Beberapa hari yang lalu, seorang kawan membaca kembali fiksi tulisan Seno Gumira Ajidarma favoritnya, “Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta”. Melalui akun twitter pribadinya lalu kawan tadi menceritakan kembali soal satu cerpen berjudul “Rahasia”. Satu cerpen yang saya perlu membacanya dua kali sebelum tahu bahwa cerpen itu bertema tentang jalinan sebuah kisah indah dalam perselingkuhan. Kawan saya tadi lantas membahas bagaimana SGA menuliskan cerita perselingkuhan dengan tabir yang amat menawan sehingga tidak perlu menohok pembaca bahwa ini adalah cerpen tentang perselingkuhan.
Saya selalu ingat kalimat pembuka cerpen itu. “Pada hari kematian Jose, seorang wanita menangis tersedu-sedu”. Satu prolog yang kemudian membuka sekian banyak pertanyaan. Siapakah dia yang ikut menangisi kematian Jose selain Dewi, istri Jose. Cerpen ini kemudian ditutup dengan kalimat, “Barangkali Dewi lupa, hidup ini memang penuh dengan rahasia.” Cerpen bertanggal 16 November 1991 ini mampu membuat pembaca awam seperti saya mereka-reka siapa perempuan itu tadi. Hingga akhirnya saya sepenuhnya paham, bahwa ada dua perempuan yang bersedih karena kematian Jose.
Saya selalu ingat kalimat pembuka cerpen itu. “Pada hari kematian Jose, seorang wanita menangis tersedu-sedu”. Satu prolog yang kemudian membuka sekian banyak pertanyaan. Siapakah dia yang ikut menangisi kematian Jose selain Dewi, istri Jose. Cerpen ini kemudian ditutup dengan kalimat, “Barangkali Dewi lupa, hidup ini memang penuh dengan rahasia.” Cerpen bertanggal 16 November 1991 ini mampu membuat pembaca awam seperti saya mereka-reka siapa perempuan itu tadi. Hingga akhirnya saya sepenuhnya paham, bahwa ada dua perempuan yang bersedih karena kematian Jose.
Tiga Drama Kekerasan Politik
Awal tahun 2013 lalu, saya menemukan seorang penjual buku bekas di sebuah forum jual beli. Kebetulan, buku yang dijual adalah kumpulan drama dari SGA yang berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Perlu waktu lama dan ekstra kesabaran sebelum akhirnya saya bisa memuaskan rasa penasaran. Secara singkat, buku ini memuat lakon dari tiga naskah sandiwara: ‘Tumirah, Sang Mucikari’ ‘Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ ; dan ‘Jakarta 2039’.
Awal tahun 2013 lalu, saya menemukan seorang penjual buku bekas di sebuah forum jual beli. Kebetulan, buku yang dijual adalah kumpulan drama dari SGA yang berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Perlu waktu lama dan ekstra kesabaran sebelum akhirnya saya bisa memuaskan rasa penasaran. Secara singkat, buku ini memuat lakon dari tiga naskah sandiwara: ‘Tumirah, Sang Mucikari’ ‘Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ ; dan ‘Jakarta 2039’.
Cerita pertama, mengisahkan soal kehidupan seorang mucikari yang diposisikan berada dalam situasi tidak menentu akibat konfrontasi antara gerilyawan dengan aparat. Cerita kedua, adalah drama tiga babak. Seorang ayah dan ibu terlibat dalam suatu percakapan yang berujung pada anak mereka yang hilang diculik.
Cerita terakhir, seperti sudah pernah dimuat dalam cerpen berjudul sama dalam kumpulan cerpen “Iblis Tidak Akan Pernah Mati”, menceritakan dua babak peristiwa. Pertama, Mei 1998 pada saat Clara mengalami sendiri tragedi kemanusiaan paling kelam sepanjang sejarah Republik. Kedua, 40 tahun 9 bulan usai tragedi Mei 1998. Saat itu, Clara sudah melahirkan seorang anak hasil dari pemerkosaan yang dialaminya. Kemudian, anak itu bercerita.
‘Ibuku diperkosa bapakku pada malam penjarahan dan pembakaran tanggal 14 Mei 1998. Tepat sembilan bulan kemudian, aku lahir pada 14 Februari 1999. Kini tanggal 14 Februari 2039, umurku tepat 40 tahun. Aku tak tahu siapa ibuku dan aku tak tahu di mana bapakku.’
‘Aku hidup dengan penuh dendam kepada para pemerkosa. Namun, jika aku bunuh kedua orang itu karena mereka adalah pemerkosa, itu berarti aku telah membunuh bapakku dalam pikiranku. Aku tak tahu, manakah yang lebih jahat dan lebih salah, membunuh pemerkosa atau membunuh bapak sendiri?’
Ketiga lakon drama ini ditulis oleh SGA didasari oleh tindakan represif aparat semasa Orde Baru. Tak heran, bila kemudian ada banyak tragedi yang disebabkan olehnya. SGA berusaha menangkap fenomena-fenomena kecil dimana keberadaan mereka sangat mungkin terabaikan. SGA menangkap suara-suara yang demikian lalu menerjemahkannya dalam bentuk lakon teater yang pertama kali digelutinya sejak tahun 1975. Tiga lakon drama yang dibukukan ini adalah catatan rekam jejak historis kontekstual terhadap sebuah tragedi aktual yang dialami bangsa ini. Agaknya, SGA berhasil dalam membentuk suatu perlawanan untuk melawan lupa.
Pharmindo, 30 Maret 2013.
Ketiga lakon drama ini ditulis oleh SGA didasari oleh tindakan represif aparat semasa Orde Baru. Tak heran, bila kemudian ada banyak tragedi yang disebabkan olehnya. SGA berusaha menangkap fenomena-fenomena kecil dimana keberadaan mereka sangat mungkin terabaikan. SGA menangkap suara-suara yang demikian lalu menerjemahkannya dalam bentuk lakon teater yang pertama kali digelutinya sejak tahun 1975. Tiga lakon drama yang dibukukan ini adalah catatan rekam jejak historis kontekstual terhadap sebuah tragedi aktual yang dialami bangsa ini. Agaknya, SGA berhasil dalam membentuk suatu perlawanan untuk melawan lupa.
Pharmindo, 30 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar