Rahman dulu, baru Rahim. Beres cinta sosial dulu, barulah ketenteraman cinta pribadi.
Emha Ainun Nadjib (hal. 64)
Alhamdulillahirabbil'alamin. Lagi-lagi saya harus mengucapkan syukur ke hadirat Illahi Rabbi atas terbitnya kembali buku ini yang saya beli berbarengan dengan buku Emha lainnya, yaitu "99 Untuk Tuhanku". "Istriku Seribu" rupanya menempuh perjalanan yang lumayan panjang untuk hadir kembali ditengah-tengah masyarakat.
"Istriku Seribu" merupakan kumpulan esai Emha Ainun Nadjib yang mengangkat isu poligami dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Mulai dari asal mula turunnya ayat yang mengatur poligami, kewajiban manusia terhadap sesamanya, prasangka manusia yang membutakan, hingga konsep cinta dalam berbagai bentuk. Emha kali ini tidak tampil sendirian. Ia ditemani oleh Yai (Kiai) Sudrun, barangkali pembaca Emha sudah kenal sebelumnya.
Sebagian pembaca pasti kaget bila menyadari bahwa buku ini tidaklah cukup tebal untuk membahas isu semacam poligami. Pembaca mungkin tidak akan percaya bahwa Emha mampu menguraikan hal-hal yang demikian itu dalam buku yang tebalnya tak sampai 100 halaman. Pun, dimensi buku ini pun cenderung lebih kecil dari buku komik Jepang terjemahan.
Perlu dipahami juga bahwa walaupun esai-esai didalamnya berdiri dengan judul masing-masing, sesungguhnya semuanya itu adalah satu jua adanya. Emha dengan cerdik menempatkan esai-esainya sedemikian rupa agar pembaca mampu mencerna pelajaran dari setiap kisah, cerita, dan segenap dialektikanya bersama Yai Sudrun. Memang telah disinggung di bagian awal bahwa sedianya judul asli tulisan dalam "Istriku Seribu" ini adalah "Poligami Monopoligami Nopomimogali", yang lantas membuat Yai Sudrun langsung naik pitam.
Dalam memahami "Istriku Seribu", pembaca harus membaca esai dengan urut mulai dari awal. Harus ada kesepahaman nilai terlebih dahulu dengan penulisnya sebelum menafsirkan isi buku ini. Mungkin hal itu diperlukan pengulangan beberapa kali demi tercapainya satu konsensus bersama dan juga sebagai ijtihad agar tidak salah mengartikan.
Untuk mulai proses memahami tersebut, bisa dimulai pada esai 'Sudrun dan Tuhan Tak Mau Diduakan', Emha mengajak kita untuk memahami Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang baginya Aisyah itu adalah istri utama namun menjelang dicabutnya nyawa Beliau, yang disebut-sebut justru bukanlah Aisyah R.A, melainkan "Ummatiii... Ummatiii..". Kemudian, pada konteks sifat Allah SWT Ar-Rahim (cinta ke dalam, cinta vertikal, cinta personal) istri kita adalah ibunya anak-anak kita. Persuami-istrian lelaki-perempuan adalah suami-istri dengan skala ar-Rahim, meskipun berposisi dialektis dengan ar-Rahman: suami-istri sosial (cinta meluas, horizontal, keluar). Pada Kanjeng Nabi, istri ar-Rahim-nya adalah Khadijah, yang bersamanya justru beliau berdua memberi kontribusi-kontribusi sangat besar secara ar-Rahman.
Setelah Khadijah R.A wafat, istri ar-Rahim Beliau adalah Aisyah. Istri beliau yang lain pada masa sepuhnya adalah istri-istri dalam konteks ar-Rahman: istri sosial, istri yang diambil karena dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial: banyaknya janda-janda peperangan, sejumlah wanita teraniaya, jumlah tak seimbang antara lelaki dan perempuan.
Kaum Muslim bersemayam di kandungan kalbu Kanjeng Nabi, terkadang bagai salju yang sejuk, terkadang bagai api yang membakar dada beliau. Kanjeng Nabi tidak punya masalah pribadi dengan manusia, dunia, atau Tuhan. Beliau sudah dijamin masuk surga. Namun, setiap malam, Kanjeng Nabi bersujud, tahajud, menangis, menangis, menangis. Dan yang Beliau tangisi bukan diri Beliau sendiri, bukan istrinya yang ar-Rahim, Khadijah almarhumah atau Aisyah, melainkan istri ar-Rahman: yakni Umat Islam.
Mungkin salah satu hal yang Kanjeng Nabi tangisi adalah karena Kaum Muslim yang istri utamanya tidak pernah benar-benar meletakkan Beliau sebagai istri atau suami Beliau yang utama. Dalam hampir semua bagian dari sejarahnya, Kaum Muslim memperistrikan-atau lebih akurat: mempermaisurikan-harta benda, kekuasaan, kepentingan pribadi, dan keserakahan dunia. Allah dan Muhammad seringkali disebut-sebut dalam konteks kepentingan untuk mendapatkan kekayaan atau kekuasaan. Allah dan Kanjeng Nabi hanya instrumen bagi Kaum Muslim yang dipakai untuk memperbanyak perolehan modal, deposit materi, kekuasaan, atau popularitas.(Hal. 47-49)
Emha mulai bicara lugas soal poligami sejak asal-usul hingga pedoman pelaksanaannya sejak esai berjudul 'Satu Suami Ratusan Istri'. Pada zaman sebelum Kanjeng Nabi mengantarkan ajaran Allah, lelaki di masyarakat meletakkan kaum wanita sebagai barang atau aksesori berlian atau budak. Lelaki waktu itu, kalau kaya, bisa mengawini ratusan wanita. Kaum wanita dianiaya, direndahkan derajatnya, dianggap barang, diambil dan dibuang semaunya oleh lelaki.
Dalam keadaan itu, Allah SWT melakukan revolusi: dari fakta ratusan istri diradikalkan menjadi hanya paling banyak empat istri, dengan peringatan keras jangan mengeksploitasi mereka dalam hal apapun. Dari ratusan istri diradikalkan menjadi empat istri merupakan sebuah tahap, Dan, tahap inilah yang dipergunakan oleh sebagian besar pelaku pernikahan dalam Islam untuk dipakai sebagai dasar hukum bahwa lelaki boleh beristri empat. Segala sesuatunya disetop disini dan dilegitimasi bahwa syariat Islam memperkenankan hal itu, seolah-olah tidak ada dimensi lain yang perlu dipertimbangkan. Maka, seluruh dunia pada abad 21 ini beranggapan seperti itu, stagnan dalam justifikasi bahwa Islam memperbolehkan lelaki kawin empat. (hal. 84-86)
Esai selanjutnya, 'Tuhan Mengajak Berdiskusi' berisi diskusi antara ayat Tuhan dengan akal pikiran manusia. Tuhan tidak hanya memberi perintah, tetapi juga mengajak manusia berdiskusi, agar manusia memproses pemikirannya kemudian mengambil keputusan sendiri dengan akalnya.
Pada kalimat yang sama, dengan radikalisasi ratusan istri menjadi empat istri, Tuhan memancing kedewasaan akal manusia: Kalau engkau takut tidak akan bisa berbuat adil, maka satu istri saja. Itu pun kalimat sebelumnya, yang menyebut istri satu atau dua atau tiga atau empat dimulai dengan kata 'maka'. Artinya, pasti ada anak kalimat sebelumnya. Ada latar belakangnya, ada pertimbangan-pertimbangannya, tidak bisa dipotong disitu.
Maka, kawin empat itu juga berangkat dari prasyarat-prasyarat sosial yang kita himpun disamping dari yang dipaparkan oleh Tuhan dan sejarah, juga kita cari melalui aktivitas akal kita sendiri. Kawin empat, menurut kematangan akal dan rasa kalbu kemanusiaan, tidak pantas dilakukan atas pertimbangan individu. Ia memiliki konteks sosial. Ia bukan merupakan hak individu, melainkan kewajiban sosial. Kewajiban adalah sesuatu yang 'terpaksa' atau wajib kita lakukan, senang atau tidak senang. Karena masalahnya tidak terletak pada selera, kenikmatan atau kemauan pribadi, melainkan pada kemaslahatan bersama.
Engkau menjadi manusia yang tidak tahu diri kalau Tuhan mengatakan, 'kalau engkau takut tak bisa berbuat adil...' lantas engkau bersombong menjawab kepada Tuhan, 'Aku bisa kok berbuat adil', kemudian ambil perempuan jadi istri keduamu. Bahkan engkau nyatakan 'Aku ingin memberi contoh poligami yang baik'-seolah-olah Tuhan tidak membekalimu dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. (hal. 88-90)
Melalui "Istriku Seribu", Emha mengajak kita untuk senantiasa berijtihad dengan memproses pemikiran dengan akal dan rasa kalbu kemanusiaan. Emha tidak menafsirkan poligami menjadi sebuah polemik yang kaku dan tetap. Emha ingin berpesan bahwa banyak hal-hal yang harus dipahami terlebih dahulu dalam memaknai satu dan sekian banyak ayat-ayat Tuhan. Termasuk implikasi sosio-historisnya dalam konteks kehidupan berkeluarga. Emha tidak berkata tidak kepada poligami, tetapi ia menegaskan kembali satu persyaratan utama dari Allah SWT. Satu hal yang sering kita anggap remeh; bahwa kita bisa dan mampu berlaku adil. Sedang, Tuhan-yang menciptakan manusia-sangatlah paham, bahwa ciptaannya itu takkan mampu berbuat demikian.
Catatan Singkat
Usai pembacaan buku ini selesai, saya tidak hanya mendapatkan penjelasan Emha mengenai poligami yang telah diuraikan diatas, buku ini juga mengantarkan saya kembali pada definisi Manajemen, dimana sebelumnya pada bulan Ramadhan tahun 2011 lalu pernah saya muat juga dalam blog ini. Bila pembaca penasaran, sila loncat ke halaman 39 atau klik link berikut.
Selain definisi manajemen versi Emha Ainun Nadjib, saya juga menemukan keteguhan sikap Emha atas dunia. Seperti yang pernah saya saksikan pada satu sesi pengajian Maiyahan.
"Silakan menertawakanku, melecehkanku, membuangku. Namun, engkau wahai dunia, tidak akan sedikit pun pernah mampu mengubah sejengkal saja kakiku dari pijakan cinta yang kupilih."
"Kalian tidak akan pernah bisa memusnahkanku, karena aku sudah merdeka dari kemusnahan, sudah merdeka dari yang kalian pahami sebagai kehidupan dan kematian." (hal. 58)
Sungguh tegas pernyataan Emha diatas. Pernyataan yang lahir dari keteguhan hati dan kebesaran jiwa, yang hanya mendamba pada Allah SWT semata. Agaknya, mengenai sikap Ehma yang demikian itu tidaklah perlu diadakan penelitian tersendiri. Lintasan waktu sejarah telah menggembleng Emha untuk menempuh jalan sunyinya sendiri.
Judul : Istriku Seribu
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun : 2015
Tebal : 98 hal.
Genre : Agama Islam-Sosial dan Budaya
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tahun : 2015
Tebal : 98 hal.
Genre : Agama Islam-Sosial dan Budaya
Dharmawangsa, 15 September 2015.
1 komentar:
Penasaran sama bukunya. Kalo nggak tebal, saya kuat bacanya.
Posting Komentar