Selamat Sore Aninda. Apa kabarmu disana? Masihkah langit mendung nan basah memayungi kotamu? Disini mendung sekali, Aninda. Anginnya pun kencang sekali. Oh ya, aku hampir lupa memberi kabar padamu bahwa seperti surat yang kemarin aku sekarang benar-benar pergi meninggalkan kotamu.
Sengaja aku tidak kirim SMS atau sekedar telepon cuma untuk mengharapkan engkau akan melepas kepergianku di Stasiun Kereta. Bukan itu maksudku Aninda. Kau pun tahu, aku sudah tidak sanggup lagi untuk menangis kala datangnya perpisahan. Sehingga percuma saja air matamu itu yang mengiringi kepergianku menuju Tanah Harapan.
Aku buat catatan ini pada suatu hari yang disebut dengan Hari Pahlawan. Hari dimana Surabaya menjadi ladang pertempuran dalam mempertahankan serangan dari Wong Londo si Penjajah Keparat itu. Namun, untuk saat ini rasanya kita telah kehilangan semangat juang itu, Aninda.
Coba saja lihat, berapa banyak dari kita yang mengikuti anjuran Presiden SBY untuk mengheningkan cipta tepat pada pukul 08.15 pagi tadi? Berapa banyak? Kalaupun ada, mungkin hanya sekumpulan anak SD-SMP-SMA yang merasa terpaksa mengikuti upacara pagi. Atau mungkin para Abdi Negara yang sama terpaksanya dengan mereka untuk sekedar memberi hormat pada Merah Putih.
Begitupun aku. Aku tidak bersama mereka. Entah sedang apa aku tadi. Yang pasti aku masih teringat kalau hari ini hari Pahlawan. Kau sendiri, sedang apa tadi, Aninda? Apakah masih sibuk dengan urusan Morning Meeting yang selalu penuh dengan omong kosong dan basa-basi sialan? Atau, cuma sekedar memperbaiki rambutmu yang tersibak angin lantaran kemarin sudah masuk salon?
Angin berhembus kencang sekali disini. Nampaknya aku harus segera pulang. Aku tidak ingin tersapu dan terseret angin yang lebih kencang.
Peluk Rindu,
Pegangsaan Dua, 10 November 2008, 16.32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar