Kalau kami bitjara tentang kebudajaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudajaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudajaan baru jang sehat.
- Surat Kepercayaan Gelanggang (hal. xi)
Tiga Menguak Takdir adalah cita-cita dari ketiga penggagasnya: Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Ide dasar atas terbitnya buku ini sudah ada di kepala mereka sejak satu setengah tahun sebelum mereka mendirikan 'Gelanggang'. Gelanggang sendiri adalah sebuah rubrik kebudayaan yang mengisi warta mingguan 'Siasat'. Tabloid Siasat mulanya diasuh oleh Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kemudian, dilanjutkan oleh Rivai Apin, Asrul Sani, Siti Nuraini, dan terakhir oleh Ramadhan K.H.
Gelanggang bisa diartikan sebagai termpat berkumpulnya sastrawan Angkatan '45. Pada waktu itu, Chairil-Rivai-Asrul hendak menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian (Kunstkring). Tetapi, setelah melalui berbagai diskusi dan pertukaran pikiran, mereka menemukan bahwa belum ada suatu dasar yang menjiwai pertanggungjawaban atas takdir mereka yang berada dalam kumpulan itu. Mereka membutuhkan sebuah angkatan untuk menamai kelompok Gelanggang ini. Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup, suatu tujuan takdir.
Pada dasarnya, baik Chairil Anwar, Rivai Apin, maupun Asrul Sani, menempuh jalan kesenian yang berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya mereka. Bersatunya mereka dalam Gelanggang tidak lantas membuat setiap dari mereka harus mengikuti haluan salah seorang lainnya. Melainkan, ketiganya telah berupaya untuk menempuh jalan konsensus dan saling menghargai masing-masing pribadi.
"Pendekatan ini tidak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami, tapi dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu, bagi kami apriori, tidak usah dipertengkarkan lagi." Demikian, Asrul Sani menulis.
Kumpulan puisi ini membawa kita menyelami pemikiran dan perasaan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Dengan segenap perbedaan, mereka bersatu demi mencapai cita-cita yang mereka sebut sebagai 'suatu tujuan takdir'. Lantas, 'takdir' seperti apa yang sebenarnya mereka perjuangkan?
Generasi Gelanggang yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Angkatan '45 lahir dan berawal dari kecamuk dan kegetiran atas Perang Kemerdekaan. Kemenangan atas perang akan mengantarkan kemerdekaan. 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pun menyuratkan bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Tekanan perasaan dan pikiran semasa itu serta keadaan ekonomi yang mengguncang, telah memenjarakan kemerdekaan mereka. Puisi, lantas menjadi jalan keluar sebagai jalan pembebasan. Rivai Apin sendiri memaknai kemerdekaan kebebasan sebagai kebebasan berkata, berpikir, atau berekspresi yang harus diperjuangkan sendiri. Sedangkan, Asrul Sani, memaknainya dengan pengembaraan ke dunia luas dan alam bebas, seperti tertulis dalam puisinya, 'Surat Untuk Ibu'.
Pembebasan juga tidak hanya dimaknai sebagai pengembaraan jasmani, tetapi juga pengembaraan pikiran. Pengembaraan yang mendaparkan Rivai Apin dalam kehidupan yang tak kenal siang. Tercatat dalam sajak "Anak Malam". Puisi juga menjadi media apresiasi mereka terhadap para pejuang yang telah mengorbankan nyawa, demi tercapainya kemerdekaan. Chairil Anwar menulisnya dalam "Antara Krawang - Bekasi" dan Asrul Sani dengan "Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh".
Tiga Menguak Takdir terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun yang sama pula, "Surat Kepercayaan Gelanggang" diterbitkan di majalah. Surat itu seakan menjadi jawaban atas Polemik Kebudayaan generasi Pujangga Baru. Pernyataan sikap yang demikian itu seolah memutus generasi sebelumnya. Sebuah upaya dan usaha untuk menguak takdir selanjutnya telah ditegakkan. Sebuah angkatan baru telah dibentuk. Chairil-Rivai-Asrul menegaskan sikap kepengarangan dan gerak estetika mereka dalam buku ini. Sajak-sajak mereka berkatalah dengan sendirinya.
Catatan Personal
Seandainya saya mengenal buku ini 11-12 tahun yang lalu, tentu saya tidak akan terlalu kebingungan dalam menjawab soal-soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Saya terus terang merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar generasi Pujangga Baru, Tabloid/majalah Siasat, Angkatan '45, Surat Kepercayaan Gelanggang, dan segenap persoalan sastra Indonesia di masa itu. Saya belum membaca sendiri seperti apa buku-buku yang sering menjadi pertanyaan dalam soal-soal ujian. Misalnya, Atheis, Tiga Menguak Takdir, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, hingga Olenka karya sang maestro Budi Darma.
Saya sendiri perlu melakukan penelitian (observasi, lebih tepatnya) lebih lanjut dan mendalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri terhadap Tiga Menguak Takdir. Yaitu, apa dasar bagi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, yang menjadi alasan penentu karya-karya yang ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya yakin bahwa ketiganya sudah memiliki satu buku kumpulan puisinya yang paling lengkap. Lalu, bagaimana ketiganya melakukan seleksi atau pemilihan atas karya-karya mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya rasa, saya masih harus mengkajinya dengan mencermati tanda zaman waktu itu; zaman perang kemerdekaan.
Overall, bisa dibilang, penemuan buku ini bagi saya pribadi adalah menguak takdir atas diri saya lebih dari satu dekade kemarin. Barangkali, ada maksud tersendiri mengapa saya harus baru bisa menamatkan Tiga Menguak Takdir ini usai Tragedi Crane yang jatuh di Mekkah sana. Ya, barangkali.
Judul : Tiga Menguak Takdir
Penulis : Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2013
Tebal : 82 hal.
Genre : Sastra Indonesia
Dharmawangsa, 18 September 2015.
Gelanggang bisa diartikan sebagai termpat berkumpulnya sastrawan Angkatan '45. Pada waktu itu, Chairil-Rivai-Asrul hendak menjadikan Gelanggang sebagai suatu kumpulan kesenian (Kunstkring). Tetapi, setelah melalui berbagai diskusi dan pertukaran pikiran, mereka menemukan bahwa belum ada suatu dasar yang menjiwai pertanggungjawaban atas takdir mereka yang berada dalam kumpulan itu. Mereka membutuhkan sebuah angkatan untuk menamai kelompok Gelanggang ini. Angkatan ini tidak saja harus ada, tapi juga harus mempunyai pandangan hidup, suatu tujuan takdir.
Pada dasarnya, baik Chairil Anwar, Rivai Apin, maupun Asrul Sani, menempuh jalan kesenian yang berbeda. Mereka punya jalan masing-masing, yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya mereka. Bersatunya mereka dalam Gelanggang tidak lantas membuat setiap dari mereka harus mengikuti haluan salah seorang lainnya. Melainkan, ketiganya telah berupaya untuk menempuh jalan konsensus dan saling menghargai masing-masing pribadi.
"Pendekatan ini tidak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami, tapi dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu, bagi kami apriori, tidak usah dipertengkarkan lagi." Demikian, Asrul Sani menulis.
Kumpulan puisi ini membawa kita menyelami pemikiran dan perasaan Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Dengan segenap perbedaan, mereka bersatu demi mencapai cita-cita yang mereka sebut sebagai 'suatu tujuan takdir'. Lantas, 'takdir' seperti apa yang sebenarnya mereka perjuangkan?
Generasi Gelanggang yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Angkatan '45 lahir dan berawal dari kecamuk dan kegetiran atas Perang Kemerdekaan. Kemenangan atas perang akan mengantarkan kemerdekaan. 'Surat Kepercayaan Gelanggang' pun menyuratkan bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Tekanan perasaan dan pikiran semasa itu serta keadaan ekonomi yang mengguncang, telah memenjarakan kemerdekaan mereka. Puisi, lantas menjadi jalan keluar sebagai jalan pembebasan. Rivai Apin sendiri memaknai kemerdekaan kebebasan sebagai kebebasan berkata, berpikir, atau berekspresi yang harus diperjuangkan sendiri. Sedangkan, Asrul Sani, memaknainya dengan pengembaraan ke dunia luas dan alam bebas, seperti tertulis dalam puisinya, 'Surat Untuk Ibu'.
Pembebasan juga tidak hanya dimaknai sebagai pengembaraan jasmani, tetapi juga pengembaraan pikiran. Pengembaraan yang mendaparkan Rivai Apin dalam kehidupan yang tak kenal siang. Tercatat dalam sajak "Anak Malam". Puisi juga menjadi media apresiasi mereka terhadap para pejuang yang telah mengorbankan nyawa, demi tercapainya kemerdekaan. Chairil Anwar menulisnya dalam "Antara Krawang - Bekasi" dan Asrul Sani dengan "Sebagai Kenangan kepada Amir Hamzah, Penyair yang Terbunuh".
Tiga Menguak Takdir terbit pertama kali tahun 1950 oleh Balai Pustaka. Pada tahun yang sama pula, "Surat Kepercayaan Gelanggang" diterbitkan di majalah. Surat itu seakan menjadi jawaban atas Polemik Kebudayaan generasi Pujangga Baru. Pernyataan sikap yang demikian itu seolah memutus generasi sebelumnya. Sebuah upaya dan usaha untuk menguak takdir selanjutnya telah ditegakkan. Sebuah angkatan baru telah dibentuk. Chairil-Rivai-Asrul menegaskan sikap kepengarangan dan gerak estetika mereka dalam buku ini. Sajak-sajak mereka berkatalah dengan sendirinya.
Catatan Personal
Seandainya saya mengenal buku ini 11-12 tahun yang lalu, tentu saya tidak akan terlalu kebingungan dalam menjawab soal-soal Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Saya terus terang merasa kesulitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar generasi Pujangga Baru, Tabloid/majalah Siasat, Angkatan '45, Surat Kepercayaan Gelanggang, dan segenap persoalan sastra Indonesia di masa itu. Saya belum membaca sendiri seperti apa buku-buku yang sering menjadi pertanyaan dalam soal-soal ujian. Misalnya, Atheis, Tiga Menguak Takdir, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, hingga Olenka karya sang maestro Budi Darma.
Saya sendiri perlu melakukan penelitian (observasi, lebih tepatnya) lebih lanjut dan mendalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan saya sendiri terhadap Tiga Menguak Takdir. Yaitu, apa dasar bagi Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani, yang menjadi alasan penentu karya-karya yang ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya yakin bahwa ketiganya sudah memiliki satu buku kumpulan puisinya yang paling lengkap. Lalu, bagaimana ketiganya melakukan seleksi atau pemilihan atas karya-karya mereka sendiri untuk ditampilkan dalam Tiga Menguak Takdir? Saya rasa, saya masih harus mengkajinya dengan mencermati tanda zaman waktu itu; zaman perang kemerdekaan.
Overall, bisa dibilang, penemuan buku ini bagi saya pribadi adalah menguak takdir atas diri saya lebih dari satu dekade kemarin. Barangkali, ada maksud tersendiri mengapa saya harus baru bisa menamatkan Tiga Menguak Takdir ini usai Tragedi Crane yang jatuh di Mekkah sana. Ya, barangkali.
Judul : Tiga Menguak Takdir
Penulis : Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2013
Tebal : 82 hal.
Genre : Sastra Indonesia
Dharmawangsa, 18 September 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar