Minggu, 31 Mei 2015

Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang Orang Pinggiran

"Orang lebih takut kepada ketakutan dibanding kepada Tuhan." 
Hal. 233


Dinamika sosial berlangsung dari waktu ke waktu. Sejak negeri ini mulai berdialektika dengan kemerdekaannya sendiri. Melalui buku ini, agaknya Emha masih melontarkan kritik sosialnya pada berbagai persoalan pembangunan. Buku ini menghimpun catatan-catatan Emha yang terbit pada rentang tahun 1991-1994 di berbagai media cetak seperti Suara Pembaruan, Suara Karya, dan Surya serta beberapa dokumentasi pribadinya. 

Dilema pembangunan yang membawa arus modernitas tidak bisa tidak berhadapan dengan arus kehidupan masyarakat yang masih agraristik. Hal itu masih dapat dirasakan pada konteks kekinian, dimana tidak banyak perubahan yang terjadi sejak buku ini terbit pertama kali pada tahun 1995 hingga kini. Kalaupun boleh menambahi, arus modernisasi dan globalisasi saja yang semakin membawa pengaruh.

Bagian pertama dan kedua buku dinamakan sebagai "Pengaduan I" dan "Pengaduan II". Emha mengumpulkan berbagai pengalaman dan keluh-kesah orang-orang yang mendatanginya. Kemungkinan besar, kalau dilihat dari bahasa penyampaiannya, berasal dari rubrik yang diasuhnya  di harian Surya. 

Esai-esainya memberi banyak pencerahan sekaligus refleksi tentang nilai dan hubungan kemanusiaan yang kian pudar. Riuh pembangunan telah mengikis kesadaran manusiawi menjadi kepatuhan yang berdasar pada ketakutan. Personally, buku ini juga membuat saya teringat pada kalimat pembuka lirik lagu "Tombo Ati" gubahan Emha dan Kiai Kanjeng. 

Dua bab selanjutnya diberi judul "Ekspresi" dan "Visi". Pada bagian inilah Emha menyatakan ketidaksetujuannya pada tatanan birokratik yang terus menerus mewajibkan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Benturan-benturan dalam masyarakat yang sengaja diciptakan dan dikondisikan dalam menyambut Pemilu 1992 hanyalah contoh kecil. 

Emha juga menyertakan contoh bagaimana mahasiswa KKN yang datang dari kota dengan segala keilmuan dan arus modern yang dibawanya berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang diwakili Pak Mataki, Bu Limah, dan Pak Dayik. Dialektika antara keduanya menjadi hal yang patut direnungkan bersama.

Apakah semua kemajuan pembangunan ini lantas membuat kita jadi gelandangan di kampung sendiri? 


Judul        : Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 292 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Sosial-Budaya


Dharmawangsa, 31 Mei 2015. 

Jumat, 29 Mei 2015

Slilit Sang Kiai

Courtesy: www.caknun.com

Saya agak keheranan waktu pertama kali menjumpai buku Emha dengan judul seperti ini. Tadinya, saya pikir slilit milik Sang Kiai ini punya kesaktian atau makrifat. Entah digunakan untuk apa. Barulah saya pahami kemudian ketika benar-benar membaca tulisan yang diangkat jadi judul seluruh buku ini. Ternyata, gara-gara slilit seorang Kiai batal masuk surga.

Begini ceritanya. Seorang Kiai telah makan daging di sebuah kenduri, waktu itu ia sibuk meladeni orang yang ingin bersalaman dengan dirinya, ia tak sempat untuk menyingkirkan slilit daging di giginya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Pak Kiai mengambil seujung potongan bambu dari pagar tetangganya untuk membuang slilit daging di gigi Pak Kiai, layaknya tusuk gigi.

Kemudian, Pak Kiai meninggal dunia. Lalu ada seorang santri yang mimpi bertemu dengan Pak Kiai yang tertahan di pintu surga. Dalam mimpinya Pak Kiai berkata, "Dosa-dosaku telah Allah ampuni kecuali satu. Aku tidak sempat meminta izin pemilik rumah untuk mengambil sedikit dari bambunya untuk kujadikan tusuk gigi. itu membuatku sangat repot di alam kubur."

Tulisan ini punya muatan pesan yang amat dalam. Betapa slilit yang remeh itu telah merepotkan seorang Kiai yang selalu dipersepsikan mudah menggapai surga. Betapa hal kecil yang amat remeh pun ternyata dapat menghalangi kita dari jalan kebaikan bila diperolah dengan cara yang tidak benar dan tidak disukai Allah SWT. Bayangkan saja bagaimana runyamnya para koruptor dan para maling duit rakyat ketika menghadapi hari penghisaban.

Dari kisah tersebut, kemudian Emha menjelaskan perkara-perkara lainnya semacam itu yang tidak saja melulu habluminallah tetapi juga habluminannas. Tulisan Emha muncul dengan cermat dan cerdas dalam menganalisa etika sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

"Slilit Sang Kiai" hadir kembali dalam wujud cetak ulang setelah lahir pertama kali pada tahun 1991. Buku ini tetap memiliki nilai relevansi yang tinggi dengan kondisi saat ini. Bagaimanapun adanya, kehidupan ini tidak bersifat parsial-statis tetapi kontekstual dinamis. Walaupun sudah tidak lagi aktual, namun nilai kontekstualnya tetap terjaga. 


Judul        : Slilit Sang Kiai
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Pustaka Utama Grafiti
Tebal        : 243 hal.
Tahun       : 1991
Genre       : Sosial-Budaya


Pharmindo-Medan Merdeka Barat, 29 Mei 2015.

Kamis, 28 Mei 2015

Tiada Ojek di Paris: Obrolan Urban

"Ideologi bukanlah konsep, melainkan praktik kehidupan sehari-hari itu sendiri."  Hal. 89

 
Perdebatan wacana tentang sebuah kota selalu menarik untuk dibahas. Betapa keberadaaan sebuah kota bukan hanya soal nama saja, tetapi juga soal makna. Lebih jauh, soal keberadaannya secara historis, morfologis, dan sosiologis. Lalu, seperti apakah Jakarta dalam benak seorang Seno Gumira Ajidarma?


Apa yang SGA tulis disini tidak jauh berbeda dengan buku terdahulu, "Affair" dan "Kentut Kosmopolitan". Bagi yang akrab dengan "Surat dari Palmerah", bagian 'kesenian' buku ini mungkin sudah mafhum bagi anda. Gambar-gambar reproduksi dari produk budaya yang dihasilkan sepanjang sejarah perjalanan republik turut menghiasi bacaan ringan ini.

Obrolan ringan tentang Jakarta dalam buku ini dibuat ringan dan habis sekali baca. Maklum saja, buku ini adalah kumpulan tulisan SGA di "Affair", "Kentut Kosmopolitan", dan Majalah Djakarta! free mag. Walaupun begitu, muatan filsafat kental sekali dalam pembacaan.

SGA mempertanyakan, pernahkah kita melihat tukang ojek mangkal di sekitar Menara Eiffel, Paris. Tentu sudah lumrah bagi kita di Jakarta kalau seorang eksekutif muda berlarian untuk mengejar ojek supaya tidak terlambat ikut meeting di gedung-gedung pencakar langit sepanjang Sudirman-Thamrin-Kuningan.

Pertanyaan itu berlaku juga untuk hal-hal lain yang hanya ada di Jakarta. Contoh lain yang dekat dengan keseharian adalah dunia yang orang Jakarta buat dalam mobilnya sendiri. Ada ruang yang tercipta dalam kemacetan setiap hari. Pun, ketika bicara kesenjangan daerah dengan Ibukota dan gosip yang berkeliaran sepanjang hari di infotainment. Semuanya melekat dalam keseharian orang-orang Jakarta.

Silakan menikmati tingkah polah manusia yang selalu berubah seiring berubahnya persepsi tentang dimensi ruang dan waktu mereka akibat tuntutan kehidupan perkotaan yang serba cepat dan tak memberikan waktu untuk berhenti sejenak. Tentang orang-orang modern yang tertipu dan terkungkung oleh modernitas yang mereka buat sendiri. Pembaca silakan nyengir, tertawa atau miris, menyaksikan semua hal yang hanya terjadi di Jakarta. Dengan demikian, pemaknaan suatu hal dan ideologi-ideologi yang menukanginya menandakan sebuah pergulatan wacana yang interkontekstual.


Judul        : Tiada Ojek di Paris: Obrolan Urban
Penulis     : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit   : Penerbit Mizan
Tebal        : 210 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Sosial-Budaya


Serpong, 28 Mei 2015.

Rabu, 27 Mei 2015

Sedang Tuhan Pun Cemburu

Lagi, Emha melontarkan kritik sosialnya. Selain budaya seks bebas yang mulai menjalar di kotanya, satu yang perlu saya cermati lagi adalah soal pemurnian agama Islam yang cenderung mematikan kreativitas dalam beragama. Emha rupanya tidak tahan pada proses pemurnian itu yang cenderung meniadakan kemesraan antara seorang hamba dengan Tuhannya.


 
Esai-esai yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib dalam buku ini, merefleksikan betapa panjang pertanyaannya atas hidup. Emha tak hanya melihat pola interaksi antara manusia dengan Tuhan yang semakin mengabur, tetapi juga semakin tersingkirnya manusia dari strata-strata sosial yang mereka bentuk sendiri.

Harus diakui bahwa membaca buku ini tidak mudah. Selain jumlah halaman yang panjang, ada beberapa konteks peristiwa yang harus kita pahami. Untuk itu, memungkinkan beberapa tulisan perlu dibaca berulang kali. Judul buku ini adalah sama dengan sebuah artikel didalamnya. Emha melukiskan bagaimana cemburunya Tuhan kepada manusia. Masih sama dengan buku edisi pertama yang terbit tahun 1990-an.

Saya senang pada buku yang terbit setelah Anggukan Ritmis Pak Kiai ini, editor entah penulisnya sendiri menambahkan identitas pada akhir tulisannya. Bagi saya, waktu ketika tulisan itu dibuat adalah satu penanda zaman, agar tidak salah memaknai isi tulisan tersebut. Pun, dengan penamaan bab-bab yang unik. Tidak percaya, silahkan cermati sendiri. Saya yakin, ada muatan filosofis dibalik itu semua.


Judul        : Sedang Tuhan Pun Cemburu
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 456 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Sosial-Budaya


Dharmawangsa-Serpong, 27 Mei 2015.





 

Jumat, 15 Mei 2015

Rahvayana: Aku Lala Padamu

Menikah itu nasib. Mencintai itu takdir.
Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa kamu rencanakan cintamu untuk siapa.


 
Sejak pertama kali melihat sampul buku ini, dengan judul perpaduan antara Rahwana dengan Ramayana, saya sudah menduga bahwa Rahwana akan mendapat semacam ‘pembelaan’ disini. Dalam berbagai versi Ramayana yang sudah umum, Rahwana selalu dikisahkan sebagai antagonis. Dalam Rahvayana milik Resi Sujiwo Tejo ini, Rahwana tampil sebagai sosok yang lebih apa adanya. Rahwana dibebaskan dari pakem wayang pada umumnya.

Pembebasan pakem ini berlaku juga pada keseluruhan cerita. Rahwana yang dasamuka ini jatuh cinta pada titisan Dewi Widowati. Kelak, Dewi Widowati akan menitis pada Dewi Sukasalya dan Dewi Citrawati, lalu bermuara di Dewi Sinta. Itulah mengapa Rahwana selalu jadi tersangka dalam kisah Ramayana.

Rahvayana, perjalanan Rahwana, adaah kumpulan surat-surat bernada mesra kepada Sinta. Dengan menggunakan sudut pandang ‘Aku’, Resi Sujiwo Tejo rupanya segaja membiaskan sang tokoh utama, apakah dia memang benar Rahwana atau orang lain selain Rahwana, silakan pembaca yang menentukan.

Pertemuan antara ‘Aku’ dan Sinta sejak pertama kalinya di Borobudur itulah yang jadi penyebab semua cerita dalam Rahvayana. Dalam tulisannya, sang ‘Aku’ bercerita panjang lebar tentang jalan hidupnya. Saya kaget ketika pembebasan pakem ini malah menghadirkan drama-drama lain semacam ‘Romeo dan Juliet’ yang duluan kesohor ataupun ‘Isolde dan Tristan’. Pun, ketika mereka sibuk membahas ‘Les Miserables’ dalam surat-surat mereka. Saya tidak menyangka akan menemukan Anne Hathaway dalam lakon yang mereka mainkan.

Saya menyukai buku ini karena bukan saja karena pembebasan pakem itu. Penafsiran bahwa Rahwana sebagai tokoh antagonis yang sudah pasti salah tidak lagi menjadi menu utama pembicaraan. Rahwana sendiri menurut saya memiliki cinta yang dahsyat dan tulus, tapi tidak pernah memaksa. Ia tak pernah menyentuh Sinta. Meskipun cukup mudah baginya bila ia menginginkan hal itu. Kalau pun saja ada yang salah dari cinta Rahwana itu karena Rahwana masih kurang sabaran dalam menggapai cintanya.

Hal ini juga sebagai kritik saya pada Rama. Rama selalu dikisahkan sebagai pihak yang tidak menerima kesucian Sinta sepulangnya dari Argasoka. Dalam penantian panjangnya selama 12 tahun di Argasoka, Sinta berhasil menjaga kesuciannya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Rama percaya. Saya jadi meragukan Rama. Rasanya, sudah cukup jelas siapa yang mempunyai cinta yang tulus, murni, dan sejati kepada Sinta.

Rahvayana tidak saja menyuguhkan pengalaman menikmati lakon dan cerita pewayangan. Rahvayana membuka cakrawala bahwa kenyataan mampu bermain indah dengan fiksi. Resi Sujiwo Tejo, agaknya, banyak mengeluarkan jurus-jurusnya demi memberi nilai lebih pada bukunya ini. Saya yakin itu sejak membaca daftar pustaka di bagian akhir buku. Jarang sekali buku (fiksi) yang terang-terangan mencantumkan daftar pustaka dalam proses penyusunannya. Rahvayana, eksepsional!

Satu hal lagi, Seno Gumira Ajidarma pun sedikit disinggung dalam buku ini. Dalam bab kritik terhadap versi Ramayana karangan Resi Walmiki. Saya tidak heran bila buku SGA yang berjudul “Kitab Omong Kosong” masuk dalam daftar pustaka Rahvayana. SGA sudah terlebih dulu mengolah segenap jiwa dan raga pengetahuannya terhadap Ramayana dalam bukunya itu. Termasuk segala kritik atau gugatannya. Maka, seperti saya menikmati ‘Kitab Omong Kosong’, saya pun amat menikmati Rahvayana.


Judul        : Rahvayana: Aku Lala Padamu
Penulis     : Sujiwo Tejo
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 252 hal.
Tahun       : 2014
Genre       : Fiksi-Novel Sejarah

 
Dharmawangsa – Medan Merdeka Barat, 15 Mei 2015

Senin, 11 Mei 2015

Lupa Endonesa

"Saya yakin orang Indonesia masih percaya pada kebaikan dan kejujuran. Tapi, saya nggak yakin mereka percaya bahwa kebaikan dan kejujuran bisa mereka jadikan jalan untuk mencapai cita-cita..." - Hal.138

Personally, ini adalah buku Sujiwo Tejo pertama yang saya tamatkan. Saya beli sepaket dengan dua buku lainnya yaitu dwicarita Rahvayana. Saya kira buku ini merupakan kumpulan artikel atau cerita soal lunturnya rasa berbangsa dan bertanah air Indonesia dari Sang Dalang Edan yang rupanya pernah mengenyam hidup sebagai wartawan. Namun, saya menemukan satu bentuk pengalaman yang baru dalam mentafakuri kehidupan sejarah bangsa melalui buku ini. 



Lupa Endonesa menggugat kehidupan bangsa ini pada satu periode sejarah yang dilambangkan dengan sosok seorang Presiden dari tanah Pacitan. Segenap persoalan negeri kala itu digamblangkan sedemikian rupa. Sujiwo dengan gagah menulis hal-hal yang malu-malu, memalukan, dan tidak memalukan tentang persoalan kehidupan bangsa Indonesia. Semua ceritanya, menyiratkan bahwa kita ini memang lupa berbangsa Indonesia yang berbudi pekerti luhur.

Sujiwo menggunakan banyak perumpamaan dalam menyampaikan kritiknya atas satu keadaan tertentu. Kemunculan tokoh-tokoh punakawan dan main cast Mahabharata-Ramayana adalah satu unsur penyeimbang cerita. Betapa kenyataan masih bisa bermain dengan fiksi. Lepas dari pakem pewayangan pada umumnya. Penulisnya juga tidak lupa melibatkan para tokoh pewayangan itu dengan unsur modernitas yang kekinian.

Sepintas, cerita-cerita dalam buku ini terlihat sebagai cerita pendek karena selain habis dibaca sekali duduk mereka juga mempunyai unsur fiksi yang kental. Andai pun tidak dianggap sebagai cerpen, tidak salah juga bila kisah-kisah tuturan Sujiwo ini masuk kategori memoar. Memoar bergerak, dari satu kisah ke kisah lain dalam titimangsa yang sama.

Ada dua cerita yang jadi favorit saya disini. “Lakone Hanuman Ambassador” sebagai tandingan dari lakon “Hanuman Duta” dan “Jajak Pendapat para Dewa”. Sujiwo menjadikan seluruh tulisannya sebagai kritik sosial atas segenap peristiwa dengan mengawinkan unsur hiburan dan politik. Tulisannya ini bisa jadi hiburan bagi rakyat yang memang sudah kekurangan bahan tertawaan sekaligus kritik bagi pemimpin bangsa ini kelak di masa mendatang, agar sejarah tidak kembali terulang.

Judul        : Lupa Endonesa
Penulis     : Sujiwo Tejo
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 218 hal.
Tahun       : 2012
Genre       : Cerita Pendek-Memoar


Dharmawangsa - Medan Merdeka Barat, 11 Mei 2015.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...