Mungkin kalimat judul diatas sanggup merepresentasikan perasaan JK saat ini. Siapa yang tidak merasa iri kalau ternyata hasil membuktikan bahwa teman dan kawan kita lebih berhasil dibandingkan dengan kita sendiri. Terlebih lagi bila kawan kita ini terpilih (lagi) untuk jadi presiden. Sedangkan, kita hanya bisa menjadi rival sesaat saja yang menunda-nunda waktu untuk kemudian dinyatakan kalah.
Mungkin juga, saat tulisan ini ditulis, JK sedang menggumamkan lagu itu sambil berkemas untuk meninggalkan rumah dinasnya dan kembali ke kampung halamannya di Makassar sana. Sambil mendendangkan lagu itu juga, bisa saja JK sedang duduk di kursi malasnya sambil membaca berita dari harian-harian ibukota yang headlinenya dipenuhi polemik setelah usainya pemilu presiden. JK tentu sedang fokus pada gugatan yang diajukannya pada MK dan itu pula yang akan menjadi pusat perhatiannya.
Sebagai manusia, sudah fitrahnya untuk merasakan yang demikian itu. Wajar sekali perasaan itu muncul sebagai reaksi atas kegagalan dan kekalahan dalam persaingan. Apalagi, kalau ternyata kita baru tersadar bahwa yang mengalahkan kita adalah kawan seperjuangan. Kawan yang selalu menemani sejak zamannya kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati hingga bersama berdua membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, yang akan segera expired sebentar lagi.
Adalah kawan kita juga yang mengalahkan kita, kawan yang pernah bersama-sama menuntaskan kasus Balibo Five lalu membujuk Hassan Tiro untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Kawan kita juga yang menemani di ruangan siding untuk bertukar pendapat mengenai masalah rakyat. Mulai dari bagaimana caranya membagi subsidi minyak pada rakyat hingga menutup semburan lumpur Lapindo.
Banyak pula pencapaian yang diraih semenjak kita memutuskan untuk menjadi partner dan teammate. Sebagai contoh saja, swasembada beras yang kembali dicapai sejak 1985. Kemudian, ternyata kawan kita juga menyetujui penyaluran BLT sebagai satu cara mengurangi beban rakyat miskin padahal banyak kalangan menganggap bahwa BLT hanya menjadikan rakyat sebagai pengemis. Belum lagi, kawan kita ini juga mendukung program pendidikan BOP-BOS yang sekarang ngetop dengan sebutan “Sekolah Gratis”. Di sisi lain, partnership yang terjalin juga menjanjikan bagi stabilitas ekonomi makro maupun mikro. Indikator pertumbuhan ekonomi terlihat membaik. Itu hanya beberapa gambaran saja bahwa kawan kita ini tidak salah pilih kawan untuk menemaninya duduk di singgasana tertinggi negeri ini.
Kemungkinan terbesar sebagai penyebab mogoknya mesin politik Golkar di Pilpres 2009 adalah hilangnya suara kader-kader Golkar di daerah. Ini adalah dugaan yang paling masuk akal mengingat partai peninggalan Orde Baru ini masih mempunyai basis pendukung yang loyal di beberapa daerah. Terbukti ketika Pemilu Legislatif 2004, partai ini mendominasi perolehan suara baik di pusat maupun di daerah. Namun, politik tidak butuh masa lalu. Kejayaan masa lalu seketika akan menjadi omong kosong belaka karena kenyataan hari ini. Kenyataan saat ini, Golkar kehilangan banyak suara. Suara Golkar pecah. Diduga pecahan suara ini mengalir pada kubu Demokrat yang menusung SBY-Boediono. Akar rumput Golkar ditebas habis oleh Demokrat.
Dengan kata lain, JK dan Golkar dikompori dan digembosi oleh kadernya sendiri. Ketika hasil pemilu legislatif melalui quickcount merebak diberbagai media, muncul isu dan wacana bahwa Golkar harus mengusung calon presiden sendiri bila perolehan suaranya mampu melewati 20% electoral threshold. JK sebagai Pemimpin Partai tentu saat itu sedang bingung. Jalan manakah yang harus ditempuh. JK mungkin masih ingin menjadi pendamping SBY dengan ikut berkoalisi ke Demokrat tetapi suara-suara dari daerah menyatakan bahwa sebagai partai yang eksistensinya telah diakui (secara politis) harus mampu mengusung calon presiden sendiri. Tidak asal sekedar berkoalisi. Dalam hatinya mengisyaratkan bahwa ia masih ingin punya kuasa atas negeri ini.
Banyaknya desakan yang demikian kemudian membuat Partai Golkar harus membuat pertemuan dengan mengumpulkan DPD-DPD se Indonesia di markas besarnya di Slipi. Tentunya, perdebatan alot terjadi. Antara mereka yang mendukung JK untuk naik sebagai capres dari Golkar dan mereka yang mendukung koalisi dengan Demokrat. Hasilnya, sudah kita tahu sendiri. Golkar merestui JK untuk naik sebagai capres ditemani dengan “pesakitan” Golkar yang membentuk Partai Hanura, Wiranto.
Sebagai partai yang punya harga diri, Golkar telah memutuskan untuk menceraikan JK dari SBY dan jadi the real contender for next presidential bid (mengikuti istilah The Jakarta Post). JK pun menerima keputusan tersebut dan maju jadi capres yang diusung koalisi Golkar dan Hanura. Saat itu, saya yakin JK telah bersiap untuk menerima hasil yang terburuk sekalipun, yaitu kekalahan. Kekalahan yang dimaksud adalah tidak lagi menjadi wakil presiden bersama SBY lalu tidak kebagian posisi sentral dalam tata pemerintahan Kabinet mendatang. Agaknya, inilah yang sempat membuat JK kelihatan ragu untuk maju sebagai capres. Sebagian bisnis JK memang berurusan dengan negara. Pemilihan Sofyan Jalil sebagai Meneg BUMN pun tidak lepas dari peran JK untuk mengamankan bisnisnya.
Kini, hasil pemilu presiden dengan berbagai sengketanya sudah tinggal memantapkan kemenangan SBY-Boediono. Tidak banyak pilihan bagi JK. Pulang kampung, sebagaimana yang JK bilang kemarin adalah opsi yang paling realistis saat ini.
Putusan MK telah jatuh. MK menolak gugatan pasca pemilu. Dengan demikian, SBY semakin memantapkan kemenangannya. Adapun JK yang memang sudah siap untuk pulang kampung tidak perlu lagi pusing dengan urusan partai: Golkar oposisi atau merapat ke Demokrat? Dimana mau diadakan Munas? Sulsel atau Riau, siapa calon kuat Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, atau Ferry Mursyidan Baldan. JK tidak perlu repot lagi mengurusi yang demikian. JK cukup datang pada acara Munas nanti, memberikan pertanggungjawabannya dan selesai urusan. Pulang kampung, seperti yang JK bilang waktu debat capres.
Beberapa suara yang menahan kepulangannya dengan alasan figur JK terlanjur melekat pada bangsa ini saya harap tidak jadi alasan menunda atau bahkan menahan kepulangan JK ke kampung halamannya. Suara-suara itu hanyalah bentuk ewuh pakewuh bangsa ini. Dan terlebih lagi dengan berbagai tawaran posisi fungsional dan struktural bagi JK yang sudah menyatakan pensiun sangat tidak layak karena hanya jadi simbolisasi belaka. Biarkan JK pulang membangun Indonesia Timur yang lebih baik karena tidak aneh buat pebisnis seperti JK bila harus sarapan Coto Makassar dan Es Palubutung, lalu makan siang nasi timbel di Kampung Daun, Lembang, dan makan malam di J.W Marriot Medan.
Kelapa Gading, 14 Agustus 2009
*) We hate it when our friends become successful, dinyanyikan oleh Morissey
Mungkin juga, saat tulisan ini ditulis, JK sedang menggumamkan lagu itu sambil berkemas untuk meninggalkan rumah dinasnya dan kembali ke kampung halamannya di Makassar sana. Sambil mendendangkan lagu itu juga, bisa saja JK sedang duduk di kursi malasnya sambil membaca berita dari harian-harian ibukota yang headlinenya dipenuhi polemik setelah usainya pemilu presiden. JK tentu sedang fokus pada gugatan yang diajukannya pada MK dan itu pula yang akan menjadi pusat perhatiannya.
Sebagai manusia, sudah fitrahnya untuk merasakan yang demikian itu. Wajar sekali perasaan itu muncul sebagai reaksi atas kegagalan dan kekalahan dalam persaingan. Apalagi, kalau ternyata kita baru tersadar bahwa yang mengalahkan kita adalah kawan seperjuangan. Kawan yang selalu menemani sejak zamannya kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati hingga bersama berdua membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, yang akan segera expired sebentar lagi.
Adalah kawan kita juga yang mengalahkan kita, kawan yang pernah bersama-sama menuntaskan kasus Balibo Five lalu membujuk Hassan Tiro untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Kawan kita juga yang menemani di ruangan siding untuk bertukar pendapat mengenai masalah rakyat. Mulai dari bagaimana caranya membagi subsidi minyak pada rakyat hingga menutup semburan lumpur Lapindo.
Banyak pula pencapaian yang diraih semenjak kita memutuskan untuk menjadi partner dan teammate. Sebagai contoh saja, swasembada beras yang kembali dicapai sejak 1985. Kemudian, ternyata kawan kita juga menyetujui penyaluran BLT sebagai satu cara mengurangi beban rakyat miskin padahal banyak kalangan menganggap bahwa BLT hanya menjadikan rakyat sebagai pengemis. Belum lagi, kawan kita ini juga mendukung program pendidikan BOP-BOS yang sekarang ngetop dengan sebutan “Sekolah Gratis”. Di sisi lain, partnership yang terjalin juga menjanjikan bagi stabilitas ekonomi makro maupun mikro. Indikator pertumbuhan ekonomi terlihat membaik. Itu hanya beberapa gambaran saja bahwa kawan kita ini tidak salah pilih kawan untuk menemaninya duduk di singgasana tertinggi negeri ini.
*****
Kalau bukan karena mesin politik yang mogok dan sedang turun mesin di bengkel sebelah tentu akan jadi lain ceritanya. Sebab musabab mogoknya mesin politik JK ini masih menjadi pertanyaan besar yang perlahan mulai terkuak. Padahal, perolehan jumlah suara Partai Golkar di Pemilu Legislatif kemarin cukup besar. Dengan menjadi runner-up dibelakang Partai Demokrat dan sedikit diatas PDI-P, seharusnya jumlah perolehan suara JK di Pilpres tidak anjlok secara drastis.Kemungkinan terbesar sebagai penyebab mogoknya mesin politik Golkar di Pilpres 2009 adalah hilangnya suara kader-kader Golkar di daerah. Ini adalah dugaan yang paling masuk akal mengingat partai peninggalan Orde Baru ini masih mempunyai basis pendukung yang loyal di beberapa daerah. Terbukti ketika Pemilu Legislatif 2004, partai ini mendominasi perolehan suara baik di pusat maupun di daerah. Namun, politik tidak butuh masa lalu. Kejayaan masa lalu seketika akan menjadi omong kosong belaka karena kenyataan hari ini. Kenyataan saat ini, Golkar kehilangan banyak suara. Suara Golkar pecah. Diduga pecahan suara ini mengalir pada kubu Demokrat yang menusung SBY-Boediono. Akar rumput Golkar ditebas habis oleh Demokrat.
Dengan kata lain, JK dan Golkar dikompori dan digembosi oleh kadernya sendiri. Ketika hasil pemilu legislatif melalui quickcount merebak diberbagai media, muncul isu dan wacana bahwa Golkar harus mengusung calon presiden sendiri bila perolehan suaranya mampu melewati 20% electoral threshold. JK sebagai Pemimpin Partai tentu saat itu sedang bingung. Jalan manakah yang harus ditempuh. JK mungkin masih ingin menjadi pendamping SBY dengan ikut berkoalisi ke Demokrat tetapi suara-suara dari daerah menyatakan bahwa sebagai partai yang eksistensinya telah diakui (secara politis) harus mampu mengusung calon presiden sendiri. Tidak asal sekedar berkoalisi. Dalam hatinya mengisyaratkan bahwa ia masih ingin punya kuasa atas negeri ini.
Banyaknya desakan yang demikian kemudian membuat Partai Golkar harus membuat pertemuan dengan mengumpulkan DPD-DPD se Indonesia di markas besarnya di Slipi. Tentunya, perdebatan alot terjadi. Antara mereka yang mendukung JK untuk naik sebagai capres dari Golkar dan mereka yang mendukung koalisi dengan Demokrat. Hasilnya, sudah kita tahu sendiri. Golkar merestui JK untuk naik sebagai capres ditemani dengan “pesakitan” Golkar yang membentuk Partai Hanura, Wiranto.
Sebagai partai yang punya harga diri, Golkar telah memutuskan untuk menceraikan JK dari SBY dan jadi the real contender for next presidential bid (mengikuti istilah The Jakarta Post). JK pun menerima keputusan tersebut dan maju jadi capres yang diusung koalisi Golkar dan Hanura. Saat itu, saya yakin JK telah bersiap untuk menerima hasil yang terburuk sekalipun, yaitu kekalahan. Kekalahan yang dimaksud adalah tidak lagi menjadi wakil presiden bersama SBY lalu tidak kebagian posisi sentral dalam tata pemerintahan Kabinet mendatang. Agaknya, inilah yang sempat membuat JK kelihatan ragu untuk maju sebagai capres. Sebagian bisnis JK memang berurusan dengan negara. Pemilihan Sofyan Jalil sebagai Meneg BUMN pun tidak lepas dari peran JK untuk mengamankan bisnisnya.
Kini, hasil pemilu presiden dengan berbagai sengketanya sudah tinggal memantapkan kemenangan SBY-Boediono. Tidak banyak pilihan bagi JK. Pulang kampung, sebagaimana yang JK bilang kemarin adalah opsi yang paling realistis saat ini.
*****
Putusan MK telah jatuh. MK menolak gugatan pasca pemilu. Dengan demikian, SBY semakin memantapkan kemenangannya. Adapun JK yang memang sudah siap untuk pulang kampung tidak perlu lagi pusing dengan urusan partai: Golkar oposisi atau merapat ke Demokrat? Dimana mau diadakan Munas? Sulsel atau Riau, siapa calon kuat Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, atau Ferry Mursyidan Baldan. JK tidak perlu repot lagi mengurusi yang demikian. JK cukup datang pada acara Munas nanti, memberikan pertanggungjawabannya dan selesai urusan. Pulang kampung, seperti yang JK bilang waktu debat capres.
Beberapa suara yang menahan kepulangannya dengan alasan figur JK terlanjur melekat pada bangsa ini saya harap tidak jadi alasan menunda atau bahkan menahan kepulangan JK ke kampung halamannya. Suara-suara itu hanyalah bentuk ewuh pakewuh bangsa ini. Dan terlebih lagi dengan berbagai tawaran posisi fungsional dan struktural bagi JK yang sudah menyatakan pensiun sangat tidak layak karena hanya jadi simbolisasi belaka. Biarkan JK pulang membangun Indonesia Timur yang lebih baik karena tidak aneh buat pebisnis seperti JK bila harus sarapan Coto Makassar dan Es Palubutung, lalu makan siang nasi timbel di Kampung Daun, Lembang, dan makan malam di J.W Marriot Medan.
Kelapa Gading, 14 Agustus 2009
*) We hate it when our friends become successful, dinyanyikan oleh Morissey