Pada suatu sore yang mendung di Kelapa Gading, ada satu SMS yang berkata:"Temui aku di dekat pintu masuk La Piazza, tepat 17.00". Siapa pengirimnya, aku tak tahu. Barangkali, seseorang yang memang kenal denganku dan kebetulan juga ia sedang kehabisan pulsa. Lagipula, aku tidak keberatan. Mungkin saja ada kejutan disana. Siapa tahu.
Aku berjalan kaki saja sepanjang jalan Boulevard Barat. Sore ini, tidak seperti biasanya. Dealer mobil banyak yang tutup. Jalanan lengang. Memang tidak seperti biasanya. Sore itu nampak mendung masih menutupi kawasan sekitar Kelapa Gading. Aku terus berjalan dalam sore yang semakin mendung.
Dari kejauhan aku melihat seseorang yang sedang bermain gitar tidak jauh dari La Piazza. Sepertinya seseorang yang sudah aku kenal. Semakin dekat, semakin jelas bahwa ia bukanlah orang biasa. Tuhan sedang turun ke bumi dan menjelma menjadi seseorang. Untuk apa ia datang lagi? Pasti ada sesuatu yang membuatnya gundah diatas sana sehingga ia mesti turun sampai ke bumi. Pasti ada sesuatu yang penting sekali sehingga ia tidak butuh malaikat untuk menyampaikannya.
Ia hanya duduk saja di halaman depan toko yang sudah tutup. Ia tahu aku datang. Ia langsung menyodorkan secarik kertas. Semacam tulisan. Aku baca catatan di kertas itu:
Emha Ainun Nadjib tentang Tuhan
Dikutip dari buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”, Penerbit Buku Kompas, 2007
Hal 57:
Negara punya kekuasaan hampir mutlak atas anda, sementara Tuhan tak punya negara. Tuhan tidak diperkenankan oleh hamba-hambaNya untuk secara formal mengatur kehidupan manusia. Tuhan dilarang menerapkan nilai dan hukumNya pada system nilai negara. Tuhan dicekal Memanifestasikan aspirasiNya ke dalam pasal-pasal hukum formal negara.
Kalau peraturan negara dilanggar, pelanggarnya dihukum. Kalu peraturan Tuhan dilanggar, secara resmi manusia dilarang menghukum pelanggarnya.
Hal 59:
Kita boleh pakai peci, meskipun sehari-hari kita nyopet. Kita boleh pakai surban, meskipun kita penjahat. Kita boleh menyelempangkan sajadah di badan, meski kita koruptor besar.
Belum aku selesai membaca, sayup-sayup aku mendengar Tuhan bernyanyi. "....dan anehnya, banyak penggemarnya...*)".
Setelah selesai membaca, aku duduk disampingnya dan bersandar. Apakah karena tulisan dari penulis yang bermukim di Kadipiro, Yogyakarta itu Tuhan jadi tersinggung?. Aku tidak tahu pasti. Tuhan hanya berkata pelan," Silakan liat sendiri di Facebookmu, lihat mereka yang mengaku-ngaku menjadi Fans padaku, dan bandingkan dengan tulisan itu".
Apa karena Tuhan benar-benar tidak punya kuasa untuk manusia ciptaanNya? Manusia yang Tuhan ciptakan untuk membangun negara ini. Negara yang pada masa pemindahan kekuasaan dari birokrasi Pemerintah Hindia Belanda ke tangan birokrasi baru Negara Indonesia yang mayoritas lulusan SMA?**)
Kasihan Tuhan. Sudah tidak punya negara tapi malah banyak juga manusia yang mengaku-ngaku menjadi penggemarnya. Mirip dengan manusia Fansnya Mick Jagger. Kita mengaku seperti itu cuma supaya jadi identitas kalau kita ini orang Islam. Kita mengaku hanya karena ingin supaya dilihat "baik" dan "alim" oleh orang lain disekitar kita. Kita mengaku hanya karena kepalsuan belaka. Dan hebatnya, ada manusia yang menjadikannya objek. Tidak hanya Tuhan saja, tetapi juga Muhammad SAW, Ka'bah, bahkan Al-Qur'an sekalipun.
Kita boleh mengaku jadi Fans Allah SWT, walaupun ternyata kita sendiri tidak pernah tahu seberapa dekat Allah SWT dengan hambaNya. Kita boleh mengaku menjadi Fans Nabi Muhammad SAW, padahal kita tidak pernah bershalawat dan melaksanakan segala sunahnya. Kita boleh mengaku menjadi Fans Al-Qur'an padahal tidak ada satupun dari ayatnya yang kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan masih saja bersenandung ketika aku menoleh padanya. Aku pandangi kertas itu sekali lagi. Dan ketika aku menoleh lagi padanya, Tuhan telah tiada. Tuhan sudah pergi, entah kemana. Barangkali, sudah selesai urusannya.
Pegangsaan Dua, 18 Februari 2009, 10.49
*) dari potongan lirik lagu Penyanyi Tua oleh Koes Plus
**) bisa ditemukan dalam pengantar Bab I, dalam buku "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air" oleh Iwan Simatupang, Penerbit Buku Kompas, 2004.
Aku berjalan kaki saja sepanjang jalan Boulevard Barat. Sore ini, tidak seperti biasanya. Dealer mobil banyak yang tutup. Jalanan lengang. Memang tidak seperti biasanya. Sore itu nampak mendung masih menutupi kawasan sekitar Kelapa Gading. Aku terus berjalan dalam sore yang semakin mendung.
Dari kejauhan aku melihat seseorang yang sedang bermain gitar tidak jauh dari La Piazza. Sepertinya seseorang yang sudah aku kenal. Semakin dekat, semakin jelas bahwa ia bukanlah orang biasa. Tuhan sedang turun ke bumi dan menjelma menjadi seseorang. Untuk apa ia datang lagi? Pasti ada sesuatu yang membuatnya gundah diatas sana sehingga ia mesti turun sampai ke bumi. Pasti ada sesuatu yang penting sekali sehingga ia tidak butuh malaikat untuk menyampaikannya.
Ia hanya duduk saja di halaman depan toko yang sudah tutup. Ia tahu aku datang. Ia langsung menyodorkan secarik kertas. Semacam tulisan. Aku baca catatan di kertas itu:
Emha Ainun Nadjib tentang Tuhan
Dikutip dari buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”, Penerbit Buku Kompas, 2007
Hal 57:
Negara punya kekuasaan hampir mutlak atas anda, sementara Tuhan tak punya negara. Tuhan tidak diperkenankan oleh hamba-hambaNya untuk secara formal mengatur kehidupan manusia. Tuhan dilarang menerapkan nilai dan hukumNya pada system nilai negara. Tuhan dicekal Memanifestasikan aspirasiNya ke dalam pasal-pasal hukum formal negara.
Kalau peraturan negara dilanggar, pelanggarnya dihukum. Kalu peraturan Tuhan dilanggar, secara resmi manusia dilarang menghukum pelanggarnya.
Hal 59:
Kita boleh pakai peci, meskipun sehari-hari kita nyopet. Kita boleh pakai surban, meskipun kita penjahat. Kita boleh menyelempangkan sajadah di badan, meski kita koruptor besar.
Belum aku selesai membaca, sayup-sayup aku mendengar Tuhan bernyanyi. "....dan anehnya, banyak penggemarnya...*)".
Setelah selesai membaca, aku duduk disampingnya dan bersandar. Apakah karena tulisan dari penulis yang bermukim di Kadipiro, Yogyakarta itu Tuhan jadi tersinggung?. Aku tidak tahu pasti. Tuhan hanya berkata pelan," Silakan liat sendiri di Facebookmu, lihat mereka yang mengaku-ngaku menjadi Fans padaku, dan bandingkan dengan tulisan itu".
Apa karena Tuhan benar-benar tidak punya kuasa untuk manusia ciptaanNya? Manusia yang Tuhan ciptakan untuk membangun negara ini. Negara yang pada masa pemindahan kekuasaan dari birokrasi Pemerintah Hindia Belanda ke tangan birokrasi baru Negara Indonesia yang mayoritas lulusan SMA?**)
Kasihan Tuhan. Sudah tidak punya negara tapi malah banyak juga manusia yang mengaku-ngaku menjadi penggemarnya. Mirip dengan manusia Fansnya Mick Jagger. Kita mengaku seperti itu cuma supaya jadi identitas kalau kita ini orang Islam. Kita mengaku hanya karena ingin supaya dilihat "baik" dan "alim" oleh orang lain disekitar kita. Kita mengaku hanya karena kepalsuan belaka. Dan hebatnya, ada manusia yang menjadikannya objek. Tidak hanya Tuhan saja, tetapi juga Muhammad SAW, Ka'bah, bahkan Al-Qur'an sekalipun.
Kita boleh mengaku jadi Fans Allah SWT, walaupun ternyata kita sendiri tidak pernah tahu seberapa dekat Allah SWT dengan hambaNya. Kita boleh mengaku menjadi Fans Nabi Muhammad SAW, padahal kita tidak pernah bershalawat dan melaksanakan segala sunahnya. Kita boleh mengaku menjadi Fans Al-Qur'an padahal tidak ada satupun dari ayatnya yang kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan masih saja bersenandung ketika aku menoleh padanya. Aku pandangi kertas itu sekali lagi. Dan ketika aku menoleh lagi padanya, Tuhan telah tiada. Tuhan sudah pergi, entah kemana. Barangkali, sudah selesai urusannya.
Pegangsaan Dua, 18 Februari 2009, 10.49
*) dari potongan lirik lagu Penyanyi Tua oleh Koes Plus
**) bisa ditemukan dalam pengantar Bab I, dalam buku "Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air" oleh Iwan Simatupang, Penerbit Buku Kompas, 2004.