Rabu, 19 November 2008

Serpihan Perpisahan

Pada hari yang hujannya enggan reda. Dimana matahari pun entah berada. Pada langit yang gelap. Diatas bumi yang basah. Lelaki itu masih berjalan dengan sandal gunungnya. Lelaki itu tidak sedang mendaki gunung. Tetapi ia sedang mendaki hidupnya sendiri yang kelak akan dijalaninya jauh dari pelukan Ibunda tercinta. Hujan yang tak henti-hentinya tidak menyurutkan langkahnya. Ciuman dan peluk hangat Ibunda dan Ayah sudah didapatnya mungkin untuk yang terakhir kalinya. Ia masih terus berjalan. Kilat menyambar.

Tiket kereta sore telah dipesannya. Ia masih terus berjalan. Tidak sekalipun menoleh ke belakang. Itu bukan sifatnya. Ia tidak pernah menatap ke belakang dalam setiap situasi perpisahan. Ia juga tahu hatinya masih tertinggal disana, tetapi ia juga sadar bahwa ada mimpi yang harus diburu. Memburu mimpi, menangkap mimpi yang masih berserakan. Masih hujan tak mau reda. Perpisahan kali ini tidak diiringi tatapan kerinduan dan penyesalan. Ia relakan semuanya. Ia harus kuat untuk tidak menangis. Setidaknya, kalaupun perlu, menangis saja sekencang-kencangnya dalam hati. Tak perlu ada air mata. Tak perlu lagi ada cinta.

Batin menangis, hati pasrah...*)

Ia kuatkan hatinya untuk menaiki gerbong kereta. Disusurinya satu persatu hingga akhirnya ia temukan tempat duduknya di sebelah jendela. Jendelan yang mengingatkannya kala Ibunda dan Ayah melepasnya 600 Km lebih ke arah timur. Perlahan kereta mulai meninggalkan stasiun. Teriakan klakson kereta menjadi pertanda bahwa ia telah pergi dari kota ini. Entah sampai kapan. Ia juga masih belum tahu. Perlukah untuk kembali atau tidak sama sekali. Tidakkah rindu ia akan tumis capcay buatan Ibunda? Atau teriakan Ayah yang membangunkan untuk shalat Subuh? Tidakkah rindu ia akan suara penyiar pujaan di senin malam yang diiringi alunan musik Jazz?

Biarlah ia pendam semua itu hingga akhirnya ia kembali. Terlalu banyak hal yang berarti. Namun, terlalu banyak juga yang akhirnya tidak perlu kita pahami dan coba mengerti sama sekali. Tidak, sama sekali tidak.


*) dari lirik lagu "Burung Dalam Sangkar"


Pegangsaan Dua, 19 November 2008, 17.47

Senin, 10 November 2008

Catatan Hari Pahlawan

Selamat Sore Aninda. Apa kabarmu disana? Masihkah langit mendung nan basah memayungi kotamu? Disini mendung sekali, Aninda. Anginnya pun kencang sekali. Oh ya, aku hampir lupa memberi kabar padamu bahwa seperti surat yang kemarin aku sekarang benar-benar pergi meninggalkan kotamu.

Sengaja aku tidak kirim SMS atau sekedar telepon cuma untuk mengharapkan engkau akan melepas kepergianku di Stasiun Kereta. Bukan itu maksudku Aninda. Kau pun tahu, aku sudah tidak sanggup lagi untuk menangis kala datangnya perpisahan. Sehingga percuma saja air matamu itu yang mengiringi kepergianku menuju Tanah Harapan.

Aku buat catatan ini pada suatu hari yang disebut dengan Hari Pahlawan. Hari dimana Surabaya menjadi ladang pertempuran dalam mempertahankan serangan dari Wong Londo si Penjajah Keparat itu. Namun, untuk saat ini rasanya kita telah kehilangan semangat juang itu, Aninda.

Coba saja lihat, berapa banyak dari kita yang mengikuti anjuran Presiden SBY untuk mengheningkan cipta tepat pada pukul 08.15 pagi tadi? Berapa banyak? Kalaupun ada, mungkin hanya sekumpulan anak SD-SMP-SMA yang merasa terpaksa mengikuti upacara pagi. Atau mungkin para Abdi Negara yang sama terpaksanya dengan mereka untuk sekedar memberi hormat pada Merah Putih.

Begitupun aku. Aku tidak bersama mereka. Entah sedang apa aku tadi. Yang pasti aku masih teringat kalau hari ini hari Pahlawan. Kau sendiri, sedang apa tadi, Aninda? Apakah masih sibuk dengan urusan Morning Meeting yang selalu penuh dengan omong kosong dan basa-basi sialan? Atau, cuma sekedar memperbaiki rambutmu yang tersibak angin lantaran kemarin sudah masuk salon?

Angin berhembus kencang sekali disini. Nampaknya aku harus segera pulang. Aku tidak ingin tersapu dan terseret angin yang lebih kencang.


Peluk Rindu,


Pegangsaan Dua, 10 November 2008, 16.32

Senin, 20 Oktober 2008

Sebuah Lagu dan Catatan Perpisahan

”selamat tinggal semua, bukan aku tak cinta
tiada lagi tersisa, bahkan mimpi kubawa
....
selamat jalan kawan, bukan aku tak cinta
mungkin saja kau benar
semoga saja kau benar”
Iwan Fals, Semoga Kau Benar, Album 1910

Petikan lirik lagu dari Iwan Fals yang judulnya "Semoga Kau Benar" ini kembali terngiang di kepala saya. Saya lupa kapan terakhir kalinya saya memutar lagu itu. Sebelum lulus SMA lagu itu bisa sempat mengisi hari-hari saya. Tapi, siang ini entah kenapa saya benar-benar ingin mendengarkannya lagi.

Waktu SMA dulu, sebagian dari petikan lagu diatas pernah saya katakan pada beberapa orang sahabat saya yang akan mengikuti ujian saringan mandiri di UGM, Yogyakarta sana. Saya (tentunya) berharap bahwa apa yang mereka lakukan dengan keputusan mereka mudah-mudahan benar adanya.

Berpisah dan meninggalkan sesuatu adalah sebuah konsekuensi yang datangnya satu paket dengan kejadian itu sendiri. Entah siap atau tidak tapi kenyataan datang untuk dihadapi lalu dijalani. Memang tidak selalu kita berpisah dengan lambaian tangan atau pun tangis sendu di bibir pelabuhan. Perpisahan mungkin terjadi begitu saja tanpa persiapan apa-apa bahkan ucapan selamat tinggal sekalipun.

Kalaupun perpisahan ini harus terjadi untuk sebuah alasan biar waktu saja yang membuktikan bahwa memang perpisahan itu layak adanya.

Hasta luego mi amigos*),



*) Sampai berjumpa lagi, kawanku - dari bahasa Spanyol


Pharmindo, 20 Oktober 2008, 12.31

Selasa, 14 Oktober 2008

Catatan Seorang Pengangguran (2)

Tuan-tuan dan Puan-puan,
Hari ini menurut kabar yang sudah beredar ada beberapa departemen yang untuk kesekian kalinya membuka lowongan untuk menjadi PNS/CPNS. Sebuah kesempatan lagi bagi kami untuk mencoba peruntungan.

Memang beginilah keadaan dari tahun ke tahun. Beribu pintu lowongan dibuka namun sebandingkah dengan jumlah kami yang semakin bertambah dari hari ke hari? Berpa orang dari kami yang akan masuk pintu itu? Suatu jumlah yang tidak akan masuk akal bila melihat perbandingannya. Setiap tahunnya pula sebagian dari kami memang menunggu kesempatan yang diberikan pemerintah untuk menjadi abdi negara. Kami tentu bersaing dengan mereka yang desersi dari pekerjaannya yang sekarang sehingga angka perbandingannya tentu akan naik pula. Maka, anda-anda jangan heran bila melihat kelakuan kami ini yang sengaja mendaftar untuk semua posisi yang tersedia walau kadang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan.

Kami memang begini karena keadaan yang menginginkannya. Keadaannya sudah seperti ini sehingga memaksa kami untuk berbuat yang demikian. Sungguh, keadaan telah memaksa kami. Kami memang harus melakukan semua ini sebagai usaha untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Masalah penempatan di unit kerja dan kualifikasi pendidikan biarlah nanti atasan kami yang mengurusnya dengan memberikan penyesuaian. Kami membeli harapan dan mimpi untuk jadi abdi negara yang seluruh sisa hidupnya akan dibiayai oleh negara bahkan untuk sekedar bernafas sekalipun.

Tuan-tuan dan Puan-puan tentunya akan tertawa bila melihat kami hari ini yang sedang mengantri di bawah panas matahari ibukota yang membara. Kami mengantri sepanjang hari ini hanya untuk menyerahkan persyaratan yang dibutuhkan sebagai pelengkap dokumen administrasi. Kami mengantri untuk sekedar meyakinkan panitia penerimaan bahwa kami ini pantas dan layak untuk dipanggil dan diterima untuk mengikuti proses selanjutnya. Kami mengantri dengan harapan Bapak Menteri benar-benar membaca surat lamaran kami yang ditujukan kepadanya.

Tuan-tuan dan Puan-puan yang terhormat,
Tentu dulu anda tidak sempat mengalami hal yang demikian. Saya yakin sebagian dari anda juga ada yang pernah mengalaminya namun dengan kondisi yang jauh berbeda dibandingkan dengan saat ini. Atau malah anda-anda ini benar-benar tidak sempat sama sekali untuk merasakan yang demikian ini. Mungkin, anda tidak seperti kami karena anda punya cara yang lebih jitu daripada sekedar mengantri untuk daftar. Anda-anda ini punya jurus yang lebih cepat untuk masuk dan diterima sebagai abdi negara. Saya tidak perlu sebutkan cara-cara atau jurus-jurus itu. Anda sendiri yang lebih tahu. Tentu saya tidak akan berprasangka yang macam-macam karena masih dalam suasana bulan Syawal. Namun, kalau ada semacam pretensi ke arah yang negatif apa boleh buat karena memang realita menunjukkan yang demikian itu.

Dulu, sebelum anda-anda menduduki kursi yang empuk baik di perjalanan menuju kantor hingga akhirnya benar-benar kembali berada di ruang kantor apakah anda pernah berpikir bahwa anda-anda juga dulunya sama seperti kami-kami ini? Sebelum karir anda-anda menanjak sedahsyat sekarang pernahkah terlintas dalam benak bahwa memang banyak cara yang bisa dilakukan untuk diterima sebagai pegawai dan berkarir dengan sangat cepat walau kadang mungkin saja untuk menghalalkan segala maca cara termasuk menciumi tangan atasan setiap berjabat tangan?

Pernahkah anda-anda sekalian berpikir tentang nasib kami? Pernahkah anda-anda sekalian memikirkan sebuah solusi agar kami ini juga punya kehidupan sendiri dan tentunya nasib yang lebih baik? Pernahkah juga anda-anda sekalian berpikir untuk merasakan bagaimana bila menjadi seperti kami? Apakah anda-anda pernah punya pretensi untuk sekian ratus halaman surat lamaran yang segera jadi omong kosong belaka karena tidak pernah dibaca oleh perusahaan yang dituju dan segera masuk ke paper shredder?

Semuanya bisa terjadi di dunia yang serba tidak pasti ini. Semuanya masih mungkin untuk terjadi bahkan tanpa pesan pembukaan semata. Seperti anda yang tiba-tiba mendapatkan surat rekomendasi untuk naik jabatan yang berarti semuanya akan ikut naik, mulai dari tunjangan hingga biaya-biaya dinas lainya.

Tuan-tuan dan Puan-puan,
Alangkah hidup ini begitu menyenangkan bila dijalani bukan dengan kepalsuan. Kepalsuan ada dimana-mana. Ia ada dan mengintai di sekitar kita. Kita menjadi palsu tanpa harus menjdi jahat. Kita menjadi palsu agar bisa diterima sebagai pribadi yang utuh-padahal tetap saja palsu.

Kami juga sangat mungkin untuk berada dalam jalur kepalsuan. Kami bia memalsukan segalanya seperti anda yang membuat travel cheque palsu. Kami juga bisa menjadi palsu hingga luntur hakikat diri kami yang sesungguhnya. Kami bisa menjadi palsu hinggatidak lagi menjadi diri kami yang sebenarnya dan seutuhnya. Bukankah kepalsuan-kepalsuan itu memang dibutuhkan di dunia kerja nanti?

Tuan-tuan dan Puan-puan,tentu anda lebih tahu dan piawai untuk hal ini. Anda-anda ini tentu sudah seiring berurusan dengan hal ini. Seperti ketika saat anda menemui bawahan yang patuh benar pada perintah anda dan pada akhirnya anda tidak akan pernah menyadari bahwa si bawahan itu adalah si penjilat paling hebat. Bukankah itu sudah menjadi suatu bagian dari pekerjaan anda-anda bukan?

Kepada anda-anda yang membaca tulisan ini lewat internet di PC Desktop, laptop, PDA atau HP sekalipun, anda-anda yang membaca tulisan ini sambil ditemani segelas cappucino hangat. Kami tidak akan menuntut sesuatu pada anda-anda semua. Kami tidak minta untuk dikasihani agar diberikan pekerjaan atau mungkin hanya selembar nota/surat rekomendasi. Tidak. Kami tidak butuh itu.

Kami bukanlah pengangguran seperti di Amerika sana yang masih diberi kepercayaan untuk mengajukan kredit ke Bank yang pada akhirnya menusuk pemerintahan mereka sendiri yang terlilit krisis global. Kami juga bukan pengangguran seperti di Brunei sana yang tetap dibayar oleh negara dengan jumlah yang cukup.

Kami adalah bagian dari takdir. Dimana ada kaum pekerja, disana ada juga kaum pengangguran. Kami adalah bagian dari nasib yang malah justru harus menentukan nasib kami sendiri. Kami akan selalu ada di dunia ini untuk melengkapi dunia.

Kami adalah pengangguran yang senasib sepenanggungan dengan kaum pengangguran lainnya yang ada di bangsa di anak benua manapun. Kami belum memiliki pekerjaan walau kualifikasi kami kadang mencukupi. Kami adalah pengangguran yang tetap berusaha untuk keluar dari sirkuit kemelut*) yang sangat tidak menyenangkan ini. Apapun yang terjadi, kami ingin menjadi diri kami sendiri. Kami tidak ingin kehilangan harga diri hanya karena kami adalah pengangguran.


Pharmindo, 14 Oktober 2008, 08.35

*) Sirkuit Kemelut, sebuah judul novel karya Ashadi Siregar

Senin, 13 Oktober 2008

Catatan di Masa Krisis

Dalam hari-hari yang kujalani kembali sebagai seorang pengangguran, aku merasa tidak ada yang perlu untuk kuceritakan apalagi sampai harus membuatkan tulisan tentangnya. Namun, tiba-tiba aku merasa harus menulis sesuatu. Baiklah, aku tidak akan menulis tentang bagaimana keseharian seorang pengangguran. Aku tidak akan bercerita padamu tentang hari-hari seorang pengangguran yang selalu sama dari detik ke detik berikutnya. Aku tidak akan bercerita tentang hidup seorang pengangguran yang sedikit demi sedikit aka mengalami krisis. Aku juga tidak akan bercerita bahwa nasib memang selalu membutuhkan teman untuk bercerita. Suatu saat mungkin nasib akan menghampirimu dan ia akan bercerita padamu tentang bagaimana seorang pengangguran hanya bisa bermimpi dan menabur harapan untuk masa depan.

Semuanya kembali seperti biasa. Dunia pun memang begitu adanya. Kini aku bukan lagi seorang pustakawan yang selalu menulis Surat dari Bukit. Sudah lama pula aku tidak menulis catatan yang selalu diakhiri dengan kata Salam dari Bukit. Lebaran sudah berlalu. Saatnya kembali pada kenyataan yang hampir biasa. Kota-kota besar akan penuh sesak dengan kaum pendatang yang membeli mimpi di kampungnya dan berharap mimpinya itu jadi kenyataan di kota. Semua itu terjadi begitu saja setiap tahunnya. Mungkin suatu saat nanti aku juga akan jadi bagian dari mereka yang datang untuk menantang kehidupan di metropolitan yang semakin gemerlap oleh mereka yang menanamkan uangnya.

Pada hari yang biasa ini, rupanya dunia kita sedang (kembali) mengalami krisis. Dunia ini sudah bertambah tua namun krisis demi krisis salaing bergantian untuk menggerogoti dunia ini. Krisis apa yang belum pernah dunia ini alami? Krisis Nuklir? Krisis Pangan? Krisis Lingkungan? Atau yang lebih parah Krisis Kemanusiaan? Kali ini krisis keuangan yang bersumber dari negerinya Rambo itu membuat seluruh dunia merasakan getirnya dan mereka semakin merasa bahwa punya uang di masa sulit seperti ini benar-benar berharga walau nilai tukar terhadap dolar semakin turun. Dari Bursa Efek Jakarta hingga New York Stock Exchange semuanya ambruk tak terkecuali. Bahkan, BEJ sempat ditutup selama beberapa hari karena ada sentimen panik dari para pemain di lantai bursa.

Berita tentang krisis ini akan sama setiap harinya dimana pemerintahan di seluruh penjuru dunia akan memberikan bail out terhadap sektor perbankan yang memang menjadi objek dari krisis ini. Pada berita lainnya, kabar tentang indeks gabungan sejumlah lantai bursa akan diberitakan mengalami penurunan indeks yang cukup signifikan setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berita semacam itu akan mejadi langganan headline sebuah koran nasional dan breaking news yang muncul setiap jamnya dari sebuah televisi nasional.

Krisis ini setidaknya membuka mata dunia bahwa Amerika Serikat memang berperan besar dalam terjadinya badai krisis dunia ini. Malapetaka ini berawal dari tidak kunjung selesainya kasus ”subprime mortgage” atau kredit perumahan di Amerika sana. Begitulah, tanpa penyelesaian yang pasti dan dibiarkan semakin larut dalam kekacauan ekonomi lokal maka seluruh dunia pun ikut menanggung beban dari krisis ini. Kenapa Amerika Serikat selalu saja dijadikan kiblat ekonomi modern? Kenapa kurs nilai tukar mata uang dengan dolar amerika selalu jadi patokan kemajuan ekonomi suatu bangsa?

Aku rasa semua ini hanya akal-akalan saja. Tentu ada aktor dan sutradaranya dibalik semua kejadian ini. Semua ini hanya omong kosong agar IMF mau kembali menjulurkan tangannya pada setiap negera yang terlibas badai krisis ini. Sama seperti yang bangsa ini hadapi sekitar 1 dekade yang lalu. Lagu lama ini akan diputar kembali dengan cara yang lebih global, modern, dan lebih canggih untuk menghadapi infrastruktur keuangan dan ekonomi Indonesia yang lebih kuat dibandingkan 10 tahun yang lalu.

Aku yakin ada skenario besar yang mengatur semuanya. Kurang lebih mirip dengan skenario Calciopolli yang menjungkalkan Juventus ke Serie-B di Italia sana. Skenario ini akan berjalan dengan mulus karena pada dasarnya persepsi seluruh warga dunia sudah sama bahwa mereka pada akhirnya akan menyadari dunia ini sedang mengalami krisis. Pembentukan persepsi yang melibatkan peran media ini tentu akan mempermudah sang sutradara untuk menjalankan semua rencana-rencana yang tersusun rapi dalam berkas-berkas seusai rapat. Rencana-rencana yang baru akan terungkap 3 atau 4 tahun ke depan, ketika seluruh warga dunia akhirnya menyadari juga bahwa mereka sebenarnya hanya jadi bagian dari permainan omong kosong ekonomi dunia.

Kejadian seperti ini tentu mirip dengan yang terjadi di Indonesia pasca krisis di tahun 1999 dimana IMF memberikan tangannya untuk menyelamatkan bangsa yang karam ini. Presiden dimasa itu ”dipaksa” untuk menandatangani nota kerjasama yang sebetulnya merugikan seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Maka, apabila pada medio 2003 negeri kita kembali ribut tentang divestasi beberapa BUMN strategis dan liberalisasi pendidikan dengan merubah PTN-PTN menjadi BHMN semua itu hanyalah sisa-sisa dari bom waktu yang disetel 3 atau 4 tahun ke belakang itu. Kita hanya akan jadi sitting duck (sasaran empuk) dari rudal-rudal skenario global yang mewakili kepentingan kaum imperialis-kapitalis modern.

Aku rasa untuk saat ini krisis ini belum benar-benar terasa bagi kami kaum pustakawan dan belum terlambat pula bagi kami untuk menyadarinya. Kami hanya mengikuti beritanya saja lewat koran yang dilanggan setiap bulan dan internet yang selalu kami buka sebelum berdoa untuk memulai pekerjaan. Kalau memang krisis ini benar-benar menyapa dan memberi salam selamat pagi Dunia kepada kami, aku belum tahu akan seperti apa jadinya dunia ini.


Salam dari Pharmindo,


Pharmindo, 13 Oktober 2008, 08.41

Selasa, 07 Oktober 2008

Catatan Di Awal Bulan Syawal

Seperti biasanya. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh untuk ke-1429 kalinya ini kurang lebih masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Hampir sama kalau tidak mau dibilang masih sama. Shalat Ied di lapangan, makan ketupat, sungkeman lalu menangis, silaturahmi ke rumah tetangga dan sanak saudara. Rasanya, semua itu juga kita lakukan tahun kemarin. Catatan ini ditulis pada malam pertama dimana titik-titik hujan masih malu-malu untuk turun, tumpah, lalu membasahi tanah yang bercucuran air mata ini. Catatan ini ditulis sebagai catatan pembuka di awal bulan Syawal.

Catatan ini dimaksudkan untuk menjadi penanda bahwa telah terjadi sesuatu di hari ini. Masih sesuatu yang biasa dan entah sampai kapan masih akan terasa biasa. Catatan ini ditulis oleh seorang Pustakawan yang telah mengakhiri masa kerjanya. Pada catatan yang ia tulis tepat di hari yang sama pada awal bulan kemarin, ia menulis tentang catatannya ketika Ramadhan sedang menuju awalnya. Kini, Ramadhan telah berlalu meninggalkannya, dan ia menulis kembali catatannya di hari ketika bulan Syawal menggantikan Ramadhan tepat di hari Idul Fitri.

Bulan ini adalah awal dari sebuah petualangan yang mungkin akan segera dimulai. Petualangan yang mungkin jadi awal dari sebuah perjalanan. Perjalanan untuk terbang tinggi dan lebih tinggi lagi. Perjalanan yang menjadi awal dari sebuah akhir. Perjalanan yang ditandai dengan sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang sulit namun memang seharusnya sudah terjadi. Aku telah membuat keputusan untuk terbang tinggi lagi. Aku telah memutuskan untuk memulai hidupku lagi. Hidup yang hanya akan kujalani dengan diriku sendiri. Hanya diriku saja. Aku telah memutuskan untuk tidak terikat lagi. Aku hanya ingin jadi diri sendiri sebelum aku lupa rasanya jadi diri sendiri.

Aku memutuskan untuk kembali menjadi diriku sendiri. Itulah kenapa sebabnya aku bisa bilang ini adalah sebuah keputusan yang sulit. Sulit sekali untuk menjadi diri sendiri. Begitu sulitnya, hingga aku sendiri tidak tahu apa aku masih punya sisa-sisa dari diriku yang dari kemarin hingga hari ini memang begini-begini saja. Aku masih ingin menjadi diri sendiri.

Aku tidak ingin lagi terjebak dan terperangkap dalam sebuah situasi pekerjaan yang baru kini kusadari bahwa memang semua itu tidak menyenangkan. Alangkah tidak menyenangkannya apabila kita kehilangan perasaan bahagia di akhir pekan untuk dihabiskan bersama deretan daftar di dalam database Athenaeum dan tumpukan buku yang menunggu untuk disampul. Belum lagi, kehilangan waktu untuk sekedar berselonjor sambil mendengarkan suara si penyiar pujaan di akhir pekan yang selalu menyenangkan. Atau, waktu untuk sekedar diam dan tidak melakukan apa-apa. Semuanya terjadi padaku pada situasi pekerjaan yang kemarin. Aku benar-benar tidak bisa menjadi diriku sendiri. Tiba-tiba aku merasa menjadi orang lain. Orang lain yang asing sekali bahkan untuk diriku sendiri. Aku menjadi sesuatu yang terasing di semesta yang memang kuciptakan sendiri. Aku bagaikan horizon terasing*) yang yang jauh berada di titik langit yang entah dimana ujungnya.

Memang sulit untukku untuk terus menjadi anggota baru dari kaum pekerja yang mengabdi pada suatu profesi yang lalu kemudian masuk perangkap comfort zone. Sebuah daerah yang selalu menjadi perbincangan hangat oleh para pemandu karir, motivator, hingga pakar SDM. Aku tidak menampik kenyataan bahwa pada akhirnya aku juga akan menjadi bagian dari mereka. Mereka yang selalu bangun pagi dan pulang di sore hari. Mereka yang selalu bekerja 8 jam sehari dengan 1 jam istirahat. Mereka yang selalu bersemangat dan bergembira bila akhir pekan datang tanpa undangan. Suatu saat, aku juga ingin menjadi bagian dari mereka. Mereka yang selalu berpacu dengan waktu dan deadline. Mereka yang merasa wajib menjadi sesuatu. Bahkan jika jadi omong kosong sekalipun.

Aku akan jadi bagian dari mereka. Bangun pagi dengan mata yang masih pedas dan melangkah gontai untuk mandi dan pada waktu aku membuka mata aku sadari betapa kenyataan dalam hidup ini terjadi apa adanya. Terjadi begitu saja walau tanpa pembukaan dan akhir yang indah. Kenyataan yang kadang pahit getirnya telah aku rasakan sementara entah pahit atau manis yang lain masih menunggu untuk aku rasakan. Betapa hidup ini akan terasa setelah mata ini tidak terpejam lagi. Lihatlah perjuangan menghadapi kenyataan. Sebuah kisah yang tertulis akan menjadi cerita dari mereka yang terlibat dan bermain-main di dalamnya. Aku akan menulis kisah itu. Merangkai catatan demi catatan yang kutuliskan di hari yang aku menjalaninya sebagai sebuah kemestian.

Apapun itu, dengan keadaanku yang sekarang, aku hanya ingin jadi diri sendiri yang mengikuti arus hidup yang entah dimana muara hulunya. Aku akan ikuti kemana angin berhembus. Aku masih ingin jadi diri sendiri. Aku masih ingin terbang. Jauh. Jauh tinggi. Hingga hanya mimpi saja yang mampu menembusnya. Flying high to the mountain high**).

Begitulah yang terjadi padaku sekarang. Hei, tidakkah kau ingin bertanya padaku bagaimana aku akan menjalaninya? Aku rasa belum saatnya aku bercerita. Aku baru saja memutuskan untuk (kembali) menjadi seorang pengangguran yang bersaing dengan lebih dari 4 juta orang sepertiku. Bersaing untuk menjadi sesuatu. Bersaing untuk berbuat sesuatu. Bersaing untuk menang. Pada sebuah dunia yang disebut hidup. Dunia yang kau dan aku sedang jalani.


Bandung, 1 Oktober 2008, 23.29


*) Horizon Terasing, sebuah judul Pameran di Selasar Sunaryo Art Space Bandung
**) bagian dari lirik lagu Sherina dengan judul Better Than Love, album Primadona, 2006

Rabu, 24 September 2008

If It's Really Coming Back To Me Now...

Pada suatu hari yang biasa, aku mendengar sebuah lagu. Lagu yang sering kudengar tapi aku belum tahu siapa penyanyinya. Akan aku tuliskan juga liriknya setelah engkau mau membaca cerita dalam tulisanku ini.

Aku jalani hari-hariku yang terakhir ini dengan perasaan yang biasa. Sangat biasa. Aku hanya jalani saja dan tak berharap lebih apalagi berharap datangnya suatu kejutan. Aku tidak memikirkan itu. Tidak juga farewell party yang menjadi ritual wajib bagi mereka yang akan pergi.

Aku masih mengerjakan semua yang biasa kukerjakan sampai akhirnya aku mendengar lagu ini. Aku ucapkan terima kasih kepada Drs. Google karena akhirnya bisa membantu untuk menemukan siapa penyanyinya. Ternyata Celine Dion, It’s All Coming Back To Me Now.

Semuanya kini kembali kepadaku. Setelah apa yang telah aku selesaikan kemarin. Semuanya telah terjadi untuk beberapa atau bahkan tanpa alasan sekalipun. Tidak ada yang tahu juga pastinya kenapa aku menolak sebuah tawaran yang bisa dibilang juga sebuah kesempatan. Aku sedang tidak ingin membicarakan itu.

Aku ingin bercerita padamu tentang bagaimana perasaanku dengan lagu ini. Dari yang biasa saja kini aku mulai merasa. Merasa semua mulai menjauh. Semua. Bahkan dirimu juga yang entah dimana membaca tulisan ini dan juga entah bersama siapa, aku tidak peduli.

Semua menjauh. Apa ini terjadi karena aku yang membuat jarak padanya? Tidak juga. Apa aku tidak mempunyai ruang dan akhirnya menjadi tidak berarti. Tidak berarti sama sekali. Dan karena itu pula aku mengambil jarak hingga semuanya menjauh?

Jauh dan dekat. Aku rasa perbedaan keduanya sangat dekat. Saking dekatnya malah sangat tipis. Hanya karena ada perasaan saja. Perasaan yang juga kadang menipu. Dimanakah perbedaan keduanya? Adakah batas yang pasti diantara keduanya? Entah kenapa aku menjadi seperti ini. Mungkin aku sedang terbawa perasaanku. Aku khawatir perasaan macam ini pula yang akhirnya akan menipuku.

Aku tuliskan cerita ini pada suatu hari yang biasa. Pada suatu hari yang panas. Pada suatu hari dimana ribuan impian terhampar di kampung halaman. Beberapa teman dan sahabatku telah kembali ke tanah kelahirannya. Kembali pada pelukan ibunda walau sebagian hanya memeluk beliau lewat untaian do’a di atas pusaranya.

Pada suatu hari menjelang akhir Ramadhan ini semuanya terbiasa dengan sesuatu yang juga biasa. Kue Lebaran. Baju baru. Sepatu baru. Mukena baru. Kerudung baru. Aku tidak akan menyebutnya lagi karena tidak ada yang benar-benar baru dalam hidupku yang sekarang ini. Tidak ada juga yang benar-benar baru dari dunia ini karena dunia ini sudah lelah dan bertambah tua.

Benar, tidak ada yang baru dalam hidupku ini. Apalagi yang mau kau tahu? Aku hanyalah seseorang yang biasa dengan pencapaian yang masih biasa. Entah, kalau dimata Tuhan aku yakin sekali kalau aku malah tidak ada artinya. Tidak ada sama sekali. Apa yang sudah aku perbuat agar Dia mampu melihatku dengan berbeda? Aku hanya mampu berbuat larangannya saja yang mungkin membuatnya murka dan mudah sekali untuk mengajakku berenang di kolam yang airnya bersumber dari mata air neraka. Celaka.

Ya, aku tahu aku sekarang sedang menunda. Menundamu untuk segera mendengarkan lagu itu dan memainkannya di iPdd Nano milikmu. Ya, aku tahu itu, engkau sedang berkata segala macam caci-maki agar aku segera berhenti menulis. Ya, aku tahu semuanya. Aku juga tahu engkau sebenarnya masih ingin membaca tulisanku ini sampai ke akhirnya yang selalu membuatmu kadang-kadang tertidur disisiku, dimimpiku, dipelukku, untuk kemudian menghilang.

Aku tidak akan berlama-lama lagi. Aku akan mengakhiri tulisan ini. Aku akan relakan engkau untuk menikmati semuanya ini untuk kemudian tertidur. Aku hanya ingin lihat senyuman bahagiamu. Yang selalu menempel di wajahmu saat kau tertidur. Seakan berkata, aku bahagia sekali.

Celine Dion - It’s All Coming Back to Me Now

There were nights when the wind was so cold
That my body froze in bed
If I just listened to it
Right outside the window

There were days when the sun was so cruel
That all the tears turned to dust
And I just knew my eyes were
Drying up forever

I finished crying in the instant that you left
And I can’t remember where or when or how
And I banished every memory you and I had ever made

But when you touch me like this
And you hold me like that
I just have to admit
That it’s all coming back to me
When I touch you like this
And I hold you like that
It’s so hard to believe but
It’s all coming back to me
(It’s all coming back, it’s all coming back to me now)

There were moments of gold
And there were flashes of light
There were things I’d never do again
But then they’d always seemed right
There were nights of endless pleasure
It was more than any laws allow
Baby Baby

If I kiss you like this
And if you whisper like that
It was lost long ago
But it’s all coming back to me
If you want me like this
And if you need me like that
It was dead long ago
But it’s all coming back to me
It’s so hard to resist
And it’s all coming back to me
I can barely recall
But it’s all coming back to me now

But it’s all coming back

But you were history with the slamming of the door
And I made myself so strong again somehow
And I never wasted any of my time on you since then

But if I touch you like this
And if you kiss me like that
It was so long ago
But it’s all coming back to me
If you touch me like this
And if I kiss you like that
It was gone with the wind
But it’s all coming back to me
(It’s all coming back, it’s all coming back to me now)

There were moments of gold
And there were flashes of light
There were things we’d never do again
But then they’d always seemed right
There were nights of endless pleasure
It was more than all your laws allow
Baby, Baby, Baby

When you touch me like this
And when you hold me like that
It was gone with the wind
But it’s all coming back to me
When you see me like this
And when I see you like that
Then we see what we want to see
All coming back to me
The flesh and the fantasies
All coming back to me
I can barely recall
But it’s all coming back to me now

If you forgive me all this
If I forgive you all that
We forgive and forget
And it’s all coming back to me

(It’s all coming back to me now)
And when you kiss me like this
(It’s all coming back to me now)
And when i touch you like that
(It’s all coming back to me now)
If you do it like this
(It’s all coming back to me now)
And if we …

* * * * *

Begitulah setiap harinya terjadi padaku. Entah saat ini ia sedang ada dimana, bersama siapa, yang selalu tidak pernah aku pedulikan. Aku hanya pedulikan hari ini saja. Kemarin telah berlalu meninggalkanku dalam kesendirian langkah menuju sebuah perpisahan. Esok juga belum tentu tiba dengan segala angan dan harapnya. Aku hanya bisa berdoa agar Malaikat Pencabut Nyawa tidak datang hari ini.


Bukit Pakar Timur 100, 24 September 2008, 13.57

*) teks lagu diambil dari www.letssingit.com

Selasa, 23 September 2008

Catatan Singkat: Perpisahan

Sahabat, aku ingin bertanya padamu. Aku ingin bertanya, perpisahan manakah yang paling berkesan seumur hidupmu? Perpisahan yang bukan sekedar berpisah lantas bertemu kembali. Perpisahan yang tidak selalu harus diiringi isak tangis dan janji untuk kembali. Perpisahan yang tidak selalu dengan lambaian tangan di ujung pelabuhan, terminal, atau stasiun. Perpisahan manakah yang pernah membekas begitu dalam pada hidupmu? Perpisahan semacam apakah yang mampu mengantarkan berjuta kenangan kembali ke pangkuan?

Kenapa perpisahan selalu menjadi tema untuk sebuah akhir? Apakah agar sebuah pertemuan yang dulu terjadi itu jadi lebih berarti? Apakah engkau akan lebih memahami perpisahan setelah engkau mengalami perjumpaan yang begitu hebat? Kenapa akhirnya sulit sekali untuk berpisah? Kenapa malah takut untuk berpisah? Bila memang perpisahan itu akan adanya dan celakanya jadi bagian dari hidup yang masih harus kita jalani.

Kita tidak berpisah di teras St. Carolus*), tidak juga di batas kota ini**) Kita berpisah dengan apa adanya. Keadaan yang sangat wajar untuk kita. Perpisahan ini tak diundang adanya. Tidak juga kau sertakan perpisahan ini dalam salam terakhirmu. Perpisahan ini menyisakan jarak terbentang antara kita. Dari Sibolga hingga Siberia, dari Bandung hingga Bandar Sri Begawan, dari Jakarta hingga Jamaika.

Walau begitu, biar kukenang perpisahan ini. Akan kubuatkan pusaranya disini, ditempat aku menulis perpisahan ini. Hanya sebagai penanda, kalau kita pernah bertemu, akrab dan lengket seperti ketan, lalu berpisah kemudian. Disini. Dalam catatan ini.


Bukit Pakar Timur 100, 23 September 2008, 16.57


*) diambil dari lirik lagu, "...aku berpisah di teras Saint Carolus...", dinyanyikan oleh Rani
**) sebuah lagu dari Tommy J Pisa, Di Batas Kota Ini

Minggu, 21 September 2008

Cerita Pada Suatu Malam

Malam telah turun menggerayangi langit. Perlahan bulan dan bintang menatap sekilas. Masihkah malam bertambah kelam? Malam adalah kehilangan. Kehilangan tentang kekasih, tentang hidup, bahkan cinta. Malam adalah kelambu yang menutupi sebuah ranjang. Mampu menampakkan sebagian walau tak seluruhnya. Malam juga yang membuat tersingkapnya satu sisi kehidupan setiap manusia. Malam adalah persembunyian. Persembunyian bagi seonggok jiwa yang rapuh karena terang telah mengganti hari. Kadang, malam menutupi kesucian dan menampakkan kepalsuan. Segala yang kelihatan suci disaat terang belum tentu bila malam menemaninya. Kau juga tidak pernah tahu tentang malamnya segala entitas di jagad raya ini.

Aku disini menulis tentang malam. Hanya yang aku tahu saja tentang malam. Malam bagiku hanyalah sebuah ruang waktu saja yang sudah menjadi kebiasaan-dan pasti akan tiba. Malam buatku sangat berarti. Aku bangun pada setiap malam dimana malam menampakkan dirinya yang anggun tanpa keangkuhan sedikitpun. Malam adalah bagian dari diriku juga. Seperti engkau yang selalu menunjuk satu bintang di langit kelam*).

Aku bukan seorang penjaga malam, bukan juga wanita malam, atau malah kunang-kunang malam. Aku hanyalah seorang penulis yang menulis di waktu malam. Entah kenapa, setiap malam aku menulis rasanya ada saja yang menemaniku. Aku bisa merasakannya. Aku bisa mendengar suara penyanyi jazz yang melengking. Aku bisa mendengar obrolan para penjaga malam yang rupanya tidak kebagian jatah zakat dan elpiji hari ini. Aku juga bisa mendengar suara tembakau yang dibakar kala mereka mulai mengobrol.

Aku juga sudah terbiasa dengan riuh rendah suara tuts keyboard mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah ataupun skripsinya. Aku bisa dengar teriakan speaker di lantai dugem yang penuh dengan hedonis-hedonis muda. Aku bisa dengar marahnya seorang istri karena suaminya pulang larut malam setelah mabuk-mabukkan dengan rekan sekerjanya. Aku juga bisa mendengar si perempuan itu ketika mulai menangis.


Aku hanya menuliskan cerita ini pada sebuah malam yang biasa. Ramalan cuaca berkata malam ini hujan tidak akan turun. Langit sepertinya masih kelam. Aku masih akan terus menulis hingga engkau terjaga dan bertanya padaku jam berapa sekarang hingga aku dengan sigap akan menyelimutimu kembali sampai engkau kembali tertidur dan mimpi indah. Aku masih menulis. Aku mendengar sebuah lagu.

malam ini tak ingin aku sendiri...
kucari damai bersama bayanganmu...**)

Malam juga bisa berarti kesepian. Kesepian yang tak kunjung padam karena rindu yang terbakar. Kesepian yang selalu berujung rindu. Rindu pada peluk hangat kekasih. Rindu pada belaian sayang Ibu. Pada kerasnya tatapan Bapak. Akankah kesepian selalu seperti itu? Mengapa malam begitu membuat kesepian dan kehilangan menjadi seakan lebih berarti dibandingkan siang. Apa karena semuanya hanya tampak remang saja?

Aku masih menulis dan malam masih terlalu muda. Engkau sekarang masih pulas tertidur dengan rona wajah yang tersenyum. Aku jadi teringat padamu sewaktu masih berada jauh dariku. Aku tak berharap engkau mimpikan aku. Semoga mimpimu indah walau bukan denganku, itu harapku. Dulu engkau pernah jauh dariku hingga malamku berbeda dengan malam di tempatmu. Engkau selalu memaksaku bercerita tentang malam disini sedang disana engkau masih saja tertegun menunggu malam.

Malamku disini masih sama seperti malam-malam yang pernah kita habiskan bersama usai memaksa senja untuk menampakkan keindahannya di pantai itu. Engkau tentu masih ingat kala kita habiskan hari hanya untuk menunggu senja mengganti malam. Engkau juga tentu masih teringat ketika seseorang yang jahil menggunting senja itu dan mengirimkan senja itu pada kekasihnya yang di ujung dunia.

Malam masih menggenangi langit. Aku masih terus menulis tentang malamku. Sementara, engkau masih tersenyum dalam tidurmu. Akankah engkau masih akan terus begini bila suatu saat malam tak lagi seperti malam? Akankah engkau masih bisa tersenyum karena malam telah menyelimutimu? Apakah malam-malam yang terlewati ini masih akan bisa disebut malam? Aku tak mau menjawab atau sekalipun berkomentar.

Mendadak aku teringat pada malam-malamku yang lain. Malam yang kuhabiskan berteman tumpukan buku-buku di rak perpustakaan. Ditemani dengan secangkir kopi kental panas dan rokok buatan Kediri. Aku hanya duduk-duduk saja sementara e-mailku berisi pesan dari Pustakawan dari Sarang Perawat itu. Aku sedang tidak ingin membahasnya. Aku hanya ingin memikirkanmu saja. Kadang aku mengharapkanmu berada di sela-sela tumpukan buku itu. Menyelinap bersembunyi di bawah luna kelam.

Memang benar adanya. Aku pernah merasakan malam membawakan rindu yang rapuh ini padamu. Aku pernah juga mengirimkan rindu itu yang kuhembuskan dalam setiap hembusan asap rokok buatan Kediri itu. Aku hanya bisa mengirimkan itu saja padamu. Aku kirimkan rindu itu lewat angin malam. Bukan lewat kurir atau tukang pos. Entah, apa engkau bisa menerimanya dengan menghirup angin malam yang mungkin mampir ke tempatmu.

Aku belum mengantuk malam ini. Kadang aku berpikir, enak sekali bisa sepertimu. Tertidur kala malam mulai meninggi lantas mulai bermimpi. Sudah lama rasanya aku kehilangan saat-saat itu. Saat-saat aku menemanimu. Saat-saat aku mendekapmu. Saat-saat aku membacakan cerita-cerita tentang malam. Hingga akhirnya, kau mulai tertidur, terlelap, lantas terlihat begitu bahagia dengan senyuman itu. Aku selalu berada disampingmu, menemanimu hingga sampai pada saat ini aku masih selalu menulis cerita. Tepat pada saat malam.

Aku masih belum tahu kapan aku mulai tertidur, sama seperti malam-malam kemarin. Aku masih belum mengantuk. Aku masih akan terus menulis sambil berpikir cerita apa lagi yang akan kutulis untukmu. Cerita yang selalu kutulis dan kuceritakan kembali. Hingga akhirnya kau tertidur dan menampakkan senyum itu lagi. Sebuah senyuman bahagia yang masih sama setiap malamnya.


Bukit Pakar Timur 100, 21 September 2008, 15.59


*) sebuah judul lagu dari Rida Sita Dewi, Satu Bintang di Langit Kelam, album Bertiga, 1996
**) sebuah lagu dari Dian Pisesha, Tak Ingin Sendiri, dinyanyikan pula oleh Hetty Koes Endang

Rabu, 17 September 2008

Catatan Perpisahan untuk Aninda

Hari ini, aku memulai hari pertama untuk bekerja di Perpustakaan yang baru. Sebagai pengganti, tentunya aku akan menempati meja kerjaku yang baru yang sebenarnya tidak terlalu baru juga. Meja itu tentu saja pernah dipakai oleh seorang Pustakawan yang kugantikan. Meja kerjaku masih bersih, lacinya juga kosong. Namun, tidak seperti dulu. Kali ini tidak kulihat sebuah CPU lengkap dengan monitor dan printernya. Mungkin, baru hari pertama siapa tahu besok nanti aku malah dapat laptop kerja. Siapa tahu.

Seperti biasa, aku hanya merasakan duduk di kursi kerja yang baru ini. Sambil sedikit berkhayal bisa menggunakan kursi yang sepertinya sangat empuk punya si Kepala Perpustakaan. Aku masih melamun sampai membuka laci tempat keyboard. Alamak. Kutemukan banyak sekali kertas-kertas penuh catatan. Tagihan listrik, tagihan PDAM, struk belanja Yomart, nota kerja, nota dinas, dan masih banyak lagi tak terkecuali selembar kertas yang terbaring membisu disana. Kertas itu menampilkan sebuah catatan:

Aninda,

Sudah lama sekali aku tidak memberi kabar padamu. Padahal, setiap suratmu selalu berpesan jangan sampai lupa memberi kabar. Ya, begitulah Aninda. Laju deru kota metropolitan telah membuatku lupa. Jangankan sekedar memberi kabar padamu. Berdoa pada Tuhan saja aku lupa. Aku juga tentunya lupa untuk mengingat-ingat siapakah Tuhan yang selalu kusembah itu, karena disini di kota ini segalanya berubah jadi Tuhan. Segalanya berubah menjadi pujaan. Segalanya benar-benar menjadi Tuhan disini. Entah itu harta, kemewahan, fashion, dan gaya hidup. Bahkan kesederhanaan telah menjadi kemewahan itu sendiri. Semua itu terjadi Aninda. Semua itu terjadi. Seperti yang selanjutnya terjadi padaku.

Tadi pagi akhirnya atasanku menanyakan perihal perpanjangan kontrak. Kau tahu sendiri kan kalau kontrakku memang akan berakhir di bulan September ini. September yang tidak selalu ceria. Aku tidak akan berakhir di bulan September. Langkahku masih panjang. Kepak sayapku juga masih kuat untuk sekedar terbang lintas kota.

Memang ini sebuah keputusan yang sulit. Aku kembali dihadapkan pada pilihan. Sama ketika aku akhirnya memilihmu. Memilihmu yang entah memilihku juga. Aku tidak pernah tahu. Padahal, kalau cuma memilih itu gampang sekali. Masalahnya, mungkin kita punya ekspektasi tertentu setelahnya dan belum tentu juga kita siap untuk menerima segala konsekuensinya. Semuanya terjadi untuk suatu alasan.

Aku memang sudah menjawab pertanyaan itu. Sebuah jawaban yang sama dengan jawaban Rafael van der Vaart ketika ditawar oleh Milan tahun 2003 lalu. Selanjutnya, dia minta alasanku. Aku paling tidak suka kalau sudah begini. Aku harus bisa menjelaskan padanya alasan penolakanku itu. Aku bilang, aku masih ingin terbang. Lalu, apa kau masih mau tahu bagaimana reaksi atasanku? Dia lebih sering diam sekarang setelah menanyai aku. Dan dia juga tidak banyak tanya setiap kali kita bekerja bersama.

Aku tidak tahu pastinya kenapa dia selalu terlihat begitu. Beda. Sangat beda sekali. Apakah karena ia menyadari segala kesalahan yang telah dilakukannya padaku? Apakah ia juga merasakan hal yang sama, membuatku terabaikan dan terlupakan? Apakah dia menyesali semua tanggung jawab yang dia ambil dariku? Harusnya, seperti itu. Sudah seharusnya dia punya pikiran seperti itu dan memang seharusnya dia punya perasaan seperti itu.

Aku rasa ini adalah suatu kewajaran dan memang akan jadi sebuah kemestian. Rasanya aku pernah mengirim surat padamu tentang perasaanku ketika dengan mudahnya aku terabaikan dan pada akhirnya benar-benar terlupakan. Aku terabaikan dan terlupakan bagai debu yang menyapu musafir padang pasir. Aku terabaikan bagai Fabio Capello yang tak sempat berpesta setelah Real Madrid juara 2 tahun yang lalu. Aku juga terlupakan bagai Fernando Hierro yang dipecat usai Real Madrid juara 6 tahun yang lalu.

Aninda, aku memang terabaikan dan terlupakan. Bukan kedua hal itulah yang akhirnya memaksaku untuk pergi dari tempat ini, tempat dimana aku pernah merindukanmu. Aku ambil keputusan ini untuk kebaikan aku dan engkau. Aku masih ingin terbang. Aku memang bukan pilot tapi masih banyak lagi yang harus kucari di dunia ini untuk kebahagiaan kita bersama.

Aku tuliskan catatan ini di suatu malam penghabisan. Malam adalah kehilangan. Dan kehilangan sendiri bagian dari hidup itu sendiri. Yang sedang aku dan engkau jalani saat ini. Aku tuliskan catatan ini di suatu malam terakhir. Aku tuliskan catatan ini di sebuah laptop yang entah esok hari menjadi milik siapa. Aku tuliskan catatan ini sebagai tanda bahwa aku tidak melupakan engkau. Mudah-mudahan, catatan ini juga menjadi penanda untukku, untuk kembali mencari Tuhanku yang sempat terabaikan dan terlupakan.

Aninda, yang masih setia membaca tulisan ini entah dengan perasaan yang bagaimana, aku hanya berharap bahwa engkau masih setia disana. Selalu menungguku dan hanya menungguku walau kadang aku melupakanmu. Aninda, segera setelah aku landing di bandar udara yang baru, aku akan segera mengabarimu. Kabar yang mungkin menjadi tanda kalau kepak sayapku masih cukup kuat untuk terbang dan mungkin juga jadi penanda kalau aku tidak melenceng nyasar dan mendarat di tempat yang salah.


Salam dari Bukit,

P.S: catatan perpisahan untuk Aninda

* * * * *


Aku tidak banyak berkata dan hampir tidak bisa berpikir lagi. Yang seperti ini pernah juga aku alami. Sama seperti si "aku" dalam catatan ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Catatan ini akan aku simpan. Siapa tahu, penggantiku nanti mengalami nasib dan kejadian yang sama.


Bukit Pakar Timur 100, 17 September 2008, 14.45

Selasa, 16 September 2008

Sore Mencatat Wajah

Hari mulai beranjak sore. Burung camar terbang merendah di tepi pantai. Penumpang bis kota berebut naik. Matahari mulai enggan nampak karena senja datang menghadang. Pegawai kantoran bubaran. Ia masih disitu. Ditemani angin yang berhembus pelan. Sepelan langkahnya yang gontai.

Dalam kesehariannya, tidak pernah ada sesuatu yang biasa terjadi padanya. Semuanya terjadi tiba-tiba. Tanpa tanda, tanpa klakson, tanpa peluit. Ia hanya diam saja. Entah dianggap kejutan atau malah cuma kebiasaan saja. Ia masih berjalan pelan. Berharap semua dalam hidupnya adalah kejutan. Seperti Sebastian Vettel yang mematahkan rekor Fernando Alonso dalam hujan lebat di Monza, Italia sana.

Di kehidupannya yang sekarang terlalu banyak sesuatu yang bisa dibilang kejutan. Apakah kejutan itu. Kejutan. Keju campur ketan? Kemana engkau melaju teman? Kalau memang kejutan itu memang takdirnya mengapa ia selalu bertanya, "Apakah kejutan itu?". Apakah karena tak pernah terduga sebelumnya, maka sesuatu pun layak disebut kejutan?

* * * * *

Telepon meja berbunyi, bicara tentang after office hours. Waktu masih merambat menjelang senja. Apalagi yang masih harus dikerjakannya? Apalagi? Semua pekerjaan telah diselesaikannya. Matanya memerah. Bibirnya kaku. Jantungnya mulai menghela nafas. Ditariknya nafas dalam-dalam. Ditatapnya dalam-dalam wajah itu.

Wajah penuh tanya. Entah, adakah cinta disana? Mengapa harus wajah itu yang dia tatap sampai dalam-dalam? Mengapa? Sedang wajah-wajah lain mulai mengisi hidupnya yang masih kosong bagai jerigen minyak tanah dirumahnya. Wajah-wajah yang hanya bisa menatapnya sekilas untuk kemudian berlalu tanpa kesan khusus.

Walau tanpa kesan, ia masih ingat semuanya. Ia ingat bagaimana senyuman sesosok wajah kuning langsat itu padanya kala bertemu di lobby hotel tadi pagi. Ia ingat bagaimana wajah yang pemalu itu memintanya untuk sekedar memberi "ruang" lebih di dalam lift yang penuh sesak setiap harinya. Ia ingat bagaimana wajah riang seorang sales yang baru saja dipecat karena kehilangan kliennya.

Begitu banyak wajah yang telah ia lihat. Beribu wajah telah menatapnya. Beribu kesan melintas. Hanya jadi deru campur debu*).


Bukit Pakar Timur 100, 16 September 2008, 17.08


*) sebuah judul kumpulan puisi Chairil Anwar, Deru Campur Debu

Minggu, 14 September 2008

Where are you my fren? - Catatan Seorang CSO

Dalam pekerjaanku yang cuma penerima keluhan lewat telepon atau bahasa kerennya Costumer Service Officer, sejak Jum'at malam kemarin aku menerima banyak sekali keluhan bernada sinis hanya karena sebuah catatan yang biasa terbit di akhir pekan. Catatan Akhir Pekan. Begitulah judul catatan yang rutin mengisi setiap kotak masuk elektronik anggota sebuah mailing list. Menjelang akhir pekan ini, Catatan Akhir Pekan itu belum terlihat batang hidungnya di mailing list. Aneh. Tidak seperti biasanya.

Baru sekali aku mendapati hal yang seperti ini. Aneh sekali,biasanya mereka selalu menghubungiku kalau-kalau koneksi internet mereka lambat sekali sehingga terlambat membaca e-mail yang masuk. Hwarakadah. Setiap detik setiap menit bisa kulihat antrian telepon masuk dari Queue Monitor yang "ngajeblag" tepat dihadapanku.

Weekend ini aku bertugas sendirian saja dengan nada telepon yang terus menerus berteriak minta diangkat. Kemana perginya si penulis Catatan Akhir Pekan itu? Apakah ia kembali ke pertapaannya di Lembah Mandalawangi? Atau sedang dalam perjalanan menuju sebuah Pantai Impian? Lagipula, masihkah berarti sebuah catatan? Catatan yang hanya ditulis oleh seorang pustakawan belaka. Apakah catatan akhir pekan itu mempunyai arti dan makna yang lebih dahsyat dari Catatan Pinggirnya Goenawan Muhammad?

Telepon masih saja terus berteriak semakin lantang. Aku hanya mendiamkannya saja sambil menulis catatan ini. Karena aku masih berpuasa, aku tidak ingin memiliki sedikitpun pikiran negatif pada si penulis catatan itu. Catatan itu telah terbit beberapa kali namun belum tentu juga seseorang membacanya sampai tamat. Barangkali ia sedang bosan menulis catatan, pikirku.


Bukit Pakar Timur 100, 14-9-08, 16.05

NB: Teruntuk seorang penulis Catatan Akhir Pekan

Ada Lagi Yang Jatuh - Catatan Seorang Reporter

Siang ini aku mengantuk sekali. Memang, tadi malam aku tidur terlambat dari biasanya. Bukan karena deadline untuk headline koran terbitan besok. Aku masih berkutat untuk menyelesaikan teks dan beberapa kumpulan catatan dari reportase tadi siang. Ingin sekali aku bekerja tanpa seorang pun yang mengganggu. Tapi, kalau bukan karena seorang perempuan yang memintaku untuk sekedar menemaninya ngobrol tentu aku belum tentu mau. Perempuan itu kini telah meninggalkan kotanya. Kini dia berada di ibukota sana lengkap dengan segala impian kosmopolitan.

Banyak sekali yang kita bicarakan. Aku tahu dia sedang membutuhkan teman untuk sekedar sharing. Mungkin karena beban kerjanya yang sedikit mulai mengendur karena malam ini adalah malamnya kaum pekerja. Malam minggu. Karena esok harinya dia tidak akan berpuasa, dan akan bangun siang. Ya, aku kira memang tidak berlebihan bila semua orang memang butuh untuk berbagi. Berbagi beban, berbagi cerita, berbagi keluhan, berbagi suami*), atau bahkan berbagi istri. Semuanya bisa terjadi begitu saja di dunia yang kadang-kadang menampakkan kepalsuannya. Aku terkejut karena dia tiba-tiba memintaku untuk jadi teman ngobrolnya. Sebenarnya, aku sudah mengantuk tapi kejutan yang dibuat Sebastian Vettel di Monza Italia dengan menjadi pole position untuk balapan hari ini membuat mataku terbuka kembali.

Hanya dengan mobil F1 biasa kelas medioker yang dipersenjatai mesin Ferrari yang juga sama dengan mesinnya Raikkonen ditambah sedikit keberuntungan karena hujan yang terus menurus membasahi jalanan sirkuit membuat banyak pembalap sedikit tak bernyali. Ini baru kejutan. Sepengetahuanku, kejutan di Formula 1 kini mulai langka sejak F1 kehilangan penontonnya karena didominasi terus oleh Michael Schumacher. Kini, setelah si penunggang kuda merah itu pensiun rasanya F1 masih layak ditonton untuk sebuah kejutan. Well, let's see what happened next.

Aku mengantuk sekali sampai datang sebuah laporan.

14/09/2008, 13.43
Boeing 737 Meledak di Rusia

Pesawat Boeing 737 mengalami kecelakaan di dekat kota Perm, Rusia. 88 orang tewas seketika. Pesawat itu jatuh dan meledak di pegunungan Ural**).

Ada lagi yang jatuh rupanya. Masih dengan pesawat yang juga sering jatuh di negeri ini. Boeing 737. Memang tidak terlalu spesifik, apakah tipe 737-200, 300, atau 900ER seperti yang dipakai Lion Air. Ini berarti aku harus membuat sebuah reportase berita. Dengan pekerjaanku yang sekarang aku harus biasa bekerja secara mandiri. Dimanapun aku menerima laporan seperti ini aku harus segera membuat beritanya.

Aku juga masih belum tahu, apa aku harus segera terbang ke Rusia sana untuk membuat reportase selengkap-lengkapnya atau hanya berselancar menjelajahi setiap situs berita, atau malah melakukan korespondensi dengan agen-agen yang disebar ke Eropa sana. Apa pun yang akan kulakukan biar aku saja yang menentukannya segera setelah menulis catatan ini.


Bukit Pakar Timur, 14 September 2008, 16.41


*) judul sebuah film Indonesia, "Berbagi Suami"
**) berita diakses dari www.detik.com, 14 September 2008, 15.32
http://foto.detik.com/readfoto/2008/09/14/134337/1005839/157/1/boeing-737-meledak-di-rusia

Sabtu, 13 September 2008

Kalau Supir Boleh Mimpi - Catatan Seorang Supir

Perjalanan adalah petualangan. Petualangan ke dalam diri sendiri. Petualangan dengan alam. Perjalanan telah membawaku pada kehidupanku yang sekarang. Aku hanya seorang supir yang jalan atas perintah dari majikan. Kemana pun dia mau pergi, aku harus mau dan ikut saja dengannya. Tidak boleh bilang tidak. Aku dibayar hanya untuk menyetir dan hanya untuk itu saja. Jadi, aku tidak terlalu pusing dengan urusan majikanku yang kadang minta diturunkan di sebuah rumah mewah atau juga di sebuah hotel mewah di pusat kota. Aku juga tidak keberatan bila kadang-kadang majikanku membawa entah rekan kerja, partner bisnis, atau bahkan selingkuhannya sekalipun. Aku tidak peduli. Aku hanya seorang supir dan menyupir adalah pekerjaanku.

Dengan pekerjaanku ini aku hanya tahu melihat ke depan saja sambil sesekali melirik kiri-kanan melihat senja di kaca spion*). Walau begitu, aku juga tahu semua yang terjadi di jok belakang. Aku bisa tahu semuanya itu kala melihat ke kaca spion yang menggantung. Rasanya aku tidak perlu ceritakan kepadamu semua yang terjadi disana. Aku tidak perlu berkomentar bila majikanku melakukan sesuatu yang tidak pantas kusebutkan disini. Aku juga tidak perlu mengingatkan majikanku kalau ia sudah bersuami. Kasihan pikirku. Dia seorang perempuan yang kesepian. Suaminya tidak pernah ada dirumah. Jadi, kalau ada sesuatu yang dia lakukan disitu bersama entah lelaki dari mana, aku hanya bisa membiarkannya saja. Lagipula, itu memang bukan urusanku.

Walau terkesan rendahan dan tidak punya kebebasan aku menikmati sekali pekerjaanku ini. Aku bisa mengendarai sebuah mobil mewah dengan tidak perlu memikirkan sekalipun tentang bagaimana caranya mencari uang untuk beli bensin dan sekedar mampir untuk tune-up di bengkel resmi atau sekali-kali merawat mobil untuk pedicure dan manicure di salon. Jika butuh sesuatu, memang sudah ada anggarannya. Rupanya, majikanku itu sudah cukup mengerti. Dia membekaliku dengan handphone GPS terbaru dari Nokia juga laptop Lenovo yang bisa jadi temanku kala bersantai di kafe sambil menunggu majikanku itu.

Aku memang hanya seorang supir biasa. Sama seperti supir-supir lainnya yang selalu ditinggalkan di basement parkir kala majikannya berbelanja, selalu diam di mobil sambil membaca koran setiap menunggu majikannya selesai fitness, dan selalu membahas bagaimana kelakuan ngebutnya para supir yang mobilnya berplat merah setiap kali masuk tol. Aku masih merokok 234, sama seperti mereka. Aku masih jadi bagian dari mereka walau tanpa ikatan asosiasi profesi. Jadi, apalagi yang harus aku sesali. Tidak ada. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin aku bisa menulis cerita ini untukmu.

*****

Pernah suatu kali aku punya keinginan untuk berhenti jadi supir pribadi. Aku ingin jadi supir bus penakluk Pantura. Aku ingin jadi supir bus yang kelakuannya bak Michael Schumacher dan Mika Hakkinen yang kejar-kejaran di Spa-Franchorchamps, Belgia 8 tahun yang lalu. Aku rasa dengan menyupir bus impianku lengkap sudah. Aku masih ingin menjelajahi luasnya dunia ini. Tapi, kalaupun benar kejadian, aku tidak ingin membawa bus penumpang.

Aku inginkan sebuah bus yang hanya punya 2 tempat duduk saja. Supir dan Kondektur saja. Sisanya, interior yang tersisa itu akan kusulap menjadi sebuah perpustakaan. Sebuah perpustakaan yang mobile. Dan, semuanya itu mungkin saja, karena ruangan bus masih cukup untuk diisi lemari dan meja baca. Juga untuk menyimpan barang 2 unit CPU, itu sudah cukup. Begitulah keinginanku sehingga ketika aku singgah di anak benua manapun aku bisa menyebarkan pengetahuan pada setiap orang disana.

Seorang kondektur yang juga pustakawan itu tentu akan selalu menemaniku kemanapun bus ini melaju. Dari Jakarta ke Jamaika. Dari Madura ke Madrid. Dari Bandung ke Bandar Sri Begawan. Dari Pantura ke Pantai Gading. Aku ingin lihat bagaimana seorang anak di daerah yang kekurangan gizi di NTT sana bisa berbahagia dengan sebuah buku komik. Lalu, betapa senangnya perasaan anak-anak di pedalaman Cikelet sana yang bisa menikmati tulisan buah karya Abdurahman Faiz yang sebaya dengan mereka.

Dengan selalu membawa buku-buku itu aku harap akan terjadi perubahan di negeriku ini. Sebuah negeri yang resminya sudah bebas dari buta aksara yang justru masyarakatnya lebih senang dengan budaya menonton. Ironis sekali. Maka aku tidak heran bila ada Menteri dan Anggota DPR yang salah membaca draf RUU Migas dan dengan segera menandatangani perubahaan RUU jadi UU itu. Akibatnya, negeri kami hanya diizinkan untuk mengelola 25% saja dari total seluruh produksi migas dalam negeri.

Mudah-mudahan keinginanku ini tidak mendapat tentangan dari Depdiknas dan Perpusnas. Karena, bagaimana pun seharusnya itu menjadi tanggung jawab mereka. Kalau mereka memperingatkanku, minimal dengan mengeluarkan himbauan atau cuma surat teguran itu akan kuanggap sebagai angin lalu saja. Itu mereka lakukan untuk menutupi kesalahan dan kekurangan yang seharusnya memang jadi tanggung jawab mereka. Aku tidak perlu khawatir tentang itu karena bagaimana pun aku melakukan sesuatu yang berguna. Aku jadi jembatan yang menghubungkan rendahnya minat baca masyarakat dengan ketersediaan bahan bacaan. Aku juga tidak akan mengandalkan dana bantuan dari pemerintah-kalau memang ada. Tabungan pensiun dari pekerjaan supir pribadi kemarin tentu cukup untuk membeli sebuah bis dan menambah koleksi buku di perpustakaan berjalan ini.

*****

Ah, itu majikanku sudah pulang. Masih dengan lipstik merah menyala yang bisa membuat semua lelaki pasti bergetar melihatnya. Kali ini ia terlihat sendirian keluar dari lobby hotel. Dari senyumnya aku bisa tahu kalau dia sedang bahagia sekali.


Bukit Pakar Timur 100, 13 September 2008, 14.50


*) Sebuah judul cerpen Seno Gumira Ajidarma, Senja di Kaca Spion dalam buku kumpulan cerpen "Linguae", Gramedia Pustaka Utama, 2007

Jumat, 12 September 2008

Selendang Air Batal Terbang - Catatan Seorang Pilot

Kabar yang tiba pagi ini dari sebuah harian ibukota memang membuat perasaanku sedikit lega. Beginilah ceritanya.

*****

Larangan Terbang dan Pembatalan Keberangkatan Tujuan Negeri Kabut

JAKARTA, KEMPES (12/9) - Dengan masih diberlakukannya larangan terbang untuk airline Indonesia ke Uni Eropa maka Indonesia telah kehilangan potensi pemasukan dari sektor pariwisata. Namun, hal ini tidak menjadi masalah bagi Selendang Corporation, holding company dari Selendang Air yang berbasis di Bandung dan Singapura. Selendang Air kini mengoperasikan hanya 1 unit pesawat jenis Boeing 777-228ER yang berada di Singapura untuk penerbangan internasional dan 1 unit Boeing 737-200 untuk penerbangan domestik antar kota. Ketika ditanyai mengenai jumlah armadanya itu, Aninda, GM Corporate Communication Selendang Air hanya mengatakan bahwa mereka sedang menunggu kedatangan 2 unit pesawat baru jenis BAe 146 Learjet dan Airbus A380. "Larangan ini jelas bukan masalah bagi kami karena kami masih bisa terbang ke Eropa sana dengan menggunakan bendera Singapura. Ini bukan masalah nasionalisme, ini murni bisnis semata." seperti yang diungkapkan oleh Selendang Merah, CEO Selendang Corporation (SLEC). Hal ini diungkapkannya dalam acara press conference "Negeri Kabut: Delayed" kemarin di Selendang Grand Hotel. Pembatalan ini terpaksa dilakukan oleh SLEC karena peringatan dari Departemen Transportasi dan Departemen Pariwisata Negeri Kabut. Hampir semua calon penumpang mengaku tidak keberatan atas pembatalan ini karena mereka telah mendapatkan penjelasan yang sedetail mungkin dari SLEC dan pengembalian penuh (refund) telah dilakukan. "Yang jelas dengan pembatalan ini kami masih punya waktu untuk mempersiapkan lebaran tahun ini" jelas Johnny, seorang Pengusaha yang batal berangkat ke Negeri Kabut.

*****

Aku hanya terdiam sebentar untuk melanjutkan bacaanku sambil berpikir. Aneh sekali tulisan itu. Fokus tulisan itu kemana? Apakah imbas larangan terbang mempengaruhi kinerja Selendang Air atau malah konferensi pers tentang pembatalan pemberangkatan ke Negeri Kabut.

Yang pasti dengan adanya berita itu aku masih bisa santai. Betul apa kata si Pengusaha itu. Aku jadi punya banyak waktu untuk menyiapkan lebaran tahun ini. Aku juga masih belum tahu apa aku akan jadi berlebaran karena belum ada pengumuman resminya kapan mulai libur dan yang paling penting adalah kapan THR akan dibagikan. Di hari puasa yang ke-12 ini aku masih bisa santai. Sambil tetap mempersiapkan diri untuk terbang. Boeing 777 yang baru itu masih dalam proses final check untuk dibawa ke Indonesia.

Setidaknya, jadwal ujicoba pesawat baru sudah keluar. Madura-Madrid, Jakarta-Jepara, Bandung-Bandar Seri Begawan, dan Malang-Maladewa. Aku malah bingung, ini jadwal terbang pesawat atau apa. Aku sedang tidak ingin memikirkannya. Aku hanya ingin memikirkan dia.

Terlepas dari berita yang kubaca ini. Aku bertemu dengannya kemarin. Aku pernah cerita tentang dia kan? Yang dulu pernah kuajak dangdutan di Gasibu. Aku bertemu lagi dengannya. Namun kini dia tidak lagi sebagai pramugari. Sejak dia resign dari Selendang Air, aku tidak tahu lagi kemana jejaknya. Namun, kemarin dia terlihat berbeda walau masih dengan lipstik merah menggoda. Dari Nicole Kidman sampai Nicole Richie belum pernah aku lihat yang seperti dia. Aku hanya mengamatinya sekilas dari jauh tanpa menyapanya. Aku ikuti dia hingga ke parkiran. Sudah ada lelaki yang menunggunya. Siapa dia? Aku sedikit terkejut. Hah, yang kaya begini ini sudah sering kurasakan jadi aku tinggalkan saja dia. Dan tiba-tiba saja, sekarang, keesokan harinya, aku ingin memikirkan dia.

Apakah aku mulai terbakar api cemburu yang dahsyatnya bagai api yang membakar Alengka*)? Aku rasa tidak, mungkin saja lelaki itu hanya supirnya yang selalu menunggunya. Berarti, hebat sekali dia, sudah jadi apa dia sekarang? Atau mungkin saja seseorang telah menjemputnya dan janjian bertemu di parkiran? Masuk akal. Atau? Ahhhh, Kalau sudah begini pasti masih banyak atau yang lain. Entah mengapa aku tiba-tiba begini. Padahal, dia sudah lenyap dan berlalu dari hidupku. Aku tidak akan banyak bertanya lagi. Aku hanya ingin diam dan sendiri sambil melanjutkan tidurku.


Bukit Pakar Timur 100, 12 September 2008, 16.55


*) dari cerita wayang Ramayana, bagian Hanoman Membakar Alengka

Kamis, 11 September 2008

Budaya Instan di Dunia Kita - Catatan Seorang Pegawai

Mbak, anda pasti tahu kan kenapa suasana di kantor setiap jam 8 pagi tiba-tiba langsung sepi. Kenapa tiba-tiba teman sebelah meja anda hanya terdiam dan terpaku begitu ketemu komputernya, jarinya terus mengetik sambil kadang tersenyum. Anda heran kalau tiba-tiba begitu? Waktu jalan sebelum masuk ruangan masing-masing rasanya semua masih mengobrol, entah membicarakan gosip yang ditambah resensi tempat buka puasa paling enak atau membahas soal pekerjaan? Saya yakin anda tidak melakukan itu, Mbak. Saya yakin itu.

Begitulah rupanya rutinitas di kantor anda, setidaknya dari yang saya perhatikan akhir-akhir ini. Seringkali saya melihat teman-teman Mbak kelihatan begitu sibuk. Seakan-akan memang banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya bisa lihat itu dari suara jari-jari yang mengetik keyboard Logitech itu. Belum lagi, wajah-wajah mereka yang tampak serius sekali sambil kadang-kadang sedikit tersungging senyumnya.

Saya begitu heran Mbak melihat semua itu. Masalah pekerjaan, pekerjaan macam apa sih yang menghabiskan banyak waktu untuk mengetik? Kantor anda bukan rental pengetikan dan bukan juga tempat orang mengantri untuk bikin surat kelakuan baik kan? Tapi mengapa kok ramai sekali oleh suara keyboard yang kalau saya boleh beri judul "simfoni keyboard #5".

Mbak, kalau bukan anda sendiri yang bilang sama saya, mungkin saya sekarang masih penasaran. Ternyata persoalannya ada pada software instant messaging buatan Yahoo itu ya. Masuk akal. Memang untuk beberapa alasan termasuk etika kerja di kantor, lebih baik menggunakan fasilitas instant messaging kalau hanya untuk sekedar bertanya pada rekan di ruangan sebelah. Lebih enak, feedbacknya langsung, dan yang penting tidak mengganggu orang lain. Bayangkan kalau anda menggunakan line telepon dan ada telepon dari klien untuk anda, bisa jadi masalah baru kan? Belum lagi kalau memang keluar pulsa, berapa uang yang harus dikeluarkan perusahaan untuk semua itu. E-mail. Itu juga memakan waktu, setidaknya ada feedback yang tertunda. Belum tentu juga semua rekan anda itu bisa menggunakan fasilitas e-mail.

Instant messaging. Instant messaging atas nama efisiensi, efektivitas, dan etika kerja. Rupanya, budaya instan masih enggan untuk pergi dari dunia kita, Mbak. Zaman sekarang apalagi untuk anda yang tinggal di ibukota yang katanya metropolitan itu semuanya kalau bisa harus serba instan. Semuanya. Tidak terkecuali. Mau apa tinggal pesan kalau perlu dibeli saja sekalian yang penting cepat dan praktis, begitu anda ucap kata kuncinya, abrakadabra semuanya tumplek blek ada dihadapan anda.

Memang dengan adanya fasilitas itu arus komunikasi bisa jadi lebih efektif dan efisien dengan catatan: selama yang berhubungan dengan pekerjaan. Masalahnya, dalam dunia kita yang serba instan ini apa saja bisa menjadi bahan pembicaraan. Apakah Mbak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti blazer lengkap dengan selendang warna merahnya dan juga lipstik warna merah menyala yang selalu Mbak pakai bisa jadi bahan omongan teman-teman yang lain, tentu saja di IM mereka masing-masing. Masih ada lagi yang bisa mereka bicarakan tentang Mbak.

Tentang wangi parfum yang menggoda, tentang sepatu hak tinggi yang selalu bersuara tak tik tuk, tentang celana dalam buatan Victoria's Secret, tentang lingerie yang Mbak beli di La Senza, dan mungkin saja tentang bra yang anda kenakan hari ini yang tentu buatan dari Victoria's Secret juga, semua itu bisa saja tidak luput dari pembicaraan. Lalu, ketika salah seorang teman melihat Mbak sedang makan malam bersama teman Mbak yang pustakawan itu di sebuah restoran mewah dari daerah selatan ibukota dan tiba-tiba saja dengan cepat menjadi gosip di kantor hanya karena teman anda itu memotret anda lewat kamera handphonenya mirip paparazzi. Apakah itu kelakuan seorang teman? Masih layakkah dia disebut teman?

Mbak, anda bisa saja menyangkal semua itu, tapi ketika gosip itu menyebar sebegitu cepatnya dan menjadi pendapat umum, anda mau apa? Anda jawab Ya, berarti anda memang mengakui anda memiliki hubungan spesial dengan si pustakawan itu. Bilang Tidak, berarti anda di cap sebagai orang yang munafik, celakanya oleh rekan-rekan di kantor anda. Ini bisa berbahaya buat kredibilitas anda kan? Kalau saja tiba-tiba ada rekan anda yang ngegosip bareng klien, itu bisa jadi pukulan telak buat anda. Image, Mbak. Image anda akan rusak hanya karena isu-isu yang belum tentu jelas tapi terlanjur matang jadi gosip.

Apa yang mau anda buat kalau sudah sampai pada situasi seperti itu? Ah, rasanya itu tidak mungkin kan Mbak? Saya rasa kebijakan di kantor anda untuk mengembalikan semua pada fungsi dan tempatnya telah berjalan dengan baik, bahkan sangat baik. Sehingga, anda tidak perlu khawatir kalau ada kabar-kabar angin yang berseliweran mampir di IM anda. Saya hanya mengingatkan saja supaya anda selalu berhati-hati. Terutama dengan siapa lawan bicara anda. Bila ada obrolan yang sudah menjurus dan mulai mencurigakan, segera tinggalkan. Karena seperti perang di Kosovo, saya, anda, dan mereka, tidak pernah akan tahu siapa kawan dan siapa lawan kita yang sebenarnya-selain setan- di dunia yang serba instan ini.


Salam dari Bukit,


Bukit Pakar Timur 100, 11 September 2008, 16.35



Rabu, 10 September 2008

Celoteh Tukang Cerita

Bung, sudah lama rasanya saya tidak menulis lagi disini. Saya tahu anda merindukan tulisan saya Bung yang entah anda anggap sebagai warning, refleksi atau malah hanya catatan omong kosong saja yang tidak akan pernah mungkin jadi bahan anda buat sekedar berkontemplasi. Kalau bukan SMS yang anda kirim tadi malam rasanya saya tidak terlalu perlu untuk menulis catatan ini. Catatan ini saya tulis sembari membaca juga blog dari teman kita yang dulunya penyanyi trio itu dan baru saja lusa kemarin malam keputusan cerainya dikeluarkan sama Pengadilan.

Tidak perlu saya ceritakan siapa dia, Bung juga pasti tahu dan kenal karena saya tahu Bung mempunyai buku-bukunya yang bercerita tentang bintang jatuh dan beberapa cerita tentang kopi. Kini, sembari menulis Mbak ini juga mulai menyanyi lagi tapi nggak bareng sama grupnya yang dulu. Kalau sedikit flashback, konon grup RSD itu dulu bubarnya karena si Mbak ini mengundurkan diri, nah saya pikir grup ini bakal masih nyanyi dan manggung dengan nama baru "Rida Sita Ijah". Ternyata tidak Bung, jalan perpisahan adalah jalan mereka dan kini masing-masing dari mereka juga menapaki hidupnya masing-masing. Yang satu jadi penyiar radio swasta di ibukota sana, yang satu mungkin jadi ibu rumah tangga, dan yang satu lagi, Mbak yang ini yang sedang saya ceritakan disini jadi penulis dan penyanyi dengan status yang tak lagi bersuami.

Begitulah hidup, saya tidak tahu banyak tentangnya, begitu juga dengan si Mbak, saya cuma kenal dan tahu lagunya saja. Memang dia belum kehilangan sentuhannya. Baik dari tulisan ataupun lagu ciptaannya. Namun saya tidak akan membahas itu Bung. Ini cuma pembukaan saja untuk mengingatkan anda siapa tahu anda mau mampir ke blognya. Kalau anda nanti mampir kesana, anda pasti menemukan alasan kenapa lagu My Heart Will Go On dari Tante Celine Dion itu memang layak jadi soundtrack film yang katanya banyak cinta disana.

Gelang warna. Ada apa dengan gelang warna? Apakah cahayanya lebih indah dan berkilau dari senja yang berpendar keemasan? Apakah pesonanya lebih berarti dari kilauan selendang warna? Apakah karena gelang warna lebih mudah dikenakan dibandingkan dengan selendang warna?

Bung, anda tahu kan perempuan yang selalu mengenakan gelang warna itu? Perempuan yang bersekolah di sekolah internasional nomor wahid di kota kita tercinta ini. Tadi, dia juga mengenakan gelang warnanya. Gelang warna yang tampak indah terpasang di lengan kanannya. Lagi-lagi hidup mempertemukan saya dengan perempuan itu. Tapi saya tidak akan bercerita banyak tentangnya. Apalagi yang harus saya ceritakan dari pertemuan yang cuma sekilas itu. Bagai kilat yang menyambar tower BTS di kantor anda itu.

Begini Bung, apakah anda benar-benar menginginkan saya bercerita. Terus terang, sampai catatan ini ditulis saya masih belum tahu akan bercerita tentang apa. Saya benar-benar tidak ada ide. Apa Bung mau mendengarkan cerita saya tentang seorang perempuan yang harus mengubur kenangan 6 tahun bersama kekasihnya? Tentang seorang perempuan yang hanya tinggal di rumahnya tapi skripsinya bisa selesai? Tentang seorang lelaki yang hanya bisa bercerita kala berhadapan dengan laptop? Tentang seorang tukang kayu yang gajinya lebih besar dari pustakawan? Atau tentang seorang lelaki yang telah membunuh harapannya sendiri?

Apalagi yang akan kuceritakan padamu Bung? Saya memang hanya seorang tukang cerita yang berharap suatu saat jadi penulis. Saya menceritakan apa saja yang saya tahu tentang sesuatu, malah kalau perlu yang tidak pernah saya tahu sekalian saya jadikan cerita biar terkesan kalau memang cerita itu benar adanya.

Kalau anda memang benar menginginkan sebuah cerita apalagi yang berbau tragedi rumah tangga mungkin ada baiknya kalau anda mampir lah barang sebentar ke blognya si Mbak. Mungkin anda temukan pencerahan disana, tentang fakta yang bisa dibuat seenaknya oleh wartawan gosip, tentang lagunya Iwan Fals yang lebih bermakna dari lagunya Tante Celine, dan tentang seorang teman yang dijadikan "kambing hitam". Semuanya terjadi dalam dunia kita Bung. Dunia yang membuat kita merasa perlu untuk hidup.

Salam dari Bukit,


Bukit Pakar Timur 100, 10 September 2008, 15.35

NB: Anda masih puasa kan Bung? Buka sama apa hari ini, BTW design blog saya sama dengan punya si Mbak

Minggu, 07 September 2008

Tentang Seorang Kawan yang Pustakawan

Membaca satu blog dari seorang rekan yang pustakawan dari bukit itu rasanya ada yang bisa dijadikan sebagai sebuah perenungan. Dalam blognya itu, ada beberapa tag yang memang menjadi pilihan hidupnya. Hidup, pustakawan, perpustakaan, dan Seno Gumira Ajidarma. Sejauh saya mengenalnya semua itu memang menjadi pilihannya. Entah kebetulan atau memang karena takdir, dia sampai juga pada fase hidupnya yang sekarang. Dia memang menikmati keadaanya itu. Sampai kami terakhir bertemu, dia masih terlihat menikmatinya.

Aku mengenalnya dari seorang teman yang mengirim e-mail. Teman itu menyuruhku untuk membuka sebuah alamat blog, persis seperti yang sedang kau baca saat ini. Sejak itulah perkenalanku dimulai. Rupanya memang benar. Hidup, pustakawan, perpustakaan dan Seno Gumira Ajidarma telah menjadi satu dari sekian kepingan yang menyusun hidupnya. Dia hidup di dalam dunia dengan profesi sebagai pustakawan yang tentu saja mengurus sebuah perpustakaan khusus di Bukit itu. Adapun Seno Gumira Ajidarma (mungkin) hanyalah seorang penulis yang sering dibacanya. Dalam setiap tulisannya, aku banyak sekali membaca catatan kaki yang merujuk pada buku-buku penulis itu. Apakah memang hidupnya hanya berkutat diseputaran tag-tag itu?

Memang, kuakui penulis itu setidaknya telah membentuk suatu sikap dalam berpikir padanya. Aku mengakuinya karena aku pernah sekali berdiskusi dengannya tentang dunia ini dilihat dari sisi filsafat. Kemampuan filsafat kami terbatas. Kami mengenal filsafat hanya karena waktu kuliah dulu mengikuti mata kuliah "Filsafat Komunikasi". Dia memang mendapatkan nilai "A" untuk kuliahnya itu, sedangkan aku sudah lupa apa nilaiku waktu itu.

Ketika kutanyakan apakah dunia ini memang ada? Dia hanya menjawab, "dunia ini tidak ada, yang ada hanyalah nama*)". Begitu seterusnya.

"Yang ada hanyalah nama. ketika kamu melihat pohon apakah itu benar-benar pohon? atau karena namanya saja pohon maka disebut sebagai pohon?"

Aku ingat kata-katanya itu memang mengutip dari sebuah kitab yang ditulis oleh Togog. Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku tidak penasaran lagi. Memang benar, ada yang berubah padanya dan itu bukan saja tidak terlihat namun juga harus dirasakan sendiri ketika kau bersamanya.

Dia memang baru-baru ini membaca tentang filsafat tetapi bukan bukunya Sartre, Kafka, atau Nietzsche. Ia hanya mengenal filsafat dari buku kumpulan cerpen saja-dan juga buku Filsafat Komunikasi. Sepertinya ia masih dalam tahapan belajar. Maka aku tak heran bila ia memang masih menjadi seorang eksistensialis yang menganggap eksistensi mendahului esensi. Aku juga sama sepertinya, aku belum tahu banyak tentang filsafat. Maka aku tidak akan bicara lagi soal filsafat.

Aku tidak akan banyak bercerita lagi tentangnya. Kecuali, kalau engkau mau memintaku kembali untuk menuliskan apa saja yang belum tertulis tentangnya dengan memberikan komentar pada tulisan ini. Aku tidak akan keberatan menuliskan dirinya dalam setiap catatanku bila memang ada yang ingin kau tahu tentangnya dariku.


Bukit Pakar Timur 100, 7 September 2008, 16.46


*) dalam Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma, Bentang, 2004

Rabu, 03 September 2008

Nikmati Fasilitas (Selagi Ada)

Bung, selamat menunaikan Ibadah Shaum. Bagaimana keadaan kantor anda Bung? Karena ini masih awal bulan, tentunya masih belum banyak undangan jamuan-jamuan buka puasa bersama. Saya kira anda cukup bersiap untuk yang satu ini. Mungkin mulai minggu depan jadwal anda akan penuh. Bukan untuk bersafari dakwah dari satu masjid ke masjid yang lain, tapi dari satu restoran ke restoran yang lain. Bung, mau pilih yang mana?

Begini Bung, kalau itu semua termasuk fasilitas yang layak (dan seharusnya) anda terima kenapa tidak? Ya, kan? Anda bisa menyediakan menu yang khusus untuk kolega anda. Mulai dari Es Shanghai yang aslinya entah dari Shanghai atau bukan. Bung pasti tidak peduli. Belum lagi menu-menu khusus Ramadhan seperti kolak, pasti tersedia. Saya sarankan Bung, jangan hanya terpaku oleh kolak pisang saja, kali-kali cobalah kolak duren atau sukun sekalian. Oh ya, jangan lupa juga untuk mengajak anak-anak dari Panti Asuhan untuk menikmatinya bersama-sama. Sediakan juga (kalau perlu) cerutu yang selalu Bung beli kalau pelesir ke Eropa sana. Lagipula, dengan itu semua tentu tidak akan terlalu membebani anggaran bulanan dan operasional. Saya yakin itu Bung.

Nah, kalau sudah begini dan Ramadhan tiba-tiba berlalu begitu saja, jangan lupa juga untuk membuat laporannya Bung. Bagaimana pun anda menggunakan anggaran kantor. Jangan sampai teman-teman Bung yang auditor itu menemukan kejanggalan dalam penggunaan dana "rupa-rupa" dan "kegiatan tidak terduga". Sudah ada contohnya. Kawan-kawan kita yang di Ciamis sana ketahuan memakai uang 2M cuma buat jamuan konsumsi hari besar keagamaan. Celakanya, itu hari besar agama yang saya dan Bung anut. Memalukan bukan. Saya harap Bung tidak (lagi) melakukan kesalahan seperti itu. Peringatan saya: Bisa berakibat fatal (kalau tidak mau disebut berbahaya) untuk karir dan penghasilan Bung.

Begini-begini juga, saya sempat kebagian "fasilitas" seperti itu. Mulai dari makanan ringan, makanan berat, bahkan sampai rokoknya, semua perusahaan yang tanggung. Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan? Apalagi ketika rokok saya habis oleh si calon Master Administrasi Publik itu yang tadi malam mampir buat bayar hutangnya walau ternyata malah nambah lagi hutangnya itu. Saya sungguh bersyukur untuk semua ini sampai saat ini.

Bagaimana dengan anda Bung?. Tentu setiap siang, setelah Dzuhur anda akan duduk bersila di masjid kantor untuk mendengarkan ceramah dari kawan anda yang di-naik haji-kan oleh kantor. Sebut saja Ustad Kosasih (Ustad yang ongkos hajinya dikasih=ongKOS dikASIH) atau Ustad Abidin (Ustad yang dibiayai dengan anggaran dinas=Atas BIaya DINas). Mungkin anda tertidur karena menempel pada tembok yang dingin itu. Atau malah serius sekali memikirkan dan merenungi kehidupan nanti? Setelah itu anda mungkin akan langsung meluncur lagi ke tempat proyek untuk menyambangi kawan-kawan lama kita yang jadi pelaksana proyek dan setelah itu anda pulang ke rumah dengan mobil Camry berplat merah yang dibensinin sama Negara. Ya ya ya. Seperti saya bilang tadi kalau semua itu fasilitas, mbok ya dinikmati saja (jangan lupa disyukuri) selagi ada dan Tuhan masih percaya anda untuk menerimanya.


Salam dari Bukit,


NB: Jangan segan-segan juga untuk menikmati fasilitas lebaran nanti-kalau kebagian THR


Bukit Pakar Timur, 3 September 2008, 19.22


Catatan Seorang Penganggur



Ilustrasi "Pengangguran Pencari Kerja"

Bila digambarkan, beginilah keadaan si pencari kerja. Tuan dan Puan bisa melihatnya lengkap dengan berbagai keterangan. Tuan dan Puan bisa menjumpai yang seperti ini setiap habis wisuda universitas yang diteruskan dengan semacam acara job fair atau bursa kerja-untuk menyebutnya lebih halus saja.

Memang beginilah kondisinya. Tuan dan Puan tahu sendiri susahnya mencari kerja di zaman sekarang ini yang katanya menuju globalisasi. Mungkin Tuan dan Puan pernah membaca bahwa globalisasi merupakan suatu kemajuan yang tidak bisa ditahan atas kehendak dan kesepakatan kaum kapitalis dimana mereka juga akan mengokupasi seluruh bidang pekerjaan terutama di negara berkembang.

Gambar yang ada ini hanya sebagai pengantar bagi Tuan dan Puan agar tertarik membaca tulisan saya selanjutnya. Perlu Tuan dan Puan ketahui bahwa saya bukanlah penulis yang serba bisa dan serba tahu apalagi membahas soal ketenagakerjaan dan pengangguran. Saya hanya seorang penganggur yang bercita-cita menjadi Pustakawan yang masih sedang belajar menulis. Semoga Tuan dan Puan berkenan untuk terus membaca.

Pengangguran dan kesempatan kerja hanyalah sedikit dari sekian masalah yang kami hadapi sebagai bangsa. Apakah yang membedakan seorang penganggur dengan seorang direktur perusahaan multi-nasional? Apakah itu berupa status sosial? Atau cuma punya pekerjaan yang dibayar sedangkan penganggur tidak punya pekerjaan dan tidak punya uang. Apakah yang membedakannya kalau perbedaannya sangat tipis. Bukankah banyak diantara kita yang punya pekerjaan tapi tidak ada hasilnya? Masih banyak diantara kita yang bekerja tapi seolah pekerjaannya itu tidak nyata dan hampir tidak ada. Mereka dibayar tapi tidak untuk apa-apa.

Bila suatu saat Tuan dan Puan mendatangi bursa kerja, maka anda akan menemui mereka yang seperti pada gambar diatas. Mereka berdatangan lengkap dengan setelan kameja dan celana bahan, tak lupa sepatu pantopel, kemudian tas yang penuh dengan berkas fotokopian transkrip, ijazah, surat keterangan lulus, KTP, foto bermacam ukuran, dan tak lupa amplop coklat seukuran folio. Mereka akan berjalan-jalan sepanjang lorong penuh harapan. Sambil sebentar-sebentar melirik kiri dan kanan mencoba menemukan tempat ideal untuk bekerja. Walau kadang pilih-pilih, mereka tetap saja tidak berhenti berharap Dewi Fortuna melepaskan panahnya ke mereka itu.

Suatu saat saya pernah mengikuti test yang diadakan sebuah perusahaan multinasional yang jualan rokok. Seperti Tuan dan Puan duga memang kami semua yang ikutan test itu berusaha tampil sebaik mungkin. Soal menjawab pertanyaan itu urusan belakangan. Yang penting penampilan. Yang seperti ini namanya menjual harapan tanpa tahu harapan itu masih ada ujungnya atau malah jalan tidak ada ujung*)

Sejujurnya, saya lebih senang bila berdiam diri saja di kamar. Selonjoran sambil mendengarkan radio dan tidak melakukan apa pun bahkan berpikir sekalipun. Kalau pun ada barangkali cuma mengirim SMS ke radio itu untuk sekedar meminta lagu favorit. I'm nothing and better doing nothing. Sekali lagi, sejujurnya saya lebih suka melakukan itu. Tetapi, segera setelah itu berakhir dan pintu kembali terbuka terbentang kembali kenyataan. Entah untuk dihadapi atau dibiarkan begitu saja, atau malah lari saja dari kenyataan.

Setidaknya yang saya rasakan saat ini adalah kita telah kehilangan hak untuk tidak melakukan apa-apa.**) Untuk mereka yang telah meraih gelar diploma, sarjana, master, doktor, atau bahkan Ph.D sekalian, selalu diburu pertanyaan-pertanyaan, "..mau kerja dimana..?", "..abis ini mau kemana..?" Belum lagi stigma yang diberikan oleh lingkungan sekitar terhadap keberadaan si penganggur. Entahlah, banyak anggapan yang bermunculan. Belum lagi tuntutan-tuntutan lainnya seakan-akan setelah lulus dan mendapatkan pekerjaan yang layak adalah suatu kewajiban dan keharusan yang memang harus terjadi. Biasanya Tuan dan Puan akan menjumpai yang demikian ini muncul dari keluarga dan kerabat dekat.

Tuan dan Puan bisa membayangkan bila lebaran nanti mereka bertemu dengan saya yang masih menganggur ini. Saya tentu tidak bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan itu. Ya, semua ada waktunya dan saya hanya menjalani hidup saya yang sekarang ini. Bila nanti suatu saat saya mendapatkan pekerjaan, semoga itu semua bukan karena bantuan-bantuan mereka. Yang karenanya mirip dengan kelakuan penguasa-penguasa orde baru dulu.

Tuan dan Puan saya akhiri tulisan ini dengan harap Tuan dan Puan mau membaca tulisan saya berikutnya. Saya tahu, mungkin bagi Tuan dan Puan masih banyak lagi tulisan yang berharga , berarti, dan lebih bermakna dari tulisan saya ini. Harap Tuan dan Puan maklum adanya.


Bukit Pakar Timur 100, 3 September 2008, 17.50


*) Judul roman dari Mochtar Lubis, "Jalan Tidak Ada Ujung"
**) dalam sebuah cerpen di buku Seno Gumira Ajidarma, "Matinya Seorang Penari Telanjang"

Selasa, 02 September 2008

Selamat Ulang Tahun, Bapak - Catatan Seorang Anak


Hari ini seorang Ayah yang biasa dipanggil Bapak oleh anak-anaknya berulang tahun tepat di hari kedua di bulan Ramadhan 1429 H.
Dalam hidupnya yang sekarang ini ia hanya menjadi seorang penyuka ikan dan penjual pulsa. Ia sendiri mungkin tidak terlalu berharap akan terjadi sesuatu yang istimewa hari ini. Atau malah anak-anaknya yang menyiapkan segala sesuatunya. Ah, ia tidak perlu semua itu. Ia hanya ingin kedua anaknya itu selalu menaati dan menghormatinya saja. Tidak lebih. Apalagi, kini setelah pensiun dan menjalani hidupnya sebagai seorang pensiunan.

Kalau Tuhan mendengar do'anya, semoga Tuhan dapat mengabulkan permintaannya yang ingin hidup sampai menjadi wali nikah anak-anaknya hingga menimang cucu. Artinya, ia meminta umur yang lebih panjang. Agar bisa melihat cucu-cucunya tumbuh besar dan bisa menyebutnya "kakek", "mbah" atau "aki".

Hanya berbeda 10 tahun dari usia negara ini. Dalam usianya yang kesekian itu, ia telah merasakan semuanya.

Aku masih mengenang tangis haru Bapak dan Ibu di hari wisuda itu. Itu hanya sebagian kecil saja dari yang bisa aku berikan. Selebihnya, aku usahakan. Betapa sudah begitu banyak kebaikan yang engkau berikan dan aku masih saja membalasnya dengan perlakuan kasar yang sangat mungkin membuatmu begitu kecewa. Tapi engkau tidak begitu, engkau masih tetap menyapaku dan memperbaiki segala kesalahanku.

Bapak, aku anakmu ini hanya bisa berharap Bapak bisa menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya. Aku yakin Bapak pernah kecewa dengan anakmu ini, tapi itu semua cuma satu bagian kecil saja dari seluruh pelajaran kehidupan yang engkau berikan.

Bapak, saya tutup tulisan ini dengan lirik lagu yang sering Bapak putar di Windows Media Player. Lagu kesukaan Bapak dari Koes Plus, Ayah. Mungkin Bapak terkenang Eyang juga bila mendengar lagu ini. Tapi untuk kali ini, lagu ini hanya untuk Bapak saja. Dan hanya Bapak saja.


Ayah ...
Betapa kuagungkan
Betapa kuharapkan

Ayah ...
Betapa kau berpesan
Betapa kau doa kan

Ayah
Betapa pengalaman
Dahulu dan sekarang

Ayah
Rambutmu t'lah memutih
Cermin suka dan sedih

Ayah ...
Ceritakan kembali
Riwayat yang indah waktu dahulu

Ayah ...
Ku takkan bosan mendengar
Riwayat waktu kau muda perkasa

Ayah...
Kau dapat merindukan
Kau dapat mengenangkan

Ayah...
Waktu terus berlalu
Sampai ke anak cucu


*) hanya sebuah catatan kecil untuk Bapak

Bukit Pakar Timur 100, 2 September 2008, 12.31

Senin, 01 September 2008

Catatan Pertama Seorang Pustakawan di Bulan Ramadhan

Ada yang berbeda di Ramadhan tahun ini. Kali ini, aku menjalaninya sebagai seorang pustakawan. Seorang pustakawan yang bersarang di sebuah bukit. Andai saja aku berkantor di sebuah gunung, aku ingin berada di Gunung Kendalisada agar bisa berjumpa Hanoman yang sedang bertapa*). Malam pertama tarawih tidak ada yang berbeda. Semua orang mulai dari anak-anak, remaja-remaji, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, semuanya memenuhi masjid yang mulai akan terlihat aktif lagi sepanjang bulan ini. Semuanya seakan ingin kebagian pahala dan tidak ingin melewatkan kesempatan pertama untuk membukukan pahala-kalau kebagian.

Hari pertama ini aku berada di kantor menulis kisah ini. Harusnya hari ini aku libur. Sementara, anak-anak sekolah diliburkan oleh Gurunya-kecuali sekolah non muslim. Entah kenapa, aku tidak mau membuat prasangka, siapa tahu itu bisa mengurangi amalku. Alasan yang logis adalah "munggahan". Aku tidak tahu jelasnya itu sebuah tradisi atau apa. Yang aku tahu, setiap awal bulan Ramadhan aku selalu mendengarnya. Dan sepertinya, memang telah menjadi tradisi. Belum lagi message-message di Handphone atau e-mail yang penuh dengan ucapan selamat datang bulan Ramadhan. Hampir semua message yang masuk lewat e-mail sama semua, barangkali cuma si Mantan Pustakawan Bisnis Indonesia yang berbeda. Kalau mereka yang kreatif pasti akan membuat sesuatu ucapan yang baru. Ini mungkin berulang nanti waktu lebaran.

Aku tuliskan kisah ini berteman lagu dari Iis Sugianto yang berjudul Jangan Sakiti Hatinya. Aku masih berkutat dengan pekerjaanku yang deadlinenya semakin dekat. Adzan Ashar sudah terdengar. Aku masih akan tetap disini menulis kisah ini walau aku tahu kau pun mungkin belum tentu membacanya. Aku akan tetap duduk sambil mencoba mencetak label buku-buku itu.

Tadi malam aku merasa aneh sekali. Seaneh perasaan rawan kala memandang pohon itu. Paginya, seperti biasa. Shalat Subuh berjamaah pertama di bulan ini masih dipenuhi oleh anak-anak sekolah yang diberi tugas mencatat ceramah tarawih dan subuh. Subuh pada awal Ramadhan terlihat lebih baik, karena kalau pada hari biasa seluruh warga jamaah masjid seperti tertidur lelap terkena ajian Sirep Indrajit*) walau kadang hanya terbangun mendengar suara adzan Subuh. Setelah itu, majelis ta'lim ibu-ibu akan bertadarus hingga waktu Dhuha. Nanti malam, mereka yang anak-anak itu akan memaksa panitia penyelenggara yang ada di setiap masjid untuk sekedar meminta tanda tangan dan cap DKM. Semuanya biasa dan sudah wajar terjadi sehingga menjadi suatu kebiasaan.

Apalagi yang akan kutuliskan. Menjelang berbuka nanti setiap saluran televisi akan menampilkan tayangan tausiyah dari para ustadz terkemuka. Biasanya setiap tampil mereka tidak hanya membawa pesan tausiyah tapi juga pesan sponsor yang nebeng. Kalau suatu saat kau lihat mungkin bisa berupa lokasi shooting, atau (yang paling ngetop) adalah busana atau wardrobe yang dikenakan. Haah, selalu seperti itu. Semoga Ramadhan kali ini tidak menjadi suatu rutinitas yang biasa-biasa saja (untukku). Ramadhan bukan alasan untuk menjadi malas dan tidak produktif. Karena ini masih awal dan belum ada undangan buka puasa bersama, kiranya tidaklah berlebihan bila aku mengucapkan: selamat menunaikan ibadah Shaum, semoga amal dan ibadah kita diterima dan diridhoi oleh Allah SWT.

Bukit Pakar Timur 100, 1 September 2008, 16.15


*) Cerita lengkapnya di buku "Kitab Omong Kosong", Seno Gumira Ajidarma, 2005
**) masih bisa dibaca di buku yang sama

Minggu, 31 Agustus 2008

BLA (bukan Bandung Lautan Api) - Catatan Seorang Pustakawan

Di suatu pagi yang sepi, aku membaca Headline koran harian Selendang Post pagi ini. Hmm. tidak ada yang menarik kecuali sepenggal catatan kecil di rubrik "Literasi dan Edukasi". Beginilah isi catatan itu.

Bandung Librarian Alliance Workshop for School Library

Bandung, (selendangpost, 31/08)
Seiring dengan bertambahnya tuntutan dan peran pustakawan sekolah dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja dan optimalisasi fungsi otomasi perpustakaan kemarin (30/08) Bandung Librarian Alliance (BIS-SD Gagasceria-KALI) bekerjasama dengan NCI-BookMan salah satu vendor perangkat otomasi perpustakaan mengadakan Athenaeum Light 8.5 & NCI-BookMan Workshop for School Library. Workshop yang bertempat di SD Gagasceria ini mengundang trainer berpengalaman dari Bandung International School, Any S. Fauzianie dan Komunitas Athenaeum Light Indonesia, Anggi Hafiz Al Hakam.

Acara yang berlangsung selama 6 jam tersebut dihadiri oleh para guru dan pustakawan dari berbagai sekolah dan komunitas literasi di Bandung. Melalui kegiatan ini diharapkan para peserta workshop dapat menerapkan penggunaan perangkat lunak otomasi perpustakaan di sekolahnya masing-masing. Demikian diungkapkan oleh penanggung jawab acara yang juga bertindak sebagai trainer, Any S Fauzianie "Kegiatan ini tentunya akan semakin menambah wawasan dan sebagai wahana untuk berbagi antar sesama rekan pustakawan untuk menerapkan penggunaan perangkat lunak otomasi perpustakaan yang berlisensi bebas dan open-script.".

Lain lagi yang diungkapkan oleh trainer dari KALI, Anggi Hafiz Al Hakam, bahwa KALI merasa terdorong untuk menyebarkan seluas-luasnya software athenaeum light ini sebagai satu solusi bagi penerapan otomasi perpustakaan, terutama perpustakaan sekolah. Kami juga terus berusaha untuk menjadi supporting group yang concern terhadap development dari athenaeum light sendiri.

Otomasi perpustakaan merupakan satu hal yang masih menjadi perbincangan hangat di kalangan pustakawan terutama saat ini dengan fenomena hadirnya digital library. selain hal-hal tersebut yang masih menjadi current issue adalah literasi informasi. semua hal ini saling berkaitan sehingga diperlukan kerjasama dan pembinaan yang terus berlanjut. Rencananya, setelah workshop yang telah diadakan keempat kalinya ini akan dilaksanakan pula workshop selanjutnya dengan tema katalogisasi dan klasifikasi.(AH)

***

Aku terkejut. Hwaduh. Rupanya si pustakawan seni dari Bukit itu berulah lagi.


Bandung-Bukit Pakar Timur 100, 30-31 Agustus 2008, 11.45

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...