Membaca satu blog dari seorang rekan yang pustakawan dari bukit itu rasanya ada yang bisa dijadikan sebagai sebuah perenungan. Dalam blognya itu, ada beberapa tag yang memang menjadi pilihan hidupnya. Hidup, pustakawan, perpustakaan, dan Seno Gumira Ajidarma. Sejauh saya mengenalnya semua itu memang menjadi pilihannya. Entah kebetulan atau memang karena takdir, dia sampai juga pada fase hidupnya yang sekarang. Dia memang menikmati keadaanya itu. Sampai kami terakhir bertemu, dia masih terlihat menikmatinya.
Aku mengenalnya dari seorang teman yang mengirim e-mail. Teman itu menyuruhku untuk membuka sebuah alamat blog, persis seperti yang sedang kau baca saat ini. Sejak itulah perkenalanku dimulai. Rupanya memang benar. Hidup, pustakawan, perpustakaan dan Seno Gumira Ajidarma telah menjadi satu dari sekian kepingan yang menyusun hidupnya. Dia hidup di dalam dunia dengan profesi sebagai pustakawan yang tentu saja mengurus sebuah perpustakaan khusus di Bukit itu. Adapun Seno Gumira Ajidarma (mungkin) hanyalah seorang penulis yang sering dibacanya. Dalam setiap tulisannya, aku banyak sekali membaca catatan kaki yang merujuk pada buku-buku penulis itu. Apakah memang hidupnya hanya berkutat diseputaran tag-tag itu?
Memang, kuakui penulis itu setidaknya telah membentuk suatu sikap dalam berpikir padanya. Aku mengakuinya karena aku pernah sekali berdiskusi dengannya tentang dunia ini dilihat dari sisi filsafat. Kemampuan filsafat kami terbatas. Kami mengenal filsafat hanya karena waktu kuliah dulu mengikuti mata kuliah "Filsafat Komunikasi". Dia memang mendapatkan nilai "A" untuk kuliahnya itu, sedangkan aku sudah lupa apa nilaiku waktu itu.
Ketika kutanyakan apakah dunia ini memang ada? Dia hanya menjawab, "dunia ini tidak ada, yang ada hanyalah nama*)". Begitu seterusnya.
"Yang ada hanyalah nama. ketika kamu melihat pohon apakah itu benar-benar pohon? atau karena namanya saja pohon maka disebut sebagai pohon?"
Aku ingat kata-katanya itu memang mengutip dari sebuah kitab yang ditulis oleh Togog. Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku tidak penasaran lagi. Memang benar, ada yang berubah padanya dan itu bukan saja tidak terlihat namun juga harus dirasakan sendiri ketika kau bersamanya.
Dia memang baru-baru ini membaca tentang filsafat tetapi bukan bukunya Sartre, Kafka, atau Nietzsche. Ia hanya mengenal filsafat dari buku kumpulan cerpen saja-dan juga buku Filsafat Komunikasi. Sepertinya ia masih dalam tahapan belajar. Maka aku tak heran bila ia memang masih menjadi seorang eksistensialis yang menganggap eksistensi mendahului esensi. Aku juga sama sepertinya, aku belum tahu banyak tentang filsafat. Maka aku tidak akan bicara lagi soal filsafat.
Aku tidak akan banyak bercerita lagi tentangnya. Kecuali, kalau engkau mau memintaku kembali untuk menuliskan apa saja yang belum tertulis tentangnya dengan memberikan komentar pada tulisan ini. Aku tidak akan keberatan menuliskan dirinya dalam setiap catatanku bila memang ada yang ingin kau tahu tentangnya dariku.
Bukit Pakar Timur 100, 7 September 2008, 16.46
*) dalam Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma, Bentang, 2004
Aku mengenalnya dari seorang teman yang mengirim e-mail. Teman itu menyuruhku untuk membuka sebuah alamat blog, persis seperti yang sedang kau baca saat ini. Sejak itulah perkenalanku dimulai. Rupanya memang benar. Hidup, pustakawan, perpustakaan dan Seno Gumira Ajidarma telah menjadi satu dari sekian kepingan yang menyusun hidupnya. Dia hidup di dalam dunia dengan profesi sebagai pustakawan yang tentu saja mengurus sebuah perpustakaan khusus di Bukit itu. Adapun Seno Gumira Ajidarma (mungkin) hanyalah seorang penulis yang sering dibacanya. Dalam setiap tulisannya, aku banyak sekali membaca catatan kaki yang merujuk pada buku-buku penulis itu. Apakah memang hidupnya hanya berkutat diseputaran tag-tag itu?
Memang, kuakui penulis itu setidaknya telah membentuk suatu sikap dalam berpikir padanya. Aku mengakuinya karena aku pernah sekali berdiskusi dengannya tentang dunia ini dilihat dari sisi filsafat. Kemampuan filsafat kami terbatas. Kami mengenal filsafat hanya karena waktu kuliah dulu mengikuti mata kuliah "Filsafat Komunikasi". Dia memang mendapatkan nilai "A" untuk kuliahnya itu, sedangkan aku sudah lupa apa nilaiku waktu itu.
Ketika kutanyakan apakah dunia ini memang ada? Dia hanya menjawab, "dunia ini tidak ada, yang ada hanyalah nama*)". Begitu seterusnya.
"Yang ada hanyalah nama. ketika kamu melihat pohon apakah itu benar-benar pohon? atau karena namanya saja pohon maka disebut sebagai pohon?"
Aku ingat kata-katanya itu memang mengutip dari sebuah kitab yang ditulis oleh Togog. Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku tidak penasaran lagi. Memang benar, ada yang berubah padanya dan itu bukan saja tidak terlihat namun juga harus dirasakan sendiri ketika kau bersamanya.
Dia memang baru-baru ini membaca tentang filsafat tetapi bukan bukunya Sartre, Kafka, atau Nietzsche. Ia hanya mengenal filsafat dari buku kumpulan cerpen saja-dan juga buku Filsafat Komunikasi. Sepertinya ia masih dalam tahapan belajar. Maka aku tak heran bila ia memang masih menjadi seorang eksistensialis yang menganggap eksistensi mendahului esensi. Aku juga sama sepertinya, aku belum tahu banyak tentang filsafat. Maka aku tidak akan bicara lagi soal filsafat.
Aku tidak akan banyak bercerita lagi tentangnya. Kecuali, kalau engkau mau memintaku kembali untuk menuliskan apa saja yang belum tertulis tentangnya dengan memberikan komentar pada tulisan ini. Aku tidak akan keberatan menuliskan dirinya dalam setiap catatanku bila memang ada yang ingin kau tahu tentangnya dariku.
Bukit Pakar Timur 100, 7 September 2008, 16.46
*) dalam Kitab Omong Kosong, Seno Gumira Ajidarma, Bentang, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar