Seperti biasa, aku hanya merasakan duduk di kursi kerja yang baru ini. Sambil sedikit berkhayal bisa menggunakan kursi yang sepertinya sangat empuk punya si Kepala Perpustakaan. Aku masih melamun sampai membuka laci tempat keyboard. Alamak. Kutemukan banyak sekali kertas-kertas penuh catatan. Tagihan listrik, tagihan PDAM, struk belanja Yomart, nota kerja, nota dinas, dan masih banyak lagi tak terkecuali selembar kertas yang terbaring membisu disana. Kertas itu menampilkan sebuah catatan:
Aninda,
Sudah lama sekali aku tidak memberi kabar padamu. Padahal, setiap suratmu selalu berpesan jangan sampai lupa memberi kabar. Ya, begitulah Aninda. Laju deru kota metropolitan telah membuatku lupa. Jangankan sekedar memberi kabar padamu. Berdoa pada Tuhan saja aku lupa. Aku juga tentunya lupa untuk mengingat-ingat siapakah Tuhan yang selalu kusembah itu, karena disini di kota ini segalanya berubah jadi Tuhan. Segalanya berubah menjadi pujaan. Segalanya benar-benar menjadi Tuhan disini. Entah itu harta, kemewahan, fashion, dan gaya hidup. Bahkan kesederhanaan telah menjadi kemewahan itu sendiri. Semua itu terjadi Aninda. Semua itu terjadi. Seperti yang selanjutnya terjadi padaku.
Tadi pagi akhirnya atasanku menanyakan perihal perpanjangan kontrak. Kau tahu sendiri kan kalau kontrakku memang akan berakhir di bulan September ini. September yang tidak selalu ceria. Aku tidak akan berakhir di bulan September. Langkahku masih panjang. Kepak sayapku juga masih kuat untuk sekedar terbang lintas kota.
Memang ini sebuah keputusan yang sulit. Aku kembali dihadapkan pada pilihan. Sama ketika aku akhirnya memilihmu. Memilihmu yang entah memilihku juga. Aku tidak pernah tahu. Padahal, kalau cuma memilih itu gampang sekali. Masalahnya, mungkin kita punya ekspektasi tertentu setelahnya dan belum tentu juga kita siap untuk menerima segala konsekuensinya. Semuanya terjadi untuk suatu alasan.
Aku memang sudah menjawab pertanyaan itu. Sebuah jawaban yang sama dengan jawaban Rafael van der Vaart ketika ditawar oleh Milan tahun 2003 lalu. Selanjutnya, dia minta alasanku. Aku paling tidak suka kalau sudah begini. Aku harus bisa menjelaskan padanya alasan penolakanku itu. Aku bilang, aku masih ingin terbang. Lalu, apa kau masih mau tahu bagaimana reaksi atasanku? Dia lebih sering diam sekarang setelah menanyai aku. Dan dia juga tidak banyak tanya setiap kali kita bekerja bersama.
Aku tidak tahu pastinya kenapa dia selalu terlihat begitu. Beda. Sangat beda sekali. Apakah karena ia menyadari segala kesalahan yang telah dilakukannya padaku? Apakah ia juga merasakan hal yang sama, membuatku terabaikan dan terlupakan? Apakah dia menyesali semua tanggung jawab yang dia ambil dariku? Harusnya, seperti itu. Sudah seharusnya dia punya pikiran seperti itu dan memang seharusnya dia punya perasaan seperti itu.
Aku rasa ini adalah suatu kewajaran dan memang akan jadi sebuah kemestian. Rasanya aku pernah mengirim surat padamu tentang perasaanku ketika dengan mudahnya aku terabaikan dan pada akhirnya benar-benar terlupakan. Aku terabaikan dan terlupakan bagai debu yang menyapu musafir padang pasir. Aku terabaikan bagai Fabio Capello yang tak sempat berpesta setelah Real Madrid juara 2 tahun yang lalu. Aku juga terlupakan bagai Fernando Hierro yang dipecat usai Real Madrid juara 6 tahun yang lalu.
Aninda, aku memang terabaikan dan terlupakan. Bukan kedua hal itulah yang akhirnya memaksaku untuk pergi dari tempat ini, tempat dimana aku pernah merindukanmu. Aku ambil keputusan ini untuk kebaikan aku dan engkau. Aku masih ingin terbang. Aku memang bukan pilot tapi masih banyak lagi yang harus kucari di dunia ini untuk kebahagiaan kita bersama.
Aku tuliskan catatan ini di suatu malam penghabisan. Malam adalah kehilangan. Dan kehilangan sendiri bagian dari hidup itu sendiri. Yang sedang aku dan engkau jalani saat ini. Aku tuliskan catatan ini di suatu malam terakhir. Aku tuliskan catatan ini di sebuah laptop yang entah esok hari menjadi milik siapa. Aku tuliskan catatan ini sebagai tanda bahwa aku tidak melupakan engkau. Mudah-mudahan, catatan ini juga menjadi penanda untukku, untuk kembali mencari Tuhanku yang sempat terabaikan dan terlupakan.
Aninda, yang masih setia membaca tulisan ini entah dengan perasaan yang bagaimana, aku hanya berharap bahwa engkau masih setia disana. Selalu menungguku dan hanya menungguku walau kadang aku melupakanmu. Aninda, segera setelah aku landing di bandar udara yang baru, aku akan segera mengabarimu. Kabar yang mungkin menjadi tanda kalau kepak sayapku masih cukup kuat untuk terbang dan mungkin juga jadi penanda kalau aku tidak melenceng nyasar dan mendarat di tempat yang salah.
Salam dari Bukit,
P.S: catatan perpisahan untuk Aninda
* * * * *
Aku tidak banyak berkata dan hampir tidak bisa berpikir lagi. Yang seperti ini pernah juga aku alami. Sama seperti si "aku" dalam catatan ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Catatan ini akan aku simpan. Siapa tahu, penggantiku nanti mengalami nasib dan kejadian yang sama.
Bukit Pakar Timur 100, 17 September 2008, 14.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar