“Baru aja salaman sm orang yg bikin idup kita sekeluarga totally messed up 9 years ago. Time flies, isn’t it? To forgive is to forget.”
Twit yang dibuat pagi tadi itu adalah penanda. Sungguh suatu pertemuan yang tidak diduga. Sembari sarapan di hotel tempat kami biasa menginap secara tidak sengaja kami bertemu senior yang sudah pensiun duluan dan kebetulan sedang di Bandung untuk urusan pekerjaan. Sangat tidak disangka, bahwa pertemuan dengan senior kami ini justru menjadi pengantar pertemuan lainnya dengan seseorang yang namanya saya kenal sekali.
Betul, pagi tadi saya telah bersalaman dengan orang yang pernah saya benci 9 tahun yang lalu. Sebuah kebencian yang teramat sangat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Kenapa demikian? Karena dibawah kepemimpinan beliau ini satu industri kebanggaan rakyat Indonesia dinyatakan kolaps! Jadi, pernyataan saya tadi tidak terlalu salah kan?
Back to 2003. Medio bulan Juli. Saya masih ingat ketika pengumuman itu tiba-tiba jadi headline media cetak di Bandung. Saya tidak menyangka bahwa hal ini terjadi begitu cepat disaat saya baru saja menyelesaikan kelas 2 SMA dan menandatangani kontrak setahun ke depan untuk duduk di kelas 3 IPA 2. (if I may add, saya baru pulang liburan dari Dufan and i didn’t need any crap like what happened at that time). Belum lagi,ketika membayangkan urusan setelah lulus sekolah. Masuk Universitas/Institut negeri adalah semacam “kewajiban” untuk manusia-manusia yang mengaku pernah masuk kelas IPA.
Hal ini sangat mengganggu. Bukan hanya saya dan adik saya, tetapi juga pada teman-teman yang orangtuanya senasib dengan saya. Saat itu, distraksi sosial akibat kejadian itu membuat segregasi-segregasi tertentu dalam lingkungan kehidupan bertetangga. Ah, tidak perlu saya ceritakan bagaimana Anjani harus menutup mukanya setiap melintasi kerumunan demonstran itu. Tidak perlu juga saya gambarkan bagaimana komunikasi antar tetangga yang tidak lagi sehangat dulu, bahkan tidak ada senyum sekalipun berpapasan.
Saya rasa, kalau memang kita hidup di waktu itu dan merasakan setiap gejolak disana, pasti bisa dengan mudah menebak siapa orang itu. Walaupun vonis PTUN menyatakan dia bersalah tetap saja hukum memiliki bahasanya sendiri. Bapak kita yang satu ini malah hilang tak tahu rimbanya. Entah, tidak ada yang tahu apakah dia pernah mendekam dibalik penjara selama 3 bulan itu atau malah dipenjara karena perasaan bersalahnya sendiri. Hanya Tuhan dan Hakim yang tahu.
Time flies. Saya tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi justru disaat kebencian saya tidak seperti dulu. Saya sadar bahwa ada alasan Tuhan dibalik pertemuan ini. Saya selalu ingat sosok Bapak setiap kali berurusan dengan hal ini. Setidaknya, ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil sebagai hikmah dari kasus ini. Saya jadi lebih paham bagaimana Bapak memaknai dan memegang teguh prinsip. Sejak saat itu, saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak lagi. Saya akan menjadi seperti apa yang Bapak inginkan walau pada akhirnya Bapak mengembalikan semua itu pada saya.
Saya menjadi lebih realistis tanpa mengesampingkan impian masuk Universitas atau Institut Teknik paling wahid se-Nusantara. Seiring waktu berjalan, setelah melewati momen perenungan yang tiba-tiba pada suatu malam. Saya mengambil suatu keputusan yang sulit namun saya yakini itu akan berhasil. Saya akan menuju kesana dengan cara saya sendiri. Saya menginisiasi perjudian atas nama nasib. Saya tidak punya banyak pilihan tapi saya harus terus melangkah kesana. Dengan segenap sumber daya yang semakin terbatas. Sementara langit masih tak berbatas.
Singkatnya, kejadian itu memaksa saya untuk berjudi dengan tiap kemungkinan yang mampu dihadirkan oleh nasib. Saya bersyukur untuk mengalami hal yang demikian. Suatu pembelajaran yang membuat saya merasa harus keluar dari comfort zone dan berusaha dengan segala keyakinan yang hanya dimiliki oleh saya. Bahwa mewujudkan impian itu adalah usaha yang dibarengi kerja keras, keringat, doa, dan sedikit keberuntungan.
Mungkin masih ada dendam yang tersisa. Suatu perasaan yang menggugah rasa sakit di masa lalu. But hey, time goes on. People touch and they gone. Sudah tidak pantas bila saya masih membawa pedih itu sampai hari ini. Karena yang ada di benak saya sekarang adalah: kalo dulu gak gitu, sekarang ya gak gini.
Bandung-Paninggilan, 22 Februari 2012.