paman. Saya melihat dalam lemari Paman saya ini berjejer beberapa buku ekonomi yang diterbitkan penerbit-penerbit terkenal lalu beberapa buku biografi tentang tokoh-tokoh Indonesia. Salah satunya adalah founding father kita yang lahir di Bukittinggi ini.

Kesan mendalam terhadap Mohammad Hatta saya dapat ketika menemukan buku lama “Demokrasi Kita”. Demokrasi Kita adalah kumpulan tulisan Mohammad Hatta yang diterbitkan harian Pandji Masyarakat. Perbedaan pandangan antara Hatta dengan Soekarno menyebabkan pengunduran diri Hatta. Hatta yang menilai Soekarno sudah terlalu jauh berpaling dari demokrasi dan Pancasila, mengambil sikap demikian agar leluasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang dikehendakinya. Pandangan dan sikap Hatta tersebut semuanya dituangkan disana. Termasuk solusi-solusi untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan inflasi yang mencekik rakyat Indonesia.

Saya belum menemukan korelasi apapun antara trilogi Untuk Negeriku dengan Demokrasi Kita. Namun, saya yakin keteguhan sikap dan konsistensi Hatta akan selalu jadi bagian integral dalam setiap tulisannya.

23 Episentrum


Buku ini masuk dalam daftar Program CBD (Cari Buku Diskon). 23 Episentrum banyak bercerita tentang passion. Bagaimana memaknai passion sebagai kesatuan utuh dri sebuah individu. Tidak butuh waktu lama untuk tahu hal itu karena dalam suplemen buku ini, diceritakan berbagai kisah dari kawan-kawan penulis yang berbuat dan bekerja dengan mengikuti passion mereka.

Pembacaan berhenti pada satu halaman yang memuat lirik lagu Somebody dari Depeche Mode. Saya tidak kuasa menahan rasa yang muncul saat membaca bagian ini. Terlebih karena waktu itu saya sedang PDKT (yang akhirnya gagal juga) dan serasa disindir oleh lirik lagu itu. Sila googling sendiri untuk membaca lirik lagu itu.

Cerita Sahabat


Seperti 23 Episentrum, Cerita Sahabat juga masuk kategori Program CBD bulan ini. Terdorong oleh diskon besar saya agak sedikit memaksa untuk membeli buku ini. Mengingat masih banyak buku yang on-going dan waiting list. Selebihnya, tidak pernah saya baca lagi setelah menamatkan pembacaan cerpen dari Faye Yolody @fayeyolody tentang perjodohan pada akhir bulan Juni. Saya penasaran dan merasa ingin tahu (kepo? :)) ) sudut pandang orang lain soal perjodohan, karena waktu itu saya akan dijodohkan dengan anak seorang kolega Ibu. Sudah jangan dibahas lagi.

episode lanjutan sila klik disini

Jakarta-Bandung-Paninggilan, 12 Januari 2013.

Mice Menggugat Komentator Sepakbola

Yeah, Mice is a Liverpudlians!



Pembukaan yang sangat “mengagumkan” untuk para Liverpudlians. Dari awal, Mice sudah menggarap konstruksi realitas yang memang sedang terjadi saat ini. Liverpool tidak lebih baik dari Manchester United. Guyonan pembukaan yang cukup menggebrak.

Buku yang habis dibaca sekali duduk ini, bisa dianggap juga sebagai "kamus parodi". Parodi  untuk istilah-istilah yang sering kita dengar dari para komentator sepakbola. Pada bagian ini, Mice cukup “lempeng” untuk memberi penafsiran makna melalui gambar kartun. Mice memberikan definisi literer sesuai dengan istilah-istilah para komentator.





Mice, secara tidak langsung melakukan kritik terhadap dominasi dan hegemoni kaum kapitalis pemilik modal yang menguasai setiap tayangan langsung siaran sepakbola. Hal ini muncul karena terjadi pemakluman umum terhadap kaum pemodal. Karena para pemodal sudah terlanjur mengeluarkan uang yang sangat banyak untuk membeli hak siar siaran liga-liga sepakbola dunia, maka mereka menarik sebanyak-banyaknya pemodal lain untuk secara bersama-sama ‘menguasai’ penonton. Agaknya, mereka juga paham soal teori Komunikasi Massa.

Tidak berhenti sampai disitu. Mice nampak sengaja membuat kartun ini menjadi dua bagian. Bagian kedua,  "Football's Coming Home" menampilkan suatu pemaknaan atas realitas yang juga terjadi secara nyata di hadapan kita. "Football's Coming Home" tampil dengan sederhana tetapi mengandung makna yang dalam.



Mice bercerita tentang masa kecilnya, disaat bermain sepakbola adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya bahagia, bersama kawan-kawan tentunya. This is the best part. Rentetan peristiwa masa kecil dimunculkan. Nostalgia romantis menggugah memori kembali pada masa-masa itu. Pembaca yang mengalami runtutan peristiwa tadi pasti merindukan kembali momen masa kecil seperti itu.



Pesan yang dibawa Mice melalui kartun bagian kedua tadi cukup jelas. Disaat Inggris merindukan kembali kejayaan sepakbola mereka, kita di Indonesia masih ribut soal PSSI dan KPSI. Ini adalah suatu bentuk kritik moral terhadap institutsi sepakbola negeri ini yang sarat akan muatan kepentingan golongan tertentu. Negeri ini punya 250 juta penduduk, tetapi tidak ada satu orang pun yang bisa mengurus sepakbola nasional. Suatu hal yang memalukan, mengingat negara tetangga sudah jauh berlari meninggalkan kita yang masih saja meributkan hal-hal remeh, soal siapa dapat apa.


Anyway, kartun ini worth reading dan sangat perlu untuk mengimbangi rutinitas keseharian penonton sepakbola yang begitu-begitu saja. Terutama, dalam memaknai ucapan sang komentator.


Judul                     : Kamus Istilah Komentator Bola / Football's Coming Home!
Penulis                 : Muhammad “Mice” Misrad
Penerbit              : Octopus’s Garden Publishing
Tahun                   : Desember 2012
Tebal                     : 112 hal.
Genre                   : Kartun-Sepakbola
 



Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 12 Januari 2013.

Rabu, 09 Januari 2013

Sebuah Lorong di Kotaku

Sabar dan lapangkanlah dadamu. Jangan selalu mau cepat marah. Ambillah bumi ini sebagai contoh. Dia kita injak, kita ludahi, kita belah, kita tusuk dan kita lukai dengan berbagai alat. Tetapi dia selalu sabar dan diam, selalu memberi kita makanan lezat dan berguna. (hal.76)

Sebagai pembuka Serial Kenangan, Sebuah Lorong di Kotaku menceritakan masa-masa awal kehidupan seorang Nh. Dini yang terekam kuat dalam memorinya. Dini bercerita dengan gaya bertutur yang jujur. Membuka semua tabir yang menyelimuti dirinya. Segala kenangan masa kecil yang terekam masih jelas dalam benaknya. Kelak, semua cerita yang disajikan dalam buku beliau lainnya, akan menemukan benang merah historis dengan memoar dari serial kenangan ini.


Cerita dimulai sejak Dini menempati rumah yang dipilih ibunya di Semarang. Rumah yang menyimpan banyak cerita itu meninggalkan kenangan yang mengakar kuat pada Dini. Dini kecil tumbuh sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Dini besar di lingkungan keluarga besar yang memegang teguh adat istiadat tradisi Jawa halus. Mungkin itu sebabnya, ada pengaruh dari hal itu pada gaya menulis yang serba teratur.

Permasalahan utama dalam diri Dini mencuat menjelang pertengahan buku ini. Ketika itu, Dini sekeluarga pergi berlibur ke rumah Kakeknya di desa Tegalrejo. Semua kejadian yang berlangsung sejak keberangkatan seluruh anggota keluarga hingga selesainya liburan itu sangat membekas dalam diri Dini. Betapa Kakeknya ternyata menaruh perhatian terhadapnya. Tidak seperti yang Dini bayangkan sebelumnya.

Kehidupan alam pedesaan di desa Tegalrejo menarik perhatian Dini. Barangkali pula itu sebabnya, Nh. Dini menulis serial berikutnya yang berjudul “Langit dan Bumi Sahabat Kami”. Kemudian, Dini mulai masuk sekolah. Bekal pendidikan yang dienyamnya di rumah dari sang Ibu turut dibawanya serta ke sekolah sehingga tak pelak Dini menjelma menjadi anak  yang penurut, penuh dengan tata krama.

Kekuatan ingatan Dini teruji ketika melukiskan kembali suasana perang. Pada saat itu, Jepang mencanangkan Perang Pasifik dengan pengeboman ke Pearl Harbour. Jepang berusaha menaklukkan sebanyak mungkin kekuatan Sekutu yang bercokol di Asia Tenggara. Belanda berusaha sekuat mungkin untuk menahan gempuran Jepang. Namun, pada akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati.

Menjelang datangnya serangan yang sudah ramai diramalkan akan terjadi, Dini sekeluarga mengungsi ke kampung sebelah. Sementara, sang Ayah tinggal di rumah mereka guna memastikan keamanan disana. Perang secara besar-besaran tidak (atau belum) terjadi di Semarang. Semua kejadian dimana Dini mendengar desing-desing bom yang jatuh dari pesawat pembom, kemudian dentuman dari tangsi-tangsi polisi Belanda yang dibom Jepang, terekam dalam memori Dini. Hal ini sangat penting untuk mencoba menggali kembali sudut pandang sejarah dari seorang penutur yang mengalami masa perang tersebut.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Sampul buku edisi pertama, 1978

Sebuah Lorong di Kotaku membuka daftar bacaan saya pada tahun 2013 ini. Agaknya, pengalaman dengan karya Nh. Dini sebelumnya membuat saya terangsang untuk kembali menikmatik karya berikutnya. Saya sengaja memilih buku pembuka Serial Kenangan ini untuk mendapatkan imaji tentang sosok Nh. Dini, tentang hal-hal apa saja yang berkecamuk dalam pikirannya sejak awal. Bisa dikatakan, saya sedang mencari bentuk prototipe pertama karya seorang Nh. Dini. Hal ini saya anggap perlu untuk kemudian bisa melanjutkan pembacaan atas karya Nh. Dini lainnya.

Sebuah Lorong di Kotaku adalah buku ketiga dari Nh. Dini yang saya baca setelah "Argenteuil" dan "Namaku Hiroko". Yang paling berkesan sepanjang pengalaman membaca buku ini adalah (lagi-lagi) gaya penulisan Nh. Dini yang mengalir. Segala latar dan kejadian diceritakan dengan detail yang mengagumkan. Tentu, ini merupakan kekuatan tersendiri bagi seorang Nh. Dini. Pengalaman serupa memang masih saya rasakan. Pengalaman tersebut selalu membuat rasa penasaran itu muncul lagi. 

Saya ingin menemukan interkoneksi dari buku-buku Nh. Dini. Baik dari Seri Kenangan maupun seri Novelet. Saya yakin ada hubungan antara keduanya. Bila boleh membuat hipotesis sementara, Seri Kenangan sebagai memoar perjalanan kehidupan Nh. Dini memuat kisah sepanjang episode kehidupan merupakan suatu landasan/kerangka bagi Seri Novelet. Fragmen-fragmen dari Seri Kenangan dimunculkan kembali secara detil melalui Seri Novelet. Jadi, keduanya tampil sebagai suatu esensi yang terpisah tetapi sesungguhnya merupakan satu bagian entitas yang tak terpisahkan.

Judul           : Sebuah Lorong di Kotaku
Penulis        : Nh. Dini
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun          : 2009 (terbit pertama kali tahun 1978)
Tebal           : 108 hal.
Genre          : Novel Memoar – Seri Kenangan Nh. Dini #1

Paninggilan, 9 Januari 2013.
di hari ulang tahun seorang perempuan yang pernah mengisi hati

Melombok: The Travelogue (Eps. 1)

Ketika ditawari pilihan untuk tempat liburan akhir tahun oleh kawan-kawan di kantor, dengan semangat saya memilih opsi: Lombok. Pilihannya memang ada tiga. Pertama, Bali. Kedua, Belitong. Ketiga, undetermine. Artinya masih pilihan terbuka. Dengan demikian, usai memberi pilihan ke Lombok otomatis 12 dari 14 orang setuju untuk memilih Lombok sebagai destinasi wisata akhir tahun ini.

Ini juga mengingatkan saya pada seorang sahabat yang meminta pertimbangan tempat bulan madu empat tahun yang lalu. Tentu saja, dengan rasa penasaran yang sangat pada Gili Trawangan, saya memberinya jawaban supaya dia berbulan madu di Lombok saja. Benar saja, beberapa bulan kemudian dia sempat bercerita pengalamannya menyantap Ayam Taliwang khas Lombok di pinggir pantai Senggigi. What a feeling.

So, here’s my story. Feel free to read this-not-so-awesome note :)

Day 1 – Jum’at , 14 December 2012

Hari pertama perjalanan ini dimulai dengan penerbangan dari Jakarta (Soekarno-Hatta International Airport-CGK) menuju Bandar Udara Internasional Lombok Praya (LOP). Kami  mengambil flight Lion Air JT656 yang terbang pukul 09.05 WIB dan tiba di Lombok pada pukul 12.00 WITA. Ada banyak pilihan menuju Lombok. Bisa pilih Lion Air atau Garuda Indonesia yang punya jadwal sehari dua kali. Sedangkan, untuk Sriwijaya Air atau Batavia Air saya kurang tahu. Connecting flight tersedia dari Surabaya (Citilink Indonesia), Kupang (Merpati, Transnusa), Denpasar (Lion Air, Merpati, Transnusa, SKY Aviation). 


Setibanya di bandara tujuan, kebetulan Jum’atan baru saja dimulai. Kami para lelaki yang tidak ingin kehilangan kadar kegantengan gara-gara ketinggalan Jum’atan segera menuju Masjid yang terletak tidak jauh dari main gate airport kira-kira 200 meter.

Usai Jum’atan, gerimis masih saja turun. And this is most unexpected part. Seseorang menepuk bahu saya. Saya sadar orang ini tidak sedang mencoba menghipnotis. This is Lombok anyway. And guess who? Yes, it was an old buddy. Orang yang menepuk bahu saya tadi ternyata Kresna, teman sekelas waktu SMP.  Kabar terakhir yang saya terima, dia sudah jadi penerbang TNI-AU di base Halim. Sekarang, tiba-tiba saja saya bertemu lagi dengan dia disini. Katanya dia sempat ragu karena saya terlihat agak gemukan (memang dari dulu udah gemuk kaleee). 

Kami sempat bertukar cerita sebentar. Saya bertanya apakah dia termasuk aircrew/pilot yang menerbangkan Hercules C-130 AURI yang sedang parkir di apron bandara. Ternyata betul. Dia dan rekan satu skuadron sedang dalam misi penerbangan ke Lombok dan kebetulan singgah sebentar untuk Jum’atan. Maha besar Allah yang mempertemukan kami. It’s ridiculuos to see how things change but in your mind they stay the same.

Tak lama kemudian, Kresna pamit dan langsung menuju bis yang mengantarnya ke dalam bandara. Mesin pertama telah dinyalakan. Selanjutnya, mesin kedua, ketiga, dan keempat berurutan. Saya kira, tak lama lagi dia akan segera kembali ke base operation di Halim sana. Au revoir!

Somehow, pertemuan sekilas tadi membuat saya serasa tidak lagi berada di tempat jauh dan sepi memisahkan kita. Oh bukan, itu tadi lirik lagu Padi :)) . saya tentu merasa sangat senang bisa bertemu kembali dengan seorang sahabat lama di tempat yang jauh pula. Saya juga senang melihat pencapaiannya karena saya tahu memang tidak mudah untuk menjadi seorang penerbang tempur. Apalagi ketika Kresna bilang dia adalah pilot yang membawa Hercules C-130. Saya semakin yakin bahwa kita memang punya takdir masing-masing. That’s how life taught us.

Hercules C-130

Pantai Kuta

Next. Pada trip itinerary, setelah Jum’atan kami akan menuju Rumah Adat Suku Sasak di daerah Sade, Rambitan. Lalu, setelahnya baru akan ke Pantai Kuta/Tanjung Aan. Sekilas namanya sama dengan Pantai Kuta di Bali. Ya, memang sama. Entah kenapa orang Lombok menamai pantai di ujung selatan pulau ini sama seperti di Bali. Atas beberapa pertimbangan, maka kami memutuskan untuk pergi ke Pantai lebih dahulu. Kami memang penasaran soal pantai di Lombok ini. Sengaja Lalu (panggilan untuk kakak laki-laki di Lombok) Zul yang menjadi guide lokal kami mengajak ke pantai duluan. Cuaca mendung menyebabkan matahari enggan muncul sehingga keindahan pantai tidak nampak benar. Namun, deretan karang sepanjang pantai ditambah dengan hijaunya rerumputan sekitar pantai menambah kesan damai. Maklum, sudah lama saya tidak main ke pantai.

Di sekitar pantai, banyak pedagang yang menawarkan kelapa muda. Harganya murah. Kalau pandai menawar, bisa dapat sebutir kelapa muda dengan harga seribu rupiah saja. Tapi, pedagang disana sudah pandai membedakan wisman (wisatawan mancanegara) dan wisnu (wisawatawan nusantara). Sehingga, rasanya sulit untuk mendapatkan harga semurah itu. FYI, di sekitar Pantai Kuta ini juga banyak tersedia tempat penginapan. Kurang lebih, mengingatkan saya pada penginapan di sekitar pantai Pangandaran. Konon, pantai ini termasuk pantai favorit para bule untuk berselancar/surfing. Maka, jangan heran kalau bertemu dengan bule-bule yang kebanyakan menginap di sekitar pantai. Fasilitas transportasi dari pantai ini menuju kota banyak dilayani mobil charteran. Tarif bervariasi. Rata-rata setiap kios menawarkan harga yang relatif sama. Bahkan, mereka juga menyediakan fasilitas bagi wisatawan yang ingin menyeberang ke Bali lewat pelabuhan Bangsal. Selain itu, ada beberapa warnet disini plus banyak pula restoran yang menyediakan menu seafood. Standar lah.

Pemandangan Laut Selatan Pantai Kuta, Lombok.

Sisi barat Pantai Kuta, Lombok

Sisi Timur Pantai Kuta, Lombok


Rumah Adat Suku Sasak

Perjalanan menuju Rumah Adat Suku Sasak hanya sekitar 15 menit dari Pantai Kuta. 15 menit ini dengan asumsi jalanan lancar. Jangan dibandingkan dengan jalanan Jakarta atau Bandung .

Bagian depan komplek Rumah Adat Suku Sasak, Sade, Rambitan

Rumah Adat yang terletak di daerah Sade-Rambitan ini adalah salah satu dari beberapa perkampuangan adat yang tersisa di pulau Lombok. Ada beberapa lainnya. Rumah Adat Suku Sasak terbuat dari kayu yang ditutupi alas rumbia. Yang menjadikannya unik, rumah ini lantainya dipel dengan (maaf) kotoran kerbau setiap ada perayaan tertentu. Dalam tradisi masyarakat Lombok dikenal istilah ‘menculik’. Artinya, pemuda yang akan menikahi seorang gadis akan ‘menculik’ calonnya itu selama tiga hari untuk diperkenalkan kepada orang tuanya. Tentu dengan menjaga batas-batas kehormatan gadis itu tadi. Apabila direstui, maka datanglah rombongan keluarga si pemuda tadi untuk melamar gadis tersebut.

Tradisi itu masih berlaku di perkampungan adat ini. Maka tak heran, bila mayoritas penduduk dalam suatu area tertentu di perkampungan ini masih satu keluarga besar karena banyak diantara mereka yang kembali tinggal membangun rumah di sekitar area perkampungan. Dengan demikian, nilai-nilai dan kebiasaan tradisi masih terjaga.

Pemandu lokal di Rumah Adat Suku Sasak

Pengunjung juga bisa membeli berbagai kerajinan di komplek perumahan adat ini.
Disini, wisatawan akan dipandu oleh warga lokal. Sebelum masuk, ada sebuah meja pendaftaran yang dimaksudkan untuk mencatat asal usul identitas pengunjung. Bila berkenan, wisatawan dapat memberikan uang masuk sekadarnya pada kotak yang ada di meja itu tadi. Bila pengunjung sedang banyak dan juga sudah diatur oleh panitia lokal maka akan disuguhkan beberapa pertunjukan. Kebetulan, usai kami mengelilingi perkampungan, beberapa warga sedang menyuguhkan tradisi “Parase”. Sebuah pertunjukan dimana dua orang pemuda bertarung menggunakan tongkat dan tameng didampingi seorang yang berperan sebagai wasit dan juga diiringi gamelan tradisional Lombok.

Dahulu, tradisi ini dilangsungkan sebagai ajang pemilihan bagi pemuda yang hendak melamar seorang gadis. Bila datang dua orang pemuda yang menyukai seorang gadis yang sama maka pertarungan pun digelar. Bahkan, pertarungan ini bisa dilangsungkan hingga salah satu pemuda meninggal dalam pertarungan. Bagi kaum adat Sasak, mati dalam pertarungan itu lebih terhormat dari pada harus “menculik” dan kawin lari.

Parase, tarung a la Lombok

Banyak nilai-nilai kearifan lokal yang bisa diambil dari Suku Sasak. Utamanya, dalam membina dan mempertahankan keutuhan rumah tangga dan keluarga besar.


Kampung Tenun, Sukarara


Sukarara (dibaca: Sukarare) dikenal sebagai desa penghasil tenun ikat Lombok. Banyak pengrajin yang menghasilkan berbagai macam kain tenun ikat disini. Kali ini, kami singgah di Kampung Tenun. Tempat lokalisasi karya pengrajin lokal dipamerkan dan dijual. Kami dibuat terpesona. Pertama, oleh indahnya variasi tenun Lombok. Kedua, terpesona melihat harganya. Beginilah resiko jadi wisnu dengan modal pas-pasan. Hanya bisa menikmati keindahannya saja. Kadang, kita begitu bangga akan kekayaan dan keragaman budaya negeri kita. Namun, di sisi lain kita terkadang sulit untuk menghargai kekayaan dan keragaman budaya itu. Contohnya ya itu tadi, begitu tahu harga kain yang setengah gaji, nyali menciut secara otomatis.

Untuk wisatawan yang ingin mencoba menenun, disini ada dua mesin tenun tradisional yang bisa dicoba. Tadinya, saya ingin mencoba. Namun, segera dilarang oleh Lalu Zul dan penenun disana yang semuanya perempuan itu. Katanya, sebagai syarat, yang menenun haruslah seorang perempuan. Lalu, syarat yang kedua saya tidak menyimak dengan jelas, antara perempuan itu haruslah masih perawan atau sedang tidak berhalangan. Entahlah. CMIIW. Yang jelas, kawan-kawan perempuan kami mencoba menenun.



Kampung Gerabah, Banyumulek


Hari sudah sore menjelang maghrib ketika kami tiba di Banyumulek. Tidak jauh dari Sukarare, hanya 15 menit. Kami melewati suatu daerah bernama Kediri, lagi-lagi sama dengan nama kota kabupaten di Jawa Timur. Menurut Lalu Zul, di daerah Kediri (Lombok) banyak orang yang berasal dari Kediri, Jawa Timur. Mereka kebanyakan adalah santri-santri yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren di sekitar daerah ini. Maka tidak heran bila melintasi jalur ini di petang hari seakan berada di kota santri.

Saya yang keturunan Pare, sebuah kota kecamatan di selatan Kediri boleh ikut bangga karena tradisi nyantri di Kediri ternyata terbawa hingga ke Lombok. Ah, feels like home to me *nyanyi. Tiba-tiba lagu itu terngiang begitu saja. #curhat



Kami singgah di sentra penjualan gerabah. Disini banyak dijual bermacam-macam karya dari tanah liat. Mulai dari asbak hingga gentong air. Dari yang paling murah hingga yang paling mahal. Konon, gerabah produksi warga Banyumulek sudah kesohor hingga ke Jepang dan Australia. Bahkan, negara tetangga (baca: Bali) pun mengambil barang-barang sejenis dari Banyumulek. Maka, jangan heran bila bertemu banyak orang Lombok yang menjual gerabah disana.
 

Saya tidak begitu paham soal kualitas gerabah yang berbahan dasar tanah liat ini. Dengan melihat kisaran harga berbagai barang disini tentu sudah dapat dibayangkan kualitasnya. Apalagi, barang-barang kerajinan disini sudah terkenal hingga ke luar negeri. So, it’s worth your money.


Kebetulan, sentra kerajinan ini bersebalahan dengan sebuah GOR tempat warga bermain bulutangkis. Sehingga kami duduk sebentar di bale-bale dan memesan kopi. Tentu sajian kopi arabika khas Lombok yang spesial. Soal rasa, memang berbeda dari kopi Ulee Kareeng Aceh, kopi Kapal Api (ya iya laaahhh), kopi Padang, kopi Aroma Bandung, atau kopi Sidikalang yang duluan masuk ke mulut saya. Satu yang jadi perhatian saya adalah ampas kopi yang cepat turun mengendap usai disajikan. Apakah ini yang benar-benar menjadi pembeda kopi Lombok dengan kopi di daerah lainnya, wallahu’alam.


Hari pertama di Lombok ini berakhir di Banyumulek. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju hotel yang terletak di pinggir pantai Senggigi. Perjalanan menuju Senggigi dari Banyumulek ditempuh selama kurang lebih setengah jam. Melewati kota Mataram dan Ampenan. Hari sudah gelap ketika kami tiba di Senggigi sehingga kami belum bisa menikmati keindahan pantai.

Usai makan malam di restoran yang saya lupa namanya, kami pergi ke hotel dan beristirahat. Besok perjalanan masih berlanjut ke Gili Trawangan. Untuk mencari penginapan di sekitar pantai ini tidaklah sulit. Banyak hotel ataupun penginapan kecil. Pilihan harganya pun bervariasi. Tidak hanya itu, banyak juga pilihan tempat hiburan bagi yang senang clubbing hingga sekedar live music. Kelak, malam minggu nanti saya menemukan Mick Jagger disini.

Melombok - Episode 2 klik disini


Senggigi-Jakarta, Desember 2012-Januari 2013.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...