Pembukaan
Belakangan ini, karya-karya Ahmad Tohari diterbitkan kembali dalam bentuk kumpulan cerpen. Sejauh ini, saya baru membaca “Senyum Karyamin” dan buku ini, “Mata Yang Enak Dipandang”. Ahmad Tohari sendiri adalah simbol bagi kehidupan yang bersahaja. Ahmad Tohari mampu dengan lugas selalu mampu menafsirkan tatanan hidup masyarakat pinggiran dan alam pedesaan yang kental dalam setiap karyanya.
Ahmad Tohari mengenal dengan baik objek tulisannya. Tidak heran bila mereka serasa jadi bagian nyata dalam realitas sehari-hari. Ahmad Tohari masih memegang pakem cerita yang berkisar seputar masalah orang-orang kecil, kalangan bawah, dan kaum marjinal dengan segala problematika dan dialektikanya masing-masing. Ahmad Tohari pun seperti sengaja memadukan unsur simpati dan empati dalam cerpen yang ditulisnya. Alhasil, kisah-kisah tersebut mampu memperkaya batin, mengasah nurani, dan menguji kepedulian pembaca.
Kumpulan 15 cerpen karyanya yang terbit pada rentang tahun 1983 hingga 1997 ini tersebar dalam beberapa media cetak. Sayangnya, cerpen dalam buku ini menampilkan sejarah penerbitan pada Harian Umum Kompas dan Majalah Kartini saja. Ada beberapa cerpen yang tidak tidak memiliki sejarah penerbitan bahkan riwayat penulisan. Pembaca dapat menemukannya pada judul-judul di bagian tengah buku ini.
Kelimabelas cerpen ini juga bisa dianggap sebagai sebuah kesatuan. Baik secara latar maupun entitas kehidupan lainnya. Kecuali cerpen terakhir, yang mengambil latar Tatar Parahyangan Garut-Ciamis. Seandainya setiap cerita dalam kumpulan cerpen ini berkumpul dalam satu kampung, maka lengkaplah fenomena kehidupan yang coba diangkat oleh Ahmad Tohari.
Lima Belas Cerpen
Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerita berjudul ‘Mata Yang Enak Dipandang’, sama dengan judul bukunya. Mengisahkan Mirta yang seorang pengemis buta dan Tarsa si penuntun jalan. Mereka terlibat dalam sebuah situasi yang tidak saling menguntungkan. Tarsa terlanjur egois untuk memaksa Mirta menuruti keinginannya. Padahal, mereka belum mendapat hasil dari pekerjaan mengemis. Hari itu, Mirta ingin mengemis di kereta kelas tiga karena menurutnya penumpang disana punya mata yang enak dipandang. Tidak seperti penumpang di kereta kelas satu yang dalam mata mereka membawa kesan dari dunia yang amat jauh. Akhir yang satir menjadi penutup sempurna bagi kisah ini.
Ahmad Tohari terus mengguncang pembaca dengan cerita tentang seorang pelacur dalam 'Bila Jebris Ada Di Rumah Kami’. Jebris yang seorang janda harus menerima kenyataan bahwa ia telah menjadi gonjang-ganjing yang tidak menyenangkan bagi orang-orang di kampungnya. Konflik mulai meninggi ketika Jebris ditangkap polisi. Sar, sahabat Jebris sejak kecil tidak tega melihat keadaan Jebris sehingga suaminya pergi untuk memulangkan Jebris dari kantor polisi dan berencana menjadikan Jebris pembantu di rumah mereka. Pada akhir cerita, Ahmad Tohari menyelipkan sebuah pesan yang sarat makna.
‘Penipu Keempat’ adalah cerpen yang penuh teka-teki. Bila tidak segera menyadarinya, pembaca akan terus surut terbawa hingga akhir cerita, hingg akhirnya si penipu keempat mengakui keberadaannya. Si Penipu Keempat yang mencoba menipu Tuhan agar bisa memberkahinya dengan urang yang telah ia berikan pada pengemis lain. Hanya penipu sejati yang bisa sangat menyadari akan penipuannya.
‘Daruan’ adalah cerpen yang bisa mewakili segenap perasaan penulis manapun. Cerpen ini bercerita tentang Daruan yang bermimpi bisa jadi novelis padahal kehidupannya di desa sangat tidak memungkinkannya. Suatu hari, ia menerima paket kiriman dari sahabatnya di kota yang mau menerbitkan novelnya. Berbekal sedikit keyakinan, Daruan berangkat ke kota dengan niat meminta honor atas karyanya. Alangkah terkejut Daruan ketika mengetahui novelnya hanya dijadikan barang jualan asongan belaka, tidak berjejer mewah di toko buku. Dalam perjalanan pulang, ia menarik semua novelnya dari seorang pedagang asongan. Daruan sungguh kehilangan dirinya sendiri.
‘Warung Penajem’ adalah sebuah kisah kecil mengenai tata hidup, nilai-nilai, dan perilaku masyarakat tradisional. Kartawi harus merelakan Jum, istrinya, memberikan penajem kepada dukun yang mampu membuat warungnya tetap laris. Pertentangan antara harga dirinya yang terenggut dan harapan akan kehidupan yang lebih baik membuatnya mengalah. Fenomena seperti ini agaknya memang benar terjadi sehingga menjadi praktek yang lumrah.
Cerpen selanjutnya, ‘Paman Doblo Merobek Layang-Layang’ adalah cerpen berlatar alam yang kental dan diperankan oleh kedua bocah kecil yang saling bersahabat. Paman Doblo adalah sahabat mereka yang terbaik, yang jadi simbol pertolongan, rasa aman, dan keakraban. Ketika mereka dewasa, tabiat Paman Doblo berubah ketika ia dipekerjakan sebagai satpam kilang kayu yang baru berdiri di dekat desa mereka. Paman Doblo merobek layang-layang hingga anak Simin berlari dan terkencing-kencing. Cerpen seperti ini mengingatkan saya pada novel “Orang-Orang Proyek”.
‘Kang Sarpin Minta Dikebiri’ adalah sebuah cerita pertobatan seorang cucuk senthe, lelaki dengan berahi yang meledak-ledak. Gelar yang terus melekat hingga akhir hidupnya. Kesaksian tentang pertobatan menjelang maut itu tidak lantas menjadikan Kang Sarpin sebagai wong bener. Masyarakat kampungnya tidak menilai niat Kang Sarpin sebagai sebuah itikad baik. Ini membuktikan juga bahwa tata masyarakat hidup kita belum bisa dan mampu menerima seseorang yang bercita-cita menjadi wong bener di akhir hidupnya.
‘Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan’ adalah cerpen satir tentang Karsim yang berusaha menyeberang jalan demi mengurus ladangnya di seberang jalan besar yang membelah kampungnya. Tiga hari menjelang Lebaran, jalan raya bukan main padatnya hingga Karsim kesulitan menyeberang. Sedikit melangkah, ia segera disambut oleh klakson dan sumpah serapah pengemudi yang melintas. Melihat burung-burung berkumpul di ladangnya, Karsim tiba-tiba tergerak untuk segera sampai di ladangnya. Karsim meregang nyawa dengan isi perut yang semburat. Hanya dengan cara tersebut akhirnya Karsim melihat keberadaan dirinya diakui orang kampungnya. Sedikit catatan, saya pernah lebih dulu membaca cerita Karsim ini. Entah dimana, saya sudah lupa. Entah di Majalah Horison, harian Kompas Minggu, atau kumpulan cerpen lain.
Ahmad Tohari belum selesai mengangkat kehidupan orang pinggiran yang penuh melodi bernada satir. Dalam ‘Sayur Bleketupuk’ misalnya. Parsih terpaksa memberi makan anak mereka, Darto dan Darti dengan sayur dari daun bleketupuk yang biasa digunakan orang dewasa untuk menghilangkan pusing. Parsih melakukannya karena Dalbun, suaminya, tidak kunjung datang untuk mengajak anak-anak mereka naik komidi putar. Ketika Dalbun akhirnya pulang, Darto dan Darti sudah terlelap, imbas dari sayur yang mereka makan.
‘Rusmi Ingin Pulang’ adalah cerita yang setipe dengan ‘Bila Jebres Ada di Rumah Kami’. Bedanya, kisah Rusmi berakhir happy ending. Gonjang-ganjing orang kampung yang mengecap Rusmi sebagai perempuan penghibur menjelang kepulangannya ke kampung usai lama menjanda di kota menjadi sebab utama permasalahan cerpen ini. Beruntung, Rusmi segera dilamar oleh laki-laki baik dan mapan sehingga desas-desus tentangnya segera sirna.
Kisah tentang hubungan antar manusia memang tidak pernah gagal menguak sisi lain kehidupan. Seperti dalam cerpen ‘Dawir, Turah, dan Totol’, Ahmad Tohari mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat fenomena denyut kehidupan sekitar terminal. Dengan cara apapun, Dawir berusaha membahagiakan Turah dan juga Totol. Padahal, Turah belum resmi jadi istrinya, dan Totol juga belum tentu anak hasil hubungannya dengan Turah. Cerpen ini membuat saya teringat kembali pada lagu balada milik mendiang Franky Sahilatua, ‘Terminal’.
Bicara soal kearifan lokal barangkali cerpen ‘Harta Gantungan’ ini bisa menjadi contoh tentang bagaimana seorang Kang Nurya pasrah menerima takdirnya. Walau didera penyakit ganas, ia tetap tidak mau menjual seekor kerbau yang jadi harta satu-satunya itu untuk biaya berobat. Ia bersikeras kerbaunya itu adalah harta gantungannya. Dengan jatah usia yang melebihi Kanjeng Rasul ia telah menyambut ajal dengan sukacita. Kelak, kerbau harta gantungannya itu tidak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan jenazahnya. Harta gantungan itu benar-benar terberkati sebagai modal biaya pernikahan cucunya.
‘Pemandangan Perut’ dan ‘Salam dari Penyangga Langit’ barangkali adalah dua cerpen absurd dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen pertama mengisahkan Sardupi yang jadi bulan-bulanan satpam pasar hanya karena ia tidak mampu menatap mata si satpam saat diajak bicara. Usut punya usut, Sardupi mampu menerawang isi perut siapapun yang dilihatnya. Tak terkecuali si aku yang jadi pemeran utama dalam cerpen itu.
Cerpen selanjutnya mengisahkan pertemuan seorang Markatab dengan malaikat penyangga langit. Ia menemui para malaikat ketika menghadiri selamatan tetangganya. Dalam kesempatan langka itu ia telah menunaikan impian masa kecilnya tentang para penyangga langit. Secara pribadi, kisah ini amat berkesan bagi saya. Mungkin juga bagi siapapun yang percaya bahwa doa, puji-pujian, dan bacaan kitab yang ditujukan pada entitas lain diluar wujud manusia akan benar-benar sampai.
Cerpen terakhir, ‘Bulan Kuning Sudah Tenggelam’ adalah cerpen terpanjang. Beruntung, ditempatkan sebagai cerita penutup. Hubungan anak dan orang tua adalah cerita yang terus mengalun sepanjang zaman. Kisah mereka akan selalu abadi. Begitulah, Yuning dan Koswara menjalani rumah tangga mereka dengan segenap prahara yang melibatkan orang tua Yuning. Tadinya, saya sempat berpikir dan mengira cerpen ini adalah sebuah cerita pembuka (prelude) bagi novel terbaru Ahmad Tohari. Saya tidak akan menolak bila penulisnya memang menghendaki demikian.
Judul : Mata Yang Enak Dipandang
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Tebal : 216 hal.
Genre : Sastra-Kumpulan Cerpen
Pharmindo, 16 Februari 2014.
1 komentar:
Salam kenal saya Pradana penulis buku "Praktis dan Mandiri Belajar Bahasa Jepang" terbitan Andi Offset.
Silahkan dapatkan buku2 terbaru terbitan tahun 2015. Dan dapatkan diskonnya.
http://goo.gl/muzD8w
Silahkan kunjungi balik dan tinggalkan jejak alias komentar.
-Hon Book Store-
Posting Komentar