Write your own success
story with job that you like, and be a boss in your life (hal. 89)
Membaca semua tulisan
Margie dalam FGB ini sungguh menghadirkan suatu perasaan yang tak karuan. Kalau
tidak mau dibilang galau. Saya rasa ini adalah reaksi yang wajar mengingat
jarak umur saya dengan si penulis tidak jauh beda. Namun, perbedaan itu semakin
jelas kala melihat pencapaian Margie. Dalam usianya yang kesekian itu, Margie
telah mengalami suatu pengalaman yang tidak dirasakan oleh kebanyakan kita. Pekerja
kelas menengah yang setiap hari setia berkutat dengan segala pelik kehidupan
Jakarta.
FGB dibuka dengan sebuah
tulisan tentang pensiun dini. Margie secara blak-blakan menceritakan bagaimana
ia terinspirasi dari jawaban wawancara seorang temannya. Dengan visi yang
jelas, Margie berusaha menguatkan mental pembaca bahwa tidak perlu menunggu tua
terlebih dahulu untuk menjadi seorang bos. Margie menguraikan strategi untuk
menakar kemampuan diri agar kita mampu menjadi bos sedini mungkin sehingga bisa
pensiun dini lebih awal. Tentunya, di usia yang masih muda dan tidak terlalu
tua.
Generally, FGB dibagi kedalam 3 bagian. Beat Yourself, Conquer The Office, dan If I Were A Boss. Gabungan ketiganya menghasilkan suatu runutan cerita yang memiliki benang merah satu sama lain. Dimulai dari bagaimana memaksimalkan potensi diri dengan lebih melihat kedalam diri sendiri. Lalu, mengembangkan segenap kemampuan dan attitude untuk ‘conquer the office’. Kemudian, bersiap-siap untuk menjadi seorang bos.
Penuturan Margie yang
cerdas, lugas, dan jujur namun santai membuat pembacaan buku ini ibarat sebuah
cerita perjalanan. Saya kagum karena
Margie tidak malu untuk menceritakan semua pengalamannya, sejak mulai jadi
pejuang karir level bawah hingga menjadi seorang pekerja di level top
management. Ditambah, ilustrasi yang mengingatkan pembaca pada desain khas
komik menjadikan FGB tidak seperti buku-buku motivasional lainnya.
Banyak pelajaran yang
bisa diambil dari FGB. Niscaya, pembaca akan tahu mengapa anak-anak Laskar
Pelangi bisa lebih sukses dibandingkan anak-anak lain yang hidup di kota besar,
lengkap dengan segala akses dan fasilitas yang memadai. Margie juga menuliskan
kegalauannya ketika harus memilih dalam sejarah perkariran miliknya. Bagaimana
Margie memilih sebuah pekerjaan ketika dihadapkan dengan kebahagiaan yang
muncul dari pekerjaannya itu.
For once in my life, can’t i make decision that pleases me? Although it’s not what everyone is expecting? Although it’s out of norm, out of mind, out of sanity? For once, just for this once, can i not care about how people feel and think more about what i feel? Can i not sacrifice my most happiness and negotiate for something lesser? Can’t i be selfish JUST FOR ONCE? (License To Be Selfish)
Untuk para fresh
graduate, FGB sangat membantu. Setidaknya, untuk mereka yang belum paham apa
itu ‘office politics’ atau ‘office romance’. Atau malah bagi mereka yang belum
paham mengapa bos yang berasal dari Eropa tidak pernah datang terlalu pagi dan
lembur usai jam kerja. Lalu, mengapa sistem ‘eropa’ yang demikian itu tidak
berhasil di Asia yang memiliki gaya sendiri. Dengan gayanya yang lincah, Margie
juga menuangkan pengalamannya dalam subjek tersebut.
Bagi mereka yang membaca
buku ini saat kini sedang meniti karir, saya rasa FGB bukanlah pilihan yang
salah untuk menghabiskan waktu anda. Kita bisa belajar untuk lebih cerdas dan bijak
dalam bertindak. Terutama dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan masa
depan kita. Hal-hal kecil pun tidak luput dari perhatian Margie. Bagaimana
memilih kolega yang benar-benar sevisi, tata cara berpakaian yang santun,
hingga bercerita tentang sekelompok anak magang.
Yang tidak terlupakan,
adalah Margie juga menuliskan aturan baku yang berlaku bagi setiap bos. Aturan
pertama, The Boss is always right. Aturan kedua, If The Boss is wrong, please
refer to rule #1. Ternyata, aturan ini juga dialami oleh sebagian besar kaum
pekerja. Entah kebetulan atau tidak, kedua aturan itu juga akan kita gunakan
seandainya kita sudah menjadi seorang bos.
Sebagai penutup, Margie
juga menyarankan pembaca untuk mulai berinvestasi sedikit demi sedikit. Bagaimanapun,
investasi adalah satu modal berharga agar kita bisa mencapai usia pensiun
sedini mungkin.
Catatan Seorang Kolumnis
Dadakan
Awalnya, saya tidak cukup
kuat melanjutkan pembacaan FGB. Saya malu karena saya tidak memiliki semua
kekuatan yang Margie ceritakan. Saya tidak punya visi yang jelas sehingga malah
terombang-ambing dan pernah jadi pengangguran tetap. Katakan saya iri pada
pencapaian Margie. Memang begitu adanya. Namun, setiap orang punya ceritanya
masing-masing. Saya juga cukup bersyukur dengan segala pencapaian yang saya
raih sampai saat ini.
Andaikan saya baca buku
ini 8 tahun yang lalu atau setidaknya pada saat saya memulai perjalanan masa
kuliah, saya mampu membuat visi yang jelas tentang apa yang saya inginkan dalam
hidup yang cuma sekali ini. FGB mengajari saya untuk terus memacu diri, pushing
through the limit. Sekalipun dalam environment yang tidak mendukung. Untuk hal
ini, saya selalu terkenang cerita-cerita Margie di buku After Orchard. Saya masih
terus berusaha untuk punya attitude kerja dan mental kiasu seperti the
Singaporean.
Personally, 29 cerita
dalam FGB membuat ingatan saya kembali pada masa-masa awal meniti karir. Saya telah
mengalami hampir semua yang dituliskan Margie. Hanya tinggal bab Inverstor
Relations saja yang belum saya praktekkan.
FGB menghadirkan
pengalaman yang berbeda dibandingkan buku-buku motivasional lainnya.
Tulisan-tulisan Margie berhasil memikat dengan pengalamannya serta kejadian-kejadian
nyata yang terjadi di sekelilingnya. Kedekatan antara keseharian yang dialami
Margie adalah contoh realitas sehari-hari yang mampu memberikan banyak
pelajaran demi mencapai kesuksesan dalam memanjat tangga karir.
Sebagai penutup, berikut
saya berikan contoh pencapaian Margie dengan seorang Anggi:
Versi Margie:"Tapi di usia 25 gue bisa berbangga hati punya sebuah mobil keluaran terbaru, properti bergengsi, beberapa barang berharga, tabungan di atas angka rata-rata, tas berbungkus cokelat, dan mampu membeli beberapa tiket penerbangan terbaik ke Eropa."
Versi Gue:"Tapi di usia 25 gue bisa berbangga hati untuk belum punya sebuah kendaraan bermotor, kontrakan di pinggiran Jakarta, beberapa barang berharga (baca: buku), tabungan (selalu) di bawah angka rata-rata, tas berbungkus raincoat, dan hanya mampu membeli beberapa tiket penerbangan kelas low cost carrier."
Sudah kelihatan bedanya?
Judul : Fresh Graduate Boss:
29 Cerita Memanjat Tangga Karier
Penulis : Margareta Astaman
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun :
2012
Tebal : 245 hal.
Genre : Memoar-Motivasi
Medan Merdeka Barat, 26
Juli 2012.