Heran. Katanya angklung sudah masuk ke dalam warisan dari budaya dunia. Tetapi mengapa masih sulit untuk menemukan pengejawantahan karya angklung tersebut.
Bukankah kita juga yang selalu out of mind setiap tahu kebudayaan kita akan dicaplok bangsa lain. So, saya kira wajar saja kalau kebudayaan kita selalu dicaplok orang-utamanya tetangga sendiri. Disaat negara tetangga bersedia melakukan apa saja dengan budget besar untuk mengumpulkan khazanah kebudayaan dunia, kita, bangsa Indonesia, bangsa yang mengklaim batik sebagai warisan budaya dunia, bangsa yang marah saat Reog Ponorogo dicaplok Malaysia, malah hanya bisa jadi penonton.
Bukankah kita juga yang selalu out of mind setiap tahu kebudayaan kita akan dicaplok bangsa lain. So, saya kira wajar saja kalau kebudayaan kita selalu dicaplok orang-utamanya tetangga sendiri. Disaat negara tetangga bersedia melakukan apa saja dengan budget besar untuk mengumpulkan khazanah kebudayaan dunia, kita, bangsa Indonesia, bangsa yang mengklaim batik sebagai warisan budaya dunia, bangsa yang marah saat Reog Ponorogo dicaplok Malaysia, malah hanya bisa jadi penonton.
Kita tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, hanya untuk sekedar membuat CD berisi rekaman lagu-lagu daerah yang dimainkan dengan angklung.
Ribuan orang memainkan Angklung di halaman Gedung Sate, Bandung. Image courtesy: @thejakartapost |
Maka tak heran bila nanti 10 atau 20 tahun lagi, kita harus pergi ke National Museum of Singapore hanya untuk menonton pagelaran wayang kulit, menyimak kembali film karya Usmar Ismail: Lewat Djam Malam, atau sekedar mendengar lagu Manuk Dadali yang dimainkan dengan komposisi angklung.
Sungguh sangat mengherankan bagi bangsa yang katanya punya aneka ragam kebudayaan tetapi malah sulit menemukan khazanah kebudayaan negeri sendiri.
Hari-hari ini kita terlalu sibuk dibuai mimpi. Kita terlalu sibuk untuk menyimak Sang Pahlawan yang rela blusukan demi membangun kotanya. Kita terlalu sibuk untuk memastikan koruptor-koruptor itu mendapat hukuman yang setimpal. Kita terlalu sibuk menggunjing soal artis yang itu-itu juga. Pun kita terlalu serius soal aksi buruh yang semakin mengancam pergerakan Homo Jakartensis dan harga daging sapi yang semakin menggila.
Agaknya, kita perlu juga mengoreksi atau malah mempertanyakan keindonesiaan kita ditengah himpitan arus modernitas yang menghadirkan sejuta impian artifisial. Manusia Indonesia sudah sepantasnya dewasa dan bersikap konsekuen terhadap apa yang sudah menjadi miliknya. Bukan lantas menikmati, lalu menangguk keuntungan dari komoditas budaya tersebut, hingga menjadikannya bagian dari fashion dan lifestyle semata.
Kita patut bertanya, apakah yang bisa Indonesia pamerkan dalam festival kebudayaan antar negara? Apakah kita hanya mau menampilkan batik yang itu-itu juga? Apakah kita tetap mau menyajikan tarian yang itu-itu juga? Atau kita mau menampilkan sisi keragaman budaya lainnya. Entah itu sekedar balas-membalas pantun ala Betawi, Karapan Sapi khas Madura taiyee.., atau hanya sebuah atraksi Lompat Batu ala Nias.
Indonesia pun masih menyimpan potensi budaya tulis yang amat mengakar. Sudah berapa kali penulis Indonesia mampu bersuara di ajang regional South East Asia Award? Banyak penulis negeri ini telah memubuktikan kepiawaiannya dalam merangkai suatu fenomena dalam bentuk tulisan yang dibukukan.
Sungguh sangat mengherankan bagi bangsa yang katanya punya aneka ragam kebudayaan tetapi malah sulit menemukan khazanah kebudayaan negeri sendiri.
Hari-hari ini kita terlalu sibuk dibuai mimpi. Kita terlalu sibuk untuk menyimak Sang Pahlawan yang rela blusukan demi membangun kotanya. Kita terlalu sibuk untuk memastikan koruptor-koruptor itu mendapat hukuman yang setimpal. Kita terlalu sibuk menggunjing soal artis yang itu-itu juga. Pun kita terlalu serius soal aksi buruh yang semakin mengancam pergerakan Homo Jakartensis dan harga daging sapi yang semakin menggila.
Agaknya, kita perlu juga mengoreksi atau malah mempertanyakan keindonesiaan kita ditengah himpitan arus modernitas yang menghadirkan sejuta impian artifisial. Manusia Indonesia sudah sepantasnya dewasa dan bersikap konsekuen terhadap apa yang sudah menjadi miliknya. Bukan lantas menikmati, lalu menangguk keuntungan dari komoditas budaya tersebut, hingga menjadikannya bagian dari fashion dan lifestyle semata.
Kita patut bertanya, apakah yang bisa Indonesia pamerkan dalam festival kebudayaan antar negara? Apakah kita hanya mau menampilkan batik yang itu-itu juga? Apakah kita tetap mau menyajikan tarian yang itu-itu juga? Atau kita mau menampilkan sisi keragaman budaya lainnya. Entah itu sekedar balas-membalas pantun ala Betawi, Karapan Sapi khas Madura taiyee.., atau hanya sebuah atraksi Lompat Batu ala Nias.
Indonesia pun masih menyimpan potensi budaya tulis yang amat mengakar. Sudah berapa kali penulis Indonesia mampu bersuara di ajang regional South East Asia Award? Banyak penulis negeri ini telah memubuktikan kepiawaiannya dalam merangkai suatu fenomena dalam bentuk tulisan yang dibukukan.
Jangan lantas keragaman budaya bangsa kita didominasi hegemoni budaya tertentu yang kemudian menyeragamkan identitas keindonesiaan kita. Kesusasteraan Indonesia pun masih menyimpan khazanah keindonesiaan yang erat melekat dengan keseharian kita.
Peran kebudayaan sebagai identitas eksistensial bagi Bangsa Indonesia sangatlah vital. Kita sesungguhnya mampu mewujudkan hegemoni budaya bangsa dihadapan masyarakatnya sendiri. Hanya perlu sedikit semangat. Semangat individu-individu didalamnya untuk mau berbuat dan mencari khazanah kebudayaan bangsa lain yang belum terekspos agar lantas tidak menjadi komoditas kapital semata.
Peran kebudayaan sebagai identitas eksistensial bagi Bangsa Indonesia sangatlah vital. Kita sesungguhnya mampu mewujudkan hegemoni budaya bangsa dihadapan masyarakatnya sendiri. Hanya perlu sedikit semangat. Semangat individu-individu didalamnya untuk mau berbuat dan mencari khazanah kebudayaan bangsa lain yang belum terekspos agar lantas tidak menjadi komoditas kapital semata.
Pancoran, 23 November 2012.