Kamis, 31 Agustus 2017

Negara 1/2 Gila

Sumber gambar: www.goodreads.com
Keseharian dan tingkah laku orang Indonesia memang terkadang patut ditertawakan. Sekaligus menjadi bahan perenungan bahwa bangsa yang katanya bangsa besar ini rakyatnya masih memiliki perilaku dan sikap tidak peduli. Kemunculan para seniman komik masa kini sebenarnya sudah sering mengangkat tema ini. Dengan ragam dan ciri khas keunikan visual masing-masing.

Agaknya, itu pula yang membuat Trio Komikus di Negara Setengah Gila ini turut hadir ‘menertawakan’ bangsanya sendiri. Rumrum, Dody, dan Mujix, merepresentasikan sebuah ide tentang perilaku-perilaku yang ‘Indonesia Banget’. Tentunya, menggiring tawa namun penuh makna, apakah hal ini akan terus kita biarkan sehingga menjadi sesuatu yang selalu melekat dan tak mungkin lepas?

Terlepas dari kenyataan itu dimana terjadi pertarungan wacana antara kenyataan dan imaji kreatif, komik ini sangat menghibur. Kita tidak bisa mengelak dari satu fungsi komik sebagai bahan bacaan rekreatif. Ketiga seniman komik berhasil melahirkan kembali ide lama menjadi sebuah karya dengan tampilan visual yang unik.

Judul       : Negara 1/2 Gila
Penulis    : Dody-Mujix-Rumrum
Penerbit  : MediaKita
Tahun      : 2013
Tebal      : 92 hal.
Genre      : Komik Indonesia


Cipayung, 28 Agustus 2017

Dilan 3

Aku ingin bercerita kepadamu tentang diriku, karena aku adalah karakter utama di dalam cerita hidupku sendiri. Hidupku adalah ceritaku. Diriku adalah diriku.

Sumber gambar: www.goodreads.com
Buku terakhir dari serial trilogi Dilan karya Pidi Baiq ini hadir dengan judul “Milea: Suara dari Dilan”. Seakan-akan buku ini ingin bicara bahwa isinya adalah sebuah ‘pembelaan’ dari Dilan. Ah, nampaknya terlalu berat bila dinamakan sebuah ‘pembelaan’. Let’s just say this is a clarification. Ya, sebuah klarifikasi dari Dilan. Untuk isi buku pertama dan kedua, sila tengok pranala luar yang ada dalam blog ini. 

Prasangka, betul-betul bisa mempengaruhi keyakinan. Mempengaruhi persepsi dan menimbulkan pikiran negatif.

Jangan heran bila pembaca yang budiman sudah disuguhi quote pendek dari Dilan: “Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu.” Membuat angan-angan pembaca setidaknya lari ke arah pembayangan perpisahan antara Dilan dan Milea. Bukankah dalam buku kedua hal itu sudah ditengarai oleh Milea?

Saya setuju bila buku ini adalah sebuah klarifikasi dari Dilan, sang penutur utama. Dilan memberikan semua penjelasan mengenai semua yang sudah ia lakukan bersama Milea, termasuk semua yang sudah dituturkan Milea dalam buku terdahulu. Klarifikasi yang Dilan berikan dimaksudkan agar pembaca yang budiman sekalian dapat lebih memahami lebih dari apa yang telah Milea ungkapkan.

Kamu boleh bebas berpendapat tentang diriku, bahkan dengan penilaian yang terburuk sekalipun karena aku percaya, di dalam caranya masing-masing, setiap orang melakukan kesalahan. Dan, setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk dimaafkan.

Saya tidak mau memberi nilai bahwa serial ini adalah sebuah kisah romantis antara sepasang anak manusia yang dirundung cinta. Sekilas mungkin tidak salah bila pembaca berpendapat demikian. Namun, bila dipandang dari sisi biografis, trilogi Dilan-Milea ini tidaklah terlalu salah juga. Pun bila, penulisan yang dirangkai dengan ragam bahasa tutur seperti layaknya membaca sebuah buku harian. 

Jalanilah hidupmu dengan mengacu kepada pikiranmu sendiri tanpa harus memaksa orang untuk berpikir yang sama dengan dirimu.

Saya tidak mengharapkan sebuah kejutan dari buku ini. Bila akhirnya difilmkan, itu urusan lain. Biar Dilan dan Milea hidup sebagai tokoh abstrak dalam khayal semata. Yang jelas, kehadiran sesosok Cika dalam hidup Dilan cukup membawa arah kisah ini ke arah yang seharusnya: Perpisahan.

Judul            : Milea: Suara dari Dilan
Penulis         : Pidi Baiq
Penerbit       : Pastel Books
Tahun           : 2016
Tebal           : 357 hal.
Genre          : Sastra Indonesia - Novel



Cipayung, 25 Agustus 2017

Drupadi

Apakah perempuan diandaikan tidak punya kemauan? Tentu seorang perempuan memiliki kehendaknya sendiri.

Sumber gambar: www.goodreads.com
Kisah tentang Drupadi adalah kisah sejati kodrati seorang perempuan. Sebuah kisah yang menyayat hati karena ketulusan yang suci. Tentulah tidak perlu saya ulang lagi bagaimana kisah Drupadi. Belakangan ini, kisah epik Mahabharata kembali muncul di layar kaca. Sila tengok sendiri jalan ceritanya di bagian Drupadi yang masih berkaitan dengan lakon Pandawa Dadu.

Saya tidak heran jika Seno Gumira Ajidarma kembali menulis tentang sebuah lakon. Sesudah pengemasan kembali kisah epik Ramayana dalam Kitab Omong Kosong, tentunya. Seno sendiri agaknya memainkan wacana tentang hegemoni gender yang diibaratkannya dengan kisah Pandawa dan Drupadi. Seno banyak menggunakan referensi lain yang menambah kekuatan buku ini. Utamanya soal Mahabharata.

Drupadi yang hadir ke tangan pembaca yang budiman adalah Drupadi yang telah melewati sekian banyak riwayat publikasi. Bab 1 hingga bab 4 dimuat secara bersambung dalam majalah mingguan Zaman, 14 Januari-11 Februari 1984. Bab 5 masih dimuat Zaman edisi 22 Desember 1984. Bab 6 hingga 10 ditulis medio 2000. Bab 10 muncul kembali dalam harian Kompas Minggu 7 Januari 2001, Cerpen Pilihan Kompas 2002, dan Senja dan Cinta yang Berdarah (2014). Sedangkan, Bab 6, 7, 8, 9 dimuat pada berbagai harian yaitu Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, dan Suara Merdeka.

Drupadi tidak menyukai suratan karena kehidupan manusia menjadi tidak berarti tanpa adanya perjuangan. Jika segalanya telah menjadi suratan, apakah yang masih menarik dalam hidup yang berkepanjangan ini? Apakah usaha manusia tidak ada artinya? Apakah memang semua sudah ditentukan seperti nasibnya yang menjadi istri dari kelima ksatria Pandawa? Drupadi adalah sebuah kehendak sekaligus gugatan.

Judul        : Drupadi: Perempuan Poliandris
Penulis     : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun       : 2017
Tebal        : 149 hal.
Genre       : Sastra Indonesia - Kumpulan Cerpen


Tangerang, 23 Agustus 2017.

Catatan Pra Satu Dekade

Saya mulai menulis di blog ini sejak Agustus 2008. Oleh karena itu, resmilah bahwa tulisan pertama saya di bulan itu adalah tanggal bersejarah bagi tulisan pertama saya dan juga sekaligus tonggak berdirinya blog ini. Saya tidak punya intensi bahwa blog yang selama ini saya pelihara akan saya gunakan untuk tujuan atau kepentingan tertentu. Tidak. Apa yang saya lakukan selama ini adalah hanyalah berupa dokumentasi pikiran.

Apa yang dituliskan dalam blog ini tidaklah selalu sesuatu yang populer. Bukan suatu tulisan atau wacana yang menjadi hits dan dikonsumsi pembaca berulang-ulang. Saya percaya bahwa suatu hari nanti mesin pencari Google akan menjadi sedemikian populer dan digunakan berbagai kalangan untuk mencari informasi. Pun, Google sendiri akan berevolusi untuk tidak hanya menjadi sekedar mesin pencari belaka. Maka, saya yakin tulisan saya akan menemukan pembacanya sendiri.

Keyakinan saya itu muncul bersamaan dengan terbitnya blog ini. Saya tidak heran bila nantinya tulisan-tulisan lama saya akan ditemukan hanya karena Google. Kadang, saya sendiri heran bila sengaja mencari nama saya di Google. Ada semacam asosiasi antara nama saya dengan tulisan-tulisan saya. Itu tentu memudahkan saya dalam tracking tulisan saya sendiri.

Menjelang satu dekade ini saya bersyukur bahwa saya mendapat banyak manfaat dari aktivitas blogging ini. Beberapa tulisan bahkan pernah terbit dalam satu buku walau bukan penerbitan mainstream. Namun, tentu saja pencapaian ini sangatlah berarti bagi seorang penulis dadakan yang selalu dikejar deadline bulanan pada akhir bulan.

Saya sendiri sedang mengkaji sebuah kemungkinan apakah blog ini akan terus dibiarkan seperti bagaimana adanya ataukah saya perlu mengupgrade dan memindahkan blog ini ke hosting domain pribadi sebagaimana yang banyak kawan-kawan lakukan. Saya belum tahu jawabannya. Yang saya tahu adalah bahwa saya selalu dikejar deadline 6 tulisan sebulan.

Jakarta-Bandung, 21 Agustus 2017.

The Fate of The Family #FF8

The Fate of the Furious. Tema besar dari edisi kedelapan film yang masih dibintangi Vin Diesel dan kawan-kawan seperjuangan eks FF7 sepeninggal Bryan O’Connor ditambah kemunculan Charlize Theron sebagai Cipher dan kembalinya Owen Shaw dan Deckard Shaw adalah statement bagi mereka. This is our fate!
Tentunya penonton dibuat sangat kesal ketika Torreto bisa dibuat untuk berpaling from his old family. Pun, diperalat untuk tujuan tertentu seperti terorisme global. 

www.imdb.com
Well, film ini kini tidak lagi bicara soal mobil-mobil yang kencang di trek balap. Itu hanyalah pembukaan belaka. Permasalahan besarnya adalah Torreto dibuat tidak berdaya oleh Cipher dengan segenap pernyataan psikologis yang tentu saja menyerang alam bawah sadar Torreto.

Memang dibutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan Torreto. Ketika mulai tersadar kembali, segala sesuatunya memang sulit untuk dirubah. Apalagi Torreto menemukan fakta bahwa ia telah memiliki seorang anak. Menurut saya, perjumpaan Torreto dengan anaknya ini adalah scene yang mengharukan dan mengaduk-aduk emosi. You are free to said that i was wrong.

Apa yang dilakukan Torreto untuk membalikan keadaan memang seperti yang sudah kita ketahui bersama. Ada banyak twist dalam film ini untuk mengecoh ending film yang ada dalam pikiran penonton. Saya sendiri sulit untuk menebak namun seperti pada episode-episode yang lalu, counter attack dari Torreto melibatkan banyak orang yang pernah terlibat dengannya, for example Deckard Shaw dan Owen Shaw. 

Film ini sendiri buat saya adalah penegasan dari konsep keluarga yang selalu jadi nilai penting bagi Torreto. Bahwa keluarga tidak akan berpaling bila satu dari anggotanya berpaling meninggalkan. Rasanya tidak sia-sia menghabiskan dua jam lebih untuk menamatkan film ini. Ending yang masih menyisakan tanya pun akan jadi penentu apakah episode ke-9 akan dibuat atau akan hanya jadi sebuah wacana belaka yang akan segera menghilang seperti Cipher?

 
Cipayung, 25 Agustus 2017.

The Return of Jason Bourne

www.imdb.com
Sejak tidak lagi berlangganan koran harian terbitan Ibukota, saya semakin jarang mengetahui film apa saja yang akan dan sedang beredar di bioskop. Karenanya, saya menjadi heran ketika menemukan rilisan sekuel terakhir dari Jason Bourne. Saya tidak pernah tahu bahwa film ini rilis di bioskop. Apakah saya yang tidak gaul atau memang film ini tidak pernah tayang di bioskop se-Jakarta memang masih menyisakan tanda tanya.
 
Sekuel yang kembali dibintangi oleh Matt Damon ini menjawab kerinduan saya akan aksi-sksi Bourne yang mengejutkan walau konflik masih berkutat soal identitas, jati diri, dan persoalan-persoalan di sekitar Jason Bourne. Tentu hal ini bisa saja menjadi sesuatu yang tidak akan pernah berujung. Kemunculan karakter-karakter baru membuat plot cerita jadi lebih menegangkan.
 
Jason Bourne memang kelihatan menua. Petualangannya kali ini membawa pengalaman baru di Athena, Berlin, dan Los Angeles. Ada semacam pendekatan psikologis untuk menghilangkan Bourne pada episode ini. Kemunculan beberapa twist flashback dan rival abadi semakin menguatkan karakterisasi Jason Bourne sebagai buronan nomor wahid CIA.
 
Terlepas dari segala kritik yang melingkupi cerita sekuel paling anyar ini setidaknya film ini berusaha menyesuaikan dengan zaman. Zaman ketika kebebasan di internet menjadi suatu bagian dari spionase terstruktur. Setidaknya, film ini membuka mata untuk berhati-hati karena kita tidak pernah tahu siapa yang mengawasi kita ketika sedang terhubung ke internet.
 
Anyway, saya suka film ini walaupun nilainya masih terpaut sedikit dibawah Jason Bourne Ultimatum. Saya pun suka bila harus menonton film ini berulang-ulang. Bourne is my hero.
 
Cipayung, 22 Agustus 2017.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...