Selasa, 26 Februari 2013

Dance With My Father

Gus Dur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, tetapi sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).
                                                      

Emha Ainun Nadjib, dalam Kompas, Senin, 25 Februari 2013.

Baiklah, kita mulai penulisan malam ini. Sebelum beranjak ke materi lainnya. Entah itu review film terbaru Rain, R2B:Soar Into The Sun atau sebuah catatan iseng usai membaca bagian awal buku Doorstoot Naar Djokja (Julius Pour, 2009) yang membuat saya teringat kembali pada waktu memimpin Kompi Kuning melawan Kompi Merah dalam perang paintball di Citarik. *abaikan

Mungkin, saya terbawa perasaan sentimental mengingat penulis artikel itu adalah Emha Ainun Nadjib, budayawan asal Jombang yang bermukim di Yogyakarta. Sedikit cerita tentang Jombang, medio bulan ini saya sempatkan untuk mengambil cuti demi tetirah sejenak dan napak tilas ke makam Eyang di Jombang. Barangkali, untuk urusan sentimentil sebuah tulisan ini dibuat. Mencoba mengkaitkan perasaan yang tertinggal disana dengan sebuah tanda tanya soal asal usul demi menyusun kepingan makna eksistensialitas diri.

Membaca kembali paragraf pembuka diatas, saya jadi ingat kembali bagaimana cara Bapak memperlakukan saya, dengan segala caranya yang kemudian membentuk pribadi saya. Saya mengalami suatu pengalaman yang akan terus saya kenang. Beberapa diantaranya tidak ingin saya ingat dan bahas lagi, apalagi untuk diceritakan. Bagaimanapun, ingatan tentang hal ini tetap hidup dalam benak saya.




Waktu kecil saya tumbuh sebagai anak-anak normal yang bergaul di lingkungan komunal. Maksudnya, selalu bermain dengan teman sepermainan yang sama, maklum anak komplek. Dari situ, kemudian muncul banyak “pertentangan” antara keinginan saya sebagai anak yang ingin bermain dengan kehendak. Tak pelak, karena hal itulah kemudian saya membuat masalah yang membuat orang tua (utamanya Bapak) mengambil sebuah tindakan.

Saya pernah dihukum dengan dibanjur (disiram) dengan air sumur. Bapak dan Ibu pernah melakukannya kepada saya hanya karena saya menolak untuk segera pulang ke rumah setelah dipanggil berkali-kali. Setibanya di rumah, saya disuruh membuka baju kemudian jongkok dekat sumur. Lalu, Bapak segera menarik tali timba. Seketika, tubuh saya sudah basah. Sambil menangis saya berteriak “udah...udaaaahh” , tetapi sebelum tiga kali guyuran Bapak atau Ibu tidak akan berhenti. Efek dari aksi polisionil (halah bahasanya) itu lumayan membuat kapok.

Lain waktu, saya pernah dihajar habis-habisan dengan sapu lidi. Saya tidak ingat lagi apa sebabnya. Yang saya ingat, Bapak begitu marah sehingga menarik saya ke kamar tidur sambil menenteng sapu lidi dan memukul punggung saya berkali-kali. Rasa benci terhadap Bapak muncul semakin kuat. Saya benci, benci sekali sama Bapak. Saya tidak bisa menghindari perasaan semacam itu. Entah saya memang salah atau tidak yang jelas efek jera dari setiap pukulan Bapak sudah cukup untuk membuat saya mengaku salah.

Untung saja saya tidak mengalami hal yang dilakukan Gus Dur, seperti pada paragraf yang ditulis Emha. Tetapi, entah karena sama-sama orang Jawa Timur seperti Gus Dur, Bapak memang santun dengan tetangga tetapi keras terhadap anak-anaknya sendiri. Bila saya sedang main dengan anak tetangga, dan terjadi sesuatu pada anak itu yang bukan disebabkan oleh kesalahan saya, maka saya lah yang kemudian jadi sasaran amukan Bapak. Saya bingung karena saya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Namun, saya tetap terima konsekuensinya. Kadang, tidak boleh main keluar rumah selama 3 hari atau terpaksa menerima hukuman fisik seperti dipukul sapu lidi.

Kalau dulu sudah ada yang namanya Komnas Perlindungan Anak, saya pasti sudah melaporkan kejadian itu. Zaman telah berubah. Keterbukaan pandangan orang tua dalam cara mengasuh dan membimbing anak mulai berkembang pesat. Cara-cara lama telah ditinggalkan. Hukuman fisik dianggap sudah tidak pantas. Berhubung Generasi DHA masa kini memiliki way of life sendiri yang berbeda dengan zaman saya.

Itulah bayangan yang ada di benak saya selagi membaca artikel Emha diatas. Ingatan saya kembali ke masa-masa itu. Kata orang bijak, selalu ada hikmah di balik peristiwa. Mungkin, Bapak ingin mengajarkan saya bahwa hidup ini kadang tidak bersahabat. Hidup ini keras, Bung! Jadi, beliau mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk membuat anaknya ini kuat dan tegar. Sekalipun, saya mengalami kekerasan fisik semacam itu, saya tetap merasa selalu rindu akan sosok seorang Bapak. Sosok yang selalu membuat saya menundukkan kepala ketika meminta uang Rp. 100,- untuk jajan.

Butuh waktu lama untuk tahu apa makna dibalik semua itu. Januari 2007, saya tinggal di Surabaya selama 21 hari. Kesempatan itu saya gunakan untuk bersilaturahmi dengan keluarga dari nasab Bapak. Saya bertemu dengan Bu De yang sepesusuan dengan Bapak. Dari Bu De, saya berhasil memperoleh keterangan mengenai cerita dan jalan hidup Bapak. Keterangan yang mengantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa Bapak menghendaki saya untuk bisa memilih jalan sendiri. Sama dengan yang beliau alami.

Seringkali saya mendapatkan cerita bahwa keinginan Bapak tidak sejalan dengan pilihan saya. Bagi beliau, itu adalah konsekuensi dari sebuah sikap yang ingin ditanamkannya dulu. Saya kemudian mentafakkuri diri sendiri dengan membuka kembali jalan memori. Ketika memilih jurusan untuk kuliah, misalnya. Saya sempat mendapat keterangan bahwa beliau tidak menghendaki pilihan saya. Tetapi, karena saya punya pilihan sendiri yang saya yakini maka beliau tidak banyak komentar dan setuju-setuju saja.

Kini, saat tulisan ini dibuat, saya sampai pada sebuah konklusi. Kalau dulu nggak gitu, ya sekarang nggak gini.


Paninggilan, 26 Februari 2013




Rabu, 20 Februari 2013

Melombok: The Travelogue (Eps.2)

Melombok - Episode 1  klik disini

Day 2 – Sabtu, 15 Desember 2012

Liburan ke pantai di akhir tahun ini mengingatkan saya pada Desember 2008. Ketika itu saya menghadiri pernikahan seorang sahabat di Pangandaran. Sekalian liburan. Kebetulan, akhir tahun selalu memasuki musim penghujan sehingga sangatlah sulit untuk menemukan sunset. Plus, kondisi air laut yang tidak sebersih musim panas. Ditambah lagi angin yang berhembus kencang dari arah samudra. Pokoknya serba tidak ideal. 

Malimbu High - Pelabuhan Bangsal

Kekhawatiran itulah yang membuat kami sedikit waswas. Bila cuaca tidak bersahabat, angin kencang, dan mendung, kami terancam tidak bisa menikmati keindahan pesona alam Gili Trawangan. Perjalanan pun dimulai dengan menyusuri jalur pinggiran pantai barat Lombok, dari Senggigi menuju Malimbu sebelum sampai di Pelabuhan Penyeberangan Bangsal.

Pemandangan di sekitar Malimbu High
 
Malimbu adalah sebuah kelokan di jalan raya Senggigi menuju Bangsal. Entah mengapa dan apa sebabnya kelokan Malimbu ini bisa menjadi daya tarik bagi setiap wisatawan yang berkunjung kesana. Pemandangan sekitar lepas pantai Malimbu dan perbukitan di sekitarnya memang terasa menenteramkan. Apalagi ketika cuaca tidak begitu panas. Kami tidak lama berhenti disitu. Setelah memuaskan diri dengan usaha eksistensial, kami melanjutkan perjalanan.


Setibanya di Bangsal, kami dibuat sedikit heran. Mobil harus berhenti di tempat parkir yang disediakan kira-kira 500 m sebelum Pelabuhan. Ada tanda dilarang masuk. Kami harus sampai ke Pelabuhan dengan menaiki delman atau andong yang disini dinamakan ‘cimodo’. Tiga andong sudah disiapkan untuk rombongan kami. 

Cimodo, delman khas Lombok

Ongkos naik delman dari tempat parkir ke Pelabuhan sebesar Rp. 15.000,- untuk 4 orang penumpang. Khusus penumpang wide-body (ukuran ekstra) saya sarankan untuk membayar lebih karena dimensi kendaraan delman disini tidak sama dengan yang biasa dijumpai di kota-kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta. Ukuran dek penumpang cenderung lebih kecil sehingga ruang kaki menjadi lebih sempit dari biasanya. Selebihnya, tetap sama saja tidak ada perbedaan lain yang signifikan.

Rombongan Turis Bule
Ketika menunggu kapal di Pelabuhan, kami sempat berjumpa kembali dengan sepasang turis bule yang duduk di row sebelah saya waktu di penerbangan kemarin. Rupanya, mereka turis backpacker yang bersenjatakan panduan dari Lonely Planet dan beberapa catatan yang (mungkin) telah mereka buat sebelum berangkat ke Lombok. Kami tidak berangkat ke Gili Trawangan satu perahu dengan mereka karena kami sengaja menyewa satu perahu khusus untuk mengangkut rombongan kami. Harga sewa perahu adalah Rp. 10,000,- per penumpang dengan maksimal sekali pemberangkatan 25 orang. Aturannya, driver akan berlayar setiap penumpang sudah penuh terisi. Jadi, kalau belum penuh 25 orang, kita diharuskan menunggu. Perubahan cuaca yang kadang mendadak pun bisa menjadi halangan untuk menyeberang. Hal ini dengan sigap diinformasikan oleh Petugas Adpel. Demi pencegahan kecelakaan dan keselamatan pelayaran. Safety first!

Signage di Pelabuhan Bangsal

Pelabuhan Bangsal - Gili Trawangan

Pengaturan pemberangkatan kapal di Pelabuhan Bangsal dibuat sedemikian rupa mirip di bandar udara. Artinya, perahu motor baru boleh diberangkatkan dan melepas jangkar bila Administrator Pelabuhan telah mengeluarkan rilis yang bisa didengarkan melalui speakerphone. Kami masih harus menunggu sekitar 20 menit sebelum naik kapal. Kabar yang diterima dari Adpel, gelombang laut masih tinggi disertai angin kencang sehingga membahayakan pelayaran (aduh bahasanya, berasa naik Titanic). Pelabuhan Bangsal tidak hanya menyediakan transportasi dari Bangsal ke Gili saja tetapi juga ke Pelabuhan lainnya di Bali. Dari kejauhan, gugusan Tiga Gili: Trawangan, Menuk, Air; sudah terlihat menggoda. Perlahan cuaca berangsur cerah. Matahari mulai nampak. Angin berhembus pelan. Satu persatu perahu motor dirilis untuk meninggalkan Pelabuhan.

Perahu motor di Pelabuhan Bangsal

Dermaga Pelabuhan Bangsal, Lombok
 
Tiba giliran perahu motor kami yang full on board menuju Gili Trawangan. Kata Lalu Zul, guide kami, pelayaran akan memakan waktu selama setengah jam. Saya menyangkal estimasi dari Lalu Zul, “masa pulau di depan keliatan gitu nyampenya setengah jam?” Perkiraan saya didasari perhitungan jalur darat. Lalu Zul hanya berpesan supaya saya jangan dulu berkomentar dan rasakan dulu pengalamannya. 



15 menit berlalu sementara perahu kami memimpin diantara 3 perahu motor lainnya yang menuju Gili Trawangan. Kebosanan mulai melanda karena ekspektasi kami yang salah, berharap segera merapat ke Gili Trawangan. Untungnya, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk berlagak seperti kapten pilot. 



“Gili Tower this is flight DSKU01 heading east bound to Gili Trawangan request clearance to landing.”

“DSKU01 you are 1 mile away of Gili Trawangan runway, prepare to landing, landing gear down, roger.” 



“Tower, landing gear down. Flaps up. Ready  to landing, approximate 5 minutes. Flight Attendants, landing position.”



Tak pelak guyonan semacam itu cukup mengocok perut kami untuk sejenak melupakan mabuk laut bagi yang sudah mulai ‘goyang’. Saya menghabiskan waktu dengan mengambil gambar seputar pemandangan yang kelak jadi bukti bahwa saya pernah kesana dan menyalakan dua batang rokok. Mesin perahu dimatikan, jangkar dibuang. Perahu menepi. Kami pun turun menuju kafetaria yang akan menjadi ‘base operation’ kami selama seharian berada di Gili Trawangan.

Gili Menuk - Gili Trawangan

Ready to dive!
Usai mengganti baju dan membawa perlengkapan seperlunya, kami naik perahu kembali. Perahu motor kami dilengkapi dengan glass bottom surface. Artinya, bagian tengah paling dalam dari perahu dibuat dari kaca fiber tebal yang berfungsi sebagai sarana untuk menikmati keindahan biota alam bawah laut perairan sekitar Bangsal-Gili. Terus terang, itu cukup menghibur buat kami-kami ini yang sudah jarang berlibur ke pantai. Lalu Zul mengajak kami untuk snorkeling di sekitar perairan Gili Menuk. Saya tanya driver perahu, mengapa harus disana. Jawabannya, perairan sekitar Gili Menuk cukup dalam (sekitar 6 meter lebih) dengan pemandangan yang InsyaAllah bikin puas. Hmm..rasanya cukup menantang. Walaupun saya percaya diri dengan kemampuan renang yang seadanya, tantangan untuk snorkeling di kedalaman yang lebih dari 5 meter tetap saja membuat deg-degan. Rasanya, tidak lebih dari deg-degan menunggu jawaban ditolak atau diterima. #abaikan

The Man Who Can't Be Moved

Putar haluan, kapten!

Tidak lama, kami sudah mengenakan peralatan standar snorkeling. Life vest, corong udara, kacamata selam, dan tak lupa sepatu katak. Kesan pertama saya sebelum take-off terjun ke laut lepas adalah air laut itu asin, dan itu cukup mengganggu. Maklum, kebanyakan renang di Gelanggang Olahraga Sabuga Bandung hehehe... Satu yang saya ingat seperti ketika untuk pertama kalinya terjun bebas dari ketinggian 5 meter di Kolam Renang Sabuga adalah lebih baik nyebur di kolam yang dalam daripada kolam yang lebih dangkal. Alasannya, hukum Archimides berlaku. Gaya benda yang menekan permukaan air akan mendapatkan tekanan dengan nilai gaya serupa. Kurang lebih begitu, CMIIW. 

Benar saja, rasanya memang lebih baik begitu. Saya bisa segera menyesuaikan diri, mengatur gerak dan nafas. Bahkan sempat membantu seorang kawan yang ‘kaget’ ketika take-off ke laut. Kecuali, air asin yang kerap masuk ke jalur kerongkongan sehingga terminum, selebihnya adalah suatu kenikmatan. Betapa saya bersyukur dapat diberi kesempatan untuk menikmati jargon “The Beauty of Indonesia’. Sungguh tiada terkira bahwa negeri kita ini memiliki ‘surga’kecil disini.

Kami tidak lama disitu. Selain karena arus mulai deras, di sekitar daerah laut itu tidak ada pembatas area snorkeling dengan laut lepas. Sehingga cukup membahayakan kami yang masih amatiran ini. Kami beringsut menuju Gili Trawangan kembali. Tak jauh dari tepi pantai, terdapat perairan karang yang cukup dalam dan dengan pemandangan yang tak kalah indahnya. Kami pun diperbolehkan untuk memberi makan ikan disana. Dengan modal roti tawar yang banyak dijual di warung sekitar sana kami bisa menarik perhatian ikan-ikan tropis berwarna-warni. Sungguh suatu keindahan lainnya yang tiada tara. Ikan berwarna yang selama ini hanya saya saksikan di National Geographic (kalau kebetulan sedang menginap di hotel :D )  kini berada di hadapan mata.

Setelah menikmati semua keindahan biota karang itu, sempat terpikir beberapa hal. Kelak, ikan-ikan yang mendiami wilayah itu akan merasakan ‘kejenuhan’ dan ‘kebosanan’ karena selalu diberi makan roti tawar oleh pengunjung. Gue aja bosen, apalagi ikan..hahaha.. suatu saat, gen mereka akan bermutasi dan mengalami evolusi. Nantinya, penerus keturunan spesies mereka  selanjutnya bukan lagi ikan laut murni yang hanya makan plankton dan hewan-hewan mikroskopis lainnya, tetapi berubah menjadi ikan laut yang sebagian pemakan plankton/mikroskopis dan roti tawar. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi kalau anda pernah nonton Godzilla, mungkin anda akan paham (atau tambah bingung :D ). Itu hanya pemikiran sempit belaka yang datang dari sebuah pikiran yang berusaha untuk ingin melestarikan lingkungan biota laut di sekitar perairan Gili Trawangan. 

Tiga Duyung Mendarat
 
Rupanya, beberapa kelompok usaha atau pun kelompok pecinta lingkungan sudah melakukan berbagai usaha untuk usaha pelestarian itu. Misal, ada sebuah perusahaan yang ikut membantu usaha budidaya terumbu karang. Usaha mereka cukup bagus dari segi branding dan positioning, serta relevansinya dengan program Community Social Responsibility (CSR) mereka. Mereka cukup membuat kerangka besi tempat terumbu karang akan menempel dan selanjutnya berkembangbiak tentu dengan tambahan label perusahaan mereka. Suatu usaha sederhana yang sarat makna. Lainnya, di pinggir pantai terdapat penangkaran penyu yang disponsori oleh satu perusahaan penerbangan nasional/national flag carrier (untuk tidak menyebutnya maskapai berkode GA :D).

Kolam Penangkaran Penyu, Gili Trawangan, Lombok.


Hari sudah siang. Saya mulai kepanasan. Tiga dari kami pun segera menepi. Segera menuju kamar mandi tempat membilas. Waktu makan siang sudah tiba. Usai mandi, kami berjalan menuju kafetaria ‘base operation’ semula. Rupanya, cukup jauh dari tempat kami snorkeling, sekitar 1 km. Namun, karena itu pula saya dapat merasakan denyut kehidupan di Gili Trawangan ini. Sepanjang jalan di tepian pantai ini banyak kafe atau sekedar tempat makan. Saya tidak bisa membandingkannya dengan Bali. Yang jelas, beragam menu disajikan. Beberapa bahkan melengkapinya dengan ornamen-ornamen berbahasa internasional. Banyak pula tempat yang menawarkan peralatan diving dan snorkeling. Jangan khawatir kehabisan uang tunai, ada beberapa ATM yang saya jumpai disini, diantaranya adalah Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Menurut Lalu Zul, setiap hari Senin, Rabu, Jum’at, dan Malam Minggu beberapa kafe mengadakan party. Biasanya, kalau lagi banyak wisatawan asing yang berkunjung kesana. Mau coba? 

Coral Reef Restoration Center

Beach Club, tempat jajan

International Taste

Come in, speak little-little Anglais!
 
Sebagai informasi, harga sewa satu set alat snorkeling berkisar Rp. 70,000,- dengan denda mencapai Rp. 200.000,- bila salah satunya ada yang hilang tenggelam. Sekedar saran, segera beritahukan guide/pemandu bila mengalami kejadian itu. Harga sewa glass bottom boat dari Gili Trawangan ke lokasi snorkeling sekitar Rp. 50.000,-/penumpang, maka usahakan sewa perahu beramai-ramai bila menghendaki tarif yang lebih murah, harap dicatat juga bila anda seorang low cost traveler. Bila peserta lebih dari 10 orang, perahu bisa disewa dengan harga grup/borongan Rp. 500.000,-. 

Hutan Pusuk

Selesai makan siang, kami melanjutkan agenda selanjutnya. Tercatat di itinerary adalah Hutan Pusuk. Sebuah kelokan (lagi-lagi) di sepanjang Jalan Raya yang menghubungan Bangsal dengan Ampenan dan Mataram, dimana terdapat spesies monyet liar. Pengunjung bisa berhenti sejenak dan memberi mereka makan. Monkeyfeeding. Suasana itu mengingatkan saya pada sebuah daerah di Sumatera Utara, di sepanjang jalan raya menuju Danau Toba di Prapat. Hanya saja, waktu itu saya tidak berhenti.

Kitorang so bersodara!

Monkeyfeeding di Hutan Pusuk
Pikiran aneh itu datang lagi. Monyet liar yang dulunya hanya makan dari hasil hutan yang ada di sekitar habitat  mereka kini sudah pandai menandai kendaraan yang berhenti dan mereka lantas bersiap menunggu pengunjung yang akan melempar kacang ke arah mereka. Kecederungan seperti ini bila terus dibiarkan akan mengganggu ekosistem dan ‘kodrat’ monyet di sekitar Hutan Pusuk. Saya khawatir mereka akan selalu menunggu kedatangan wisatawan yang sekedar ingin mencari sensasi dengan monkeyfeeding sehingga mereka lupa akan kodrat mereka. Lagi-lagi, saya tidak bisa menghindari datangnya pemikiran semacam tadi di Gili. Saya takut mereka menjadi makhluk yang malas lalu menjarah ke pemukiman penduduk karena sudah terbiasa dengan makanan manusia. Semoga saya salah.

Buah Tangan dari Lombok

Hari merambat senja ketika kami tiba di sentra oleh-oleh. Kami membeli beberapa penganan khas Lombok seperti dodol rumput laut, telur asin (dari telur bebek liar), dan tak ketinggalan susu kuda liar. Perjalanan dilanjutkan menuju sentra penjualan mutiara. Perlu dicatat, bahwa Lombok sudah terkenal sebagai pemasok mutiara berkualitas baik. Pasar ekspornya sudah mencapai Jepang dan Eropa. Konon, tambak mutiara disini dimiliki dan dikelola oleh seorang Jepang. 

Dalam setiap perjalanan menuju obyek wisata jangan heran bila pembaca menemukan banyak penjual mutiara. Hati-hati dan jangan tergiur dengan harga murah yang ditawarkan.

Dipilih, dipilih, dipilih, mutiaranya Kakak!

Harga mutiara air laut adalah yang paling mahal. Harga per gram yang berwarna putih mulai sekitar Rp 250.000 dan yang berwarna coklat paling mahal sekitar Rp 350.000. Jadi satu butir mutiara warna coklat yang beratnya lima  gram saja bisa seharga Rp 1.750.000.  Mutiara laut dijual dengan harga per gram hanya di toko-toko mutiara yang besar saja di seputaran kota Mataram. Harga mutiara air laut per gram tergantung ukuran berat. Mulai  Rp 250.000 sampai Rp 500.000 per gram tergantung ukuran besar kecilnya.

Mutiara yang bagus berwarna putih dan coklat adalah yang terlihat bening, mulus dan cenderung berbentuk bulat. Ada juga yang bentuknya bulat dan terdapat tonjolan-tonjolan kecil karena bentuk mutiara air laut alami tidak bisa dibentuk di dalam kerang. Bila anda menghendaki mutiara dengan harga yang lebih terjangkau, mutiara air tawar bisa jadi alternatif. Bentuknya sebagian besar lonjong seperti telur burung merpati. Warna mutiara air tawar ada yang berwarna pink dan putih.

Mutiara air tawar yang sudah diikat di cincin, anting, dan kalung yang  memakai lapisan perak hanya seharga Rp 10.000-Rp 20.000 per buah. Tetapi penjual mutiara yang mangkal di daerah wisata di sana membuka harga dengan harga tiga kali lipat dari harga sebenarnya. Anda harus berani menawar harga sepertiganya.

Kebetulan kami mampir di sebuah toko yang khusus menjual mutiara. Dari luar, tidak nampak bahwa rumah yang besar itu adalah sebuah toko. Namun, begitu masuk ke pekarangannya segera nampak pemandangan layaknya sebuah toko perhiasan. Kata Lalu Zul,hal inilah yang membedakan penjual mutiara. Lalu Zul berani menjamin kualitas mutiara yang dijual di toko “Lipco” ini. Saya membeli sebuah gelang bermata dan dua cincin mutiara dengan harga yang wajar. Saya sedikit tidak ambil pusing dengan harga jual disitu karena kualitasnya memang terjaga. Kwalitet no.1, menirukan iklan cetak sebuah produk racun tikus medio 1950-an. Yang terpenting, mereka menerima pembayaran melalui kartu debit dan kartu kredit. So, bukan pilihan yang terlalu salah to spend your money and makes it worth.

Satu tujuan terakhir sebelum makan malam, yaitu sentra penjualan kaos oblong. Bila Yogyakarta sudah lebih dulu eksis dengan Dagadu, lalu Bali dengan Joger-nya, maka Lombok menawarkan Lombok Exotic. Memang betul harganya sangat ‘eksotis’. Mulai kisaran Rp. 25.000,- hingga Rp. 80.000,- tergantung ukuran, bahan, dan model sablon. Saya dibuat keheranan lagi, karena Exotic dengan bahan kaos yang sama namun hargaharga jualnya jauh dibawah Dagadu dan Joger. Entah ini suatu trik bisnis atau bagaimana, saya tidak mengerti. 

Usai membeli beberapa potong kaos, saya sempat merokok sebentar sambil duduk-duduk menunggu kawan-kawan selesai belanja. Kebetulan, sang pemilik toko duduk di dekat saya. Dia bercerita bahwa harga jual kaosnya memang tidak masuk akal. Memang tidak masuk akal. Lihat saja warna sablon dan separasi yang mencapai 8 warna itu. Saya tidak percaya bahwa harga kaos itu bisa begitu murah, ujar saya pada sang pemilik toko. Dia lalu menjelaskan, bahwa itu memang strategi dari bisnisnya. Dia tidak mengambil keuntungan yang banyak lazimnya pengusaha konveksi lainnya. Baginya, yang terpenting adalah kontinuitas order yang disebabkan oleh kepuasan pelanggan. Saya senang dengan gaya penjelasannya yang santai namun tetap berkali-kali meyakinkan saya bahwa dia sangat menjamin kualitas kaos hasil produksinya. Sebuah model bisnis yang patut ditiru.

Ayam Taliwang Lombok

RM Lesehan Taliwang Irama

The Legendary Ayam Taliwan from Lombok
 
Dari Lombok Exotic, kami beranjak ke Rumah Makan Lesehan Taliwang Irama, yang terletak di Jl. Ade Irma Suryani No. 10 Cakranegara Lombok. Sudah barang tentu menu utama makan malam kami adalah Ayam Taliwang. Sengaja, Lalu Zul membawa kami kesini. Konon, disinilah restoran Ayam Taliwang yang sudah turun temurun. Mengenai rasa, saya tidak bisa berkomentar selain: istimewa, hauce ping ping ping!!! (a la Benu Buloe).

Rasa lelah akibat perjalanan seharian ini semakin menjadi dalam perjalanan kembali ke hotel di Senggigi. Untung saja, kami para lelaki sempat beristirahat sebentar dalam perjalanan menuju hotel sehingga masih punya cukup tenaga untuk menikmati malam minggu di Senggigi.

Stones in the Midnight

Tentu saja, saya dan kawan-kawan tidak ingin melewatkan kesempatan bermalam minggu di Senggigi. Bar dan kafe sepanjang jalan mulai menggeliat  menjelang tengah malam. Terdengar alunan musik pop dari kafe di seberang. Rupanya, anak-anak muda  senang betul main kesitu. Jalan sedikit, dentuman house music menghentak. Inilah surga bagi mereka para penikmat malam. Sayang, kami datang seminggu lebih cepat dari jadwal manggung DJ Rahma Azhari di pub sebelah hotel kami menginap.

Pusat Kerajinan Tangan di Senggigi
  
Setelah melihat-lihat sentra handicraft berjudul “Bayan Lombok”, saya berpisah dari rombongan kawan-kawan. Mereka mau dipijat katanya. Sedang saya, ingin kembali ke hotel, mau tidur. Capek betul rasanya. Ini kaki pegal sekali. Namun, seorang kawan yang tadi saya ‘selamatkan’ waktu snorkeling tidak jadi dipijat. Mau ikut saya, katanya. Baiklah, saya ingin menikmati live music malam ini. Bukan lagu pop melayu yang lagi ngetrend. Kalau ada dangdut, bolehlah. Tapi, tak kunjung kami temukan. Untung saja ada sebuah kafe tenda yang kalau didengar-dengar sedang menggelar “Blues’s Night”. Saya coba mampir kesana bersama seorang kawan ini. Dia juga penggemar musik dan Juventus. Sedangkan saya, senang musik dan AC Milan. 

Dugaan saya tidak salah. Begitu saya datang, band yang sedang tampil itu langsung menghentak dengan lagu Rolling Stones, “(I Can’t Get No) Satisfaction”. Yeaah...this is LIFE!!! Sembari menyantap fried calamari roll, kepala kami pun turun naik ikut irama lagu. I can’t get no..... 

She Got the Moves Like Jagger!

Saya memang tidak salah pilih. Pengunjung lainnya, baik yang sudah datang sebelum kami maupun datang sesudah kami ternyata bule semua. Mereka rupanya juga sama menikmati sajian kafe ini. Tidak ketinggalan seorang pengunjung, umurnya mungkin sudah 50 tahun lebih, tepat dipanggil nenek tampaknya, meminta band membawakan lagu ‘Paint It Black’. Dengan penuh antusias meminta si nenek ikut manggung bersama mereka. 

Granny singing Paint It Black

Granny rupanya penggemar Mick Jagger, sebentar mereka bercengkerama di panggung. Yeah, Granny mulai menyanyi. Tampak sekali Granny menikmati malam ini. Tidak ketinggalan juga saya, si kawan R ini, dan juga pengunjung bule lainnya. Sengaja band membuat lagu ini lebih panjang dari biasanya. Granny nampak puas dengan penampilannya. Kami semua memberi applaus untuk band dan si Granny.

Sayang, itu adalah pertunjukan terakhir malam ini. Kafe tidak lalu tutup, masih terus buka. Tetapi, tentu saja akan berbeda bila tidak ada hiburan live music disitu. Sedang, di tempat lain, irama melayu terdengar akrab mengalun, kata Franky Sahilatua.

Kami pun bergegas meninggalkan kafe dan kembali ke hotel sembari menunggu kawan-kawan lain yang selesa dipijat. Mereka bilang enak cuma sayang terapisnya kurang tahu cara memijit yang benar. Sementara mereka lanjut begadang sampai pagi, saya segera pergi tidur. Biar dicap sebagai orang yang tidak menikmati liburan, tidak masalah. Buat saya, esok masih ada tujuan. Saya tidak mau kelelahan. Malam pun terasa panjang. And, life is very long.


Senggigi-Paninggilan, Januari 2013.

Melombok Eps.3-TAMAT  klik disini

Selasa, 19 Februari 2013

Dua Sastrawan Jepang

Menarik untuk mengetahui selayang pandang literatur Jepang melalui tulisan Edwin McClellan. Penulis secara khusus memang menempuh jalur studi di bidang literatur Jepang. Sehingga, penyampaian tentang kedua tokoh besar dalam sejarah perkembangan sastra Jepang dapat diulas dengan objektif.


Buku ini cenderung berkesan sebagai buku semi-biografi. Natsume Soseki dan Shimazaki Toson dihadirkan dalam fragmen-fragmen kecil mengenai sejarah kehidupan personal mereka. Pengalaman-pengalaman mereka disajikan kembali ke hadapan pembaca mulai pengaruh restorasi Meiji hingga kehidupan mereka selama menempuh pendidikan gaya barat di luar negeri. Beberapa karya mereka menampilkan muatan-muatan perasaan mereka selama periode tersebut. Tak heran bila kemudian Botchan karya Soseki meraih banyak penghargaan dan banyak diterjemahkan di berbagai negara.

Walaupun tulisan penulis tidak secara utuh menghadirkan imaji atas kedua sastrawan Jepang itu namun pembaca memperoleh gambaran penuh tentang kedua sosok sastrawan Jepang itu. Misal saja, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan karya-karya mereka. Menarik karena Edwin McClellan sepertinya sengaja membongkar semua hal yang berkaitan dengan cerita lain dibalik penciptaan karya mereka. Hal ini menjadi nilai tambah bagi pembaca untuk memahami pribadi personal dan karya mereka secara lebih detil.

Judul        : Two Japanese Novelists: Soseki & Toson
Penulis     : Edwin McClellan
Penerbit   : Tuttle Publishing
Tahun      : 2004
Tebal       : 180 hal.
Genre      : Kesusasteraan Jepang

Bogor, 6 Februari 2013.

Minggu, 17 Februari 2013

Sketsa Sejarah Republik (2)

Dilihat dari gambar sampulnya, buku seri ke-4 dari petikan Sejarah Kecil Indonesia ini kiranya memberi perhatian lebih pada sosok dan profil seorang Rosihan Anwar. Jam Gadang di Bukittinggi itu merupakan perlambang identitas asal usul Rosihan Anwar yang sengaja diungkapkannya dalam 19 bab buku ini.

Selain itu, pada bab-bab pembuka, Rosihan Anwar bercerita tentang tokoh-tokoh yang masih ada hubungannya dengan perjuangan republik. Tokoh-tokoh itu tidak bersentuhan langsung dengan beberapa peristiwa sejarah negeri. Namun, kehadiran mereka tidak lalu dapat dilupakan begitu saja. Bahkan, Rosihan Anwar pun menulis tentang Anwar Ibrahim yang asal Malaysia itu. Tak ketinggalan kisah awkward moment dengan Soe Hok Gie, ikut diceritakan.

Rosihan juga menceritakan pengalaman-pengalaman yang dirasakannya ketika melakukan "peran" yang berbeda-beda sebagai penulis resensi (resensor), kolumnis, reporter, penulis editorial, komentator luar negeri, dan terakhir sebagai seorang sastrawan. Perlu dicatat, bahwa Rosihan Anwar pernah menulis dua cerita pendek, yaitu "Radio Masyarakat" dan "Pamankoe" yang dimuat dalam majalah mingguan Djawa Baroe. Kedua cerpen itu tidaklah luar biasa, katanya. "Radio Masyarakat" meraih hadiah ketiga dalam sebuah sayembara dan dimuat oleh H. B. Jassin dalam buku antologi Gema Tanah Air. Sedangkan, "Pamankoe" dimuat pada awal 1945.


Kemudian, Rosihan Anwar menceritakan jatidiri dan asal usulnya. Tentang siapa saja yang disebut sebagai nenek moyangnya. Rosihan tidak kehilangan detil cerita dalam pengungkapan beberapa peristiwa yang saling berkaitan dengan apa yang pernah ditulisnya pada seri buku 1-3. Dapatlah kiranya pembaca menemukan fakta bahwa Rosihan Anwar punya hubungan kerabat dengan Marah Roesli. Penulis yang terkenal dengan karya "Siti Nurbaya" yang tak pernah lekang oleh waktu sejak 1920 hingga kini.

Rosihan menginsafi betul peran dan jalan hidup yang ditempuhnya. Terbukti, beberapa catatan harian peribadinya sengaja dimunculkan dalam satu bab menjelang akhir buku. Dengan beberapa suntingan di sana-sini Rosihan Anwar menulis tentang kegelisahannya di masa usia Republik masih muda. Konfrontasi dan konflik yang terus meningkat terekam jelas dalam catatannya. Khusus untuk catatan seputar peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, membuat saya teringat pada Bung Tomo, "Pertempuran 10 November 1945".

Kredit khusus diberikan Rosihan Anwar pada cucunya, Azka, yang membantu sepanjang penulisan seri buku terakhir ini (kelak terbit seri ke-5 dan ke-6). Tak lupa juga, Rosihan Anwar menyisipkan sebuah sajak berjudul asli "Radja Djin" yang dimuat dalam koran Merdeka pada peringatan 6 bulan Republik Indonesia. Nama Radja Djin mengacu pada penamaan cara sandiwara Stambul, dimana Radja Djin digunakan untuk pelaku utama pria, sedangkan "Sri Panggung" untuk pelaku utama perempuan.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Secara pribadi, minat saya terhadap sejarah sudah berlangsung lama. Saya masih ingat, sejak masih TK saya selalu membaca buku pelajaran IPS Sejarah untuk kelas 6 SD. Buku itu selalu tersimpan di satu lemari di Rumah Nenek di Teluk Buyung.

Saya merasa beruntung karena akhirnya selama kurang lebih dua bulan ini berhasil melakukan sebuah perjalanan panjang, long-range reading, terhadap serial Petite Histoire ini. Kemudian, saya harus mengambil nafas lagi karena ternyata masih ada terbitan baru serial ke-5 dan ke-6.

Pembacaan ini ternyata memberi sebuah efek domino. Ketertarikan atas sejarah dan cerita-cerita non-fiksi membuat buku-buku lain seputar sejarah Kiblik mengantri untuk dibaca. Sebut saja Doorstot Naar Djokja, Napak Tilas ke Belanda, dan Mengenang Sjahrir. Khusus untuk yang disebut terakhir, itu memang amanat Ibu yang menginginkan saya membaca tentang Sjahrir dan Natsir. Entah apa maksudnya, tapi suatu hari nanti saya akan lakukan permintaan Ibu itu.

Saya bersyukur karena "nafsu" atas pengetahuan sejarah negeri ini terpuaskan dengan terbitnya Sejarah Kecil Indonesia ini. Saya memberi perhatian lebih bagi hal-hal yang "kecil" itu karena darinya tentu akan menguak hal-hal lain yang lebih besar. Penutup, saya selalu ingat sebuah kalimat dari Seno Gumira Ajidarma: Sejarah, seberapa jauh kita belajar darinya?

Judul       : Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia; jilid 4
Penulis     : Rosihan Anwar
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tahun      : 2010
Tebal       : 282 hal.
Genre      : Sejarah

Paninggilan, 17 Februari 2013.
-di hari ulang tahun Ibu-

Sabtu, 09 Februari 2013

Un Soir du Paris: Menguak Rahasia Perempuan

Sangat jarang sebuah buku yang diterbitkan penerbit besar mengangkat tema lesbian. Seakan menuntut pengakuan melalui kumpulan cerpen ini. Hal ini tentu menarik sebab hal yang demikian itu masih dianggap tabu untuk masyarakat beradat ketimuran. Diluar semua perdebatan mengenai tema lesbian, kumpulan cerpen ini hadir untuk menguak sebuah dunia yang belum terjamah. Ini menjadi bukti bahwa imajinasi dan interpretasi atas kaum lesbian muncul sebagai refleksi realitas sehari-hari.



Beragam cerita dituliskan dan menghadirkan imajinya masing-masing. Tentang sebuah cinta yang "terlarang". Sebagai favorit saya memilih cerpen dengan judul "Tahi Lalat di Punggung Istriku". Selain cerpen dari Seno Gumira Ajidarma tentunya yang sudah duluan dibaca.Mata Indah karya @clara_ng pun tidak kalah dalam menghadirkan nuansa cinta terlarang dengan konflik yang apik. Sedikit horor namun tetap menarik.

Overall, segenap cerita tentang lesbian dalam buku ini menguak sisi-sisi yang belum sepenuhnya terkuak oleh tabu khayalak luas. Walaupun dalam pengantar buku telah disebutkan bahwa kebanyakan cerita belum tampil "menggigit" untuk menghadirkan lebih banyak konflik. Dengan demikian, sastra telah menampakkan wujudnya sebagai refleksi realita kehidupan. Dengan mencatatnya kedalam kumpulan cerpen ini, usaha untuk mendokumentasikan kaum lesbian menjadi lebih bermakna dalam menghadapi hegemoni konstruksi sosial yang berlaku di tengah masyarakat.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Awalnya, saya pikir saya akan menemukan sebuah imaji terindah untuk sebuah petang di kota Paris. Ternyata saya salah. Kumpulan cerpen ini mengangkat sebuah fenomena yang selama ini hanya terdengar hembusannya saja tanpa pernah nampak di permukaan. Sebuah fenomena yang benar-benar ada namun tidak lantas lantang diteriakkan. Entah karena konstruksi sosial dalam masyarakat yang belum mengizinkannya.

Menikmati tulisan-tulisan tentang cinta sesama perempuan buat saya bukanlah hal yang pertama. Pernah saya menulis sebuah cerpen bertema sama yang lantas diterbitkan oleh sebuah penerbit independen. Pun, ketika ternyata cerpen SGA tentang dua perempuan dengan HP-nya dimuat disini. Mengingatkan saya pada cerpen SGA lainnya (yang juga bertema sama) yaitu Lelaki Terindah.

Khusus untuk buku ini saya memberikan apresiasi khusus karena tidak banyak karya serupa.

Judul        : Un Soir du Paris
Penulis     : Cok Sawitri, Clara Ng, et.al, Oka Rusmini (ed.)
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun      : 2010
Tebal       : 144 hal.
Genre      :Kumpulan Cerpen-Lesbian


Bogor, 5 Februari 2013.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...