Dalam hari-hari yang kujalani kembali sebagai seorang pengangguran, aku merasa tidak ada yang perlu untuk kuceritakan apalagi sampai harus membuatkan tulisan tentangnya. Namun, tiba-tiba aku merasa harus menulis sesuatu. Baiklah, aku tidak akan menulis tentang bagaimana keseharian seorang pengangguran. Aku tidak akan bercerita padamu tentang hari-hari seorang pengangguran yang selalu sama dari detik ke detik berikutnya. Aku tidak akan bercerita tentang hidup seorang pengangguran yang sedikit demi sedikit aka mengalami krisis. Aku juga tidak akan bercerita bahwa nasib memang selalu membutuhkan teman untuk bercerita. Suatu saat mungkin nasib akan menghampirimu dan ia akan bercerita padamu tentang bagaimana seorang pengangguran hanya bisa bermimpi dan menabur harapan untuk masa depan.
Semuanya kembali seperti biasa. Dunia pun memang begitu adanya. Kini aku bukan lagi seorang pustakawan yang selalu menulis Surat dari Bukit. Sudah lama pula aku tidak menulis catatan yang selalu diakhiri dengan kata Salam dari Bukit. Lebaran sudah berlalu. Saatnya kembali pada kenyataan yang hampir biasa. Kota-kota besar akan penuh sesak dengan kaum pendatang yang membeli mimpi di kampungnya dan berharap mimpinya itu jadi kenyataan di kota. Semua itu terjadi begitu saja setiap tahunnya. Mungkin suatu saat nanti aku juga akan jadi bagian dari mereka yang datang untuk menantang kehidupan di metropolitan yang semakin gemerlap oleh mereka yang menanamkan uangnya.
Pada hari yang biasa ini, rupanya dunia kita sedang (kembali) mengalami krisis. Dunia ini sudah bertambah tua namun krisis demi krisis salaing bergantian untuk menggerogoti dunia ini. Krisis apa yang belum pernah dunia ini alami? Krisis Nuklir? Krisis Pangan? Krisis Lingkungan? Atau yang lebih parah Krisis Kemanusiaan? Kali ini krisis keuangan yang bersumber dari negerinya Rambo itu membuat seluruh dunia merasakan getirnya dan mereka semakin merasa bahwa punya uang di masa sulit seperti ini benar-benar berharga walau nilai tukar terhadap dolar semakin turun. Dari Bursa Efek Jakarta hingga New York Stock Exchange semuanya ambruk tak terkecuali. Bahkan, BEJ sempat ditutup selama beberapa hari karena ada sentimen panik dari para pemain di lantai bursa.
Berita tentang krisis ini akan sama setiap harinya dimana pemerintahan di seluruh penjuru dunia akan memberikan bail out terhadap sektor perbankan yang memang menjadi objek dari krisis ini. Pada berita lainnya, kabar tentang indeks gabungan sejumlah lantai bursa akan diberitakan mengalami penurunan indeks yang cukup signifikan setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berita semacam itu akan mejadi langganan headline sebuah koran nasional dan breaking news yang muncul setiap jamnya dari sebuah televisi nasional.
Krisis ini setidaknya membuka mata dunia bahwa Amerika Serikat memang berperan besar dalam terjadinya badai krisis dunia ini. Malapetaka ini berawal dari tidak kunjung selesainya kasus ”subprime mortgage” atau kredit perumahan di Amerika sana. Begitulah, tanpa penyelesaian yang pasti dan dibiarkan semakin larut dalam kekacauan ekonomi lokal maka seluruh dunia pun ikut menanggung beban dari krisis ini. Kenapa Amerika Serikat selalu saja dijadikan kiblat ekonomi modern? Kenapa kurs nilai tukar mata uang dengan dolar amerika selalu jadi patokan kemajuan ekonomi suatu bangsa?
Aku rasa semua ini hanya akal-akalan saja. Tentu ada aktor dan sutradaranya dibalik semua kejadian ini. Semua ini hanya omong kosong agar IMF mau kembali menjulurkan tangannya pada setiap negera yang terlibas badai krisis ini. Sama seperti yang bangsa ini hadapi sekitar 1 dekade yang lalu. Lagu lama ini akan diputar kembali dengan cara yang lebih global, modern, dan lebih canggih untuk menghadapi infrastruktur keuangan dan ekonomi Indonesia yang lebih kuat dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Aku yakin ada skenario besar yang mengatur semuanya. Kurang lebih mirip dengan skenario Calciopolli yang menjungkalkan Juventus ke Serie-B di Italia sana. Skenario ini akan berjalan dengan mulus karena pada dasarnya persepsi seluruh warga dunia sudah sama bahwa mereka pada akhirnya akan menyadari dunia ini sedang mengalami krisis. Pembentukan persepsi yang melibatkan peran media ini tentu akan mempermudah sang sutradara untuk menjalankan semua rencana-rencana yang tersusun rapi dalam berkas-berkas seusai rapat. Rencana-rencana yang baru akan terungkap 3 atau 4 tahun ke depan, ketika seluruh warga dunia akhirnya menyadari juga bahwa mereka sebenarnya hanya jadi bagian dari permainan omong kosong ekonomi dunia.
Kejadian seperti ini tentu mirip dengan yang terjadi di Indonesia pasca krisis di tahun 1999 dimana IMF memberikan tangannya untuk menyelamatkan bangsa yang karam ini. Presiden dimasa itu ”dipaksa” untuk menandatangani nota kerjasama yang sebetulnya merugikan seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Maka, apabila pada medio 2003 negeri kita kembali ribut tentang divestasi beberapa BUMN strategis dan liberalisasi pendidikan dengan merubah PTN-PTN menjadi BHMN semua itu hanyalah sisa-sisa dari bom waktu yang disetel 3 atau 4 tahun ke belakang itu. Kita hanya akan jadi sitting duck (sasaran empuk) dari rudal-rudal skenario global yang mewakili kepentingan kaum imperialis-kapitalis modern.
Aku rasa untuk saat ini krisis ini belum benar-benar terasa bagi kami kaum pustakawan dan belum terlambat pula bagi kami untuk menyadarinya. Kami hanya mengikuti beritanya saja lewat koran yang dilanggan setiap bulan dan internet yang selalu kami buka sebelum berdoa untuk memulai pekerjaan. Kalau memang krisis ini benar-benar menyapa dan memberi salam selamat pagi Dunia kepada kami, aku belum tahu akan seperti apa jadinya dunia ini.
Salam dari Pharmindo,
Pharmindo, 13 Oktober 2008, 08.41
Semuanya kembali seperti biasa. Dunia pun memang begitu adanya. Kini aku bukan lagi seorang pustakawan yang selalu menulis Surat dari Bukit. Sudah lama pula aku tidak menulis catatan yang selalu diakhiri dengan kata Salam dari Bukit. Lebaran sudah berlalu. Saatnya kembali pada kenyataan yang hampir biasa. Kota-kota besar akan penuh sesak dengan kaum pendatang yang membeli mimpi di kampungnya dan berharap mimpinya itu jadi kenyataan di kota. Semua itu terjadi begitu saja setiap tahunnya. Mungkin suatu saat nanti aku juga akan jadi bagian dari mereka yang datang untuk menantang kehidupan di metropolitan yang semakin gemerlap oleh mereka yang menanamkan uangnya.
Pada hari yang biasa ini, rupanya dunia kita sedang (kembali) mengalami krisis. Dunia ini sudah bertambah tua namun krisis demi krisis salaing bergantian untuk menggerogoti dunia ini. Krisis apa yang belum pernah dunia ini alami? Krisis Nuklir? Krisis Pangan? Krisis Lingkungan? Atau yang lebih parah Krisis Kemanusiaan? Kali ini krisis keuangan yang bersumber dari negerinya Rambo itu membuat seluruh dunia merasakan getirnya dan mereka semakin merasa bahwa punya uang di masa sulit seperti ini benar-benar berharga walau nilai tukar terhadap dolar semakin turun. Dari Bursa Efek Jakarta hingga New York Stock Exchange semuanya ambruk tak terkecuali. Bahkan, BEJ sempat ditutup selama beberapa hari karena ada sentimen panik dari para pemain di lantai bursa.
Berita tentang krisis ini akan sama setiap harinya dimana pemerintahan di seluruh penjuru dunia akan memberikan bail out terhadap sektor perbankan yang memang menjadi objek dari krisis ini. Pada berita lainnya, kabar tentang indeks gabungan sejumlah lantai bursa akan diberitakan mengalami penurunan indeks yang cukup signifikan setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berita semacam itu akan mejadi langganan headline sebuah koran nasional dan breaking news yang muncul setiap jamnya dari sebuah televisi nasional.
Krisis ini setidaknya membuka mata dunia bahwa Amerika Serikat memang berperan besar dalam terjadinya badai krisis dunia ini. Malapetaka ini berawal dari tidak kunjung selesainya kasus ”subprime mortgage” atau kredit perumahan di Amerika sana. Begitulah, tanpa penyelesaian yang pasti dan dibiarkan semakin larut dalam kekacauan ekonomi lokal maka seluruh dunia pun ikut menanggung beban dari krisis ini. Kenapa Amerika Serikat selalu saja dijadikan kiblat ekonomi modern? Kenapa kurs nilai tukar mata uang dengan dolar amerika selalu jadi patokan kemajuan ekonomi suatu bangsa?
Aku rasa semua ini hanya akal-akalan saja. Tentu ada aktor dan sutradaranya dibalik semua kejadian ini. Semua ini hanya omong kosong agar IMF mau kembali menjulurkan tangannya pada setiap negera yang terlibas badai krisis ini. Sama seperti yang bangsa ini hadapi sekitar 1 dekade yang lalu. Lagu lama ini akan diputar kembali dengan cara yang lebih global, modern, dan lebih canggih untuk menghadapi infrastruktur keuangan dan ekonomi Indonesia yang lebih kuat dibandingkan 10 tahun yang lalu.
Aku yakin ada skenario besar yang mengatur semuanya. Kurang lebih mirip dengan skenario Calciopolli yang menjungkalkan Juventus ke Serie-B di Italia sana. Skenario ini akan berjalan dengan mulus karena pada dasarnya persepsi seluruh warga dunia sudah sama bahwa mereka pada akhirnya akan menyadari dunia ini sedang mengalami krisis. Pembentukan persepsi yang melibatkan peran media ini tentu akan mempermudah sang sutradara untuk menjalankan semua rencana-rencana yang tersusun rapi dalam berkas-berkas seusai rapat. Rencana-rencana yang baru akan terungkap 3 atau 4 tahun ke depan, ketika seluruh warga dunia akhirnya menyadari juga bahwa mereka sebenarnya hanya jadi bagian dari permainan omong kosong ekonomi dunia.
Kejadian seperti ini tentu mirip dengan yang terjadi di Indonesia pasca krisis di tahun 1999 dimana IMF memberikan tangannya untuk menyelamatkan bangsa yang karam ini. Presiden dimasa itu ”dipaksa” untuk menandatangani nota kerjasama yang sebetulnya merugikan seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Maka, apabila pada medio 2003 negeri kita kembali ribut tentang divestasi beberapa BUMN strategis dan liberalisasi pendidikan dengan merubah PTN-PTN menjadi BHMN semua itu hanyalah sisa-sisa dari bom waktu yang disetel 3 atau 4 tahun ke belakang itu. Kita hanya akan jadi sitting duck (sasaran empuk) dari rudal-rudal skenario global yang mewakili kepentingan kaum imperialis-kapitalis modern.
Aku rasa untuk saat ini krisis ini belum benar-benar terasa bagi kami kaum pustakawan dan belum terlambat pula bagi kami untuk menyadarinya. Kami hanya mengikuti beritanya saja lewat koran yang dilanggan setiap bulan dan internet yang selalu kami buka sebelum berdoa untuk memulai pekerjaan. Kalau memang krisis ini benar-benar menyapa dan memberi salam selamat pagi Dunia kepada kami, aku belum tahu akan seperti apa jadinya dunia ini.
Salam dari Pharmindo,
Pharmindo, 13 Oktober 2008, 08.41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar