Bom meledak lagi. Kemudian meledak lagi. Dan tetap meledak lagi. Bom meledak, teroris tertawa. Bom kembali berjoget. Menebar ketakutan, menakar kewaspadaan. Bom terlanjur jadi momok melebihi setan dan narkoba. Sudah cukup bangsa ini melihat bom sebagai wujud teror. Teror yang dilakukan segelintir manusia yang pikirannya ngawur.
Siapa yang tak kenal Amrozi, santri dari Pesantren yang tidak terkenal di Lamongan itu telah tiada. Pun begitu dengan kompatriotnya, Imam Samudra dan Doktor Azahari. Tapi bom masih juga meledak. Konon katanya, Noordin M Top lah dalangnya. Detasemen khusus telah dibentuk untuk menanggulangi setiap peristiwa yang berkaitan dengan teror bom. Interpol juga turun tangan untuk membekuk manusia pengebom itu.
Akhir pekan lalu ketika Temanggung, kota kecil di Jawa Tengah tiba-tiba jadi pusat perhatian dunia. Untuk masyarakat di Indonesia, mereka semua penasaran bagaimana caranya Polisi untuk menangkap buronan paling dicari di seantero jagad perIndonesiaan. Belum lagi, masyarakat internasional yang juga ikut menaruh perhatian karena Noordin sudah terlanjur mereka nilai sebagai pejuang penebar teror.
Sayang, sayang, sayang. Belakangan, ternyata bukan Noordin yang mati di Temanggung, tapi Ibrohim. Sayang sekali. Mudah rasanya bagi kita dan Polisi untuk terkecoh. Noordin atau bukan Noordin masalahnya akan tetap masih sama saja. Teror adalah penyakit yang harus segera disembuhkan supaya kelak jiwa kita tidak ikut rusak karenanya.
Teror ada dimana-mana. Ia hadir didalam hati, pikiran, dan tingkah laku kita. Maka, kita pun bisa dengan mudah menjadi Noordin-Noordin yang baru. Kita bisa dengan mudah menjadi seperti Noordin tanpa harus berilmu pada eks mujahidin Afghanistan yang pernah merakit high explosive bomb dan C4 untuk meledakkan tank-tank Rusia. Tidak perlu kita belajar teknologi bom nuklir di MIT sana karena ternyata seorang Amrozi pun bisa membuat ledakan yang tak kalah dahsyat dengan yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan apa yang ada pada diri kita saja sudah mudah bagi kita untuk menjadi teroris.
Fenomena teror muncul akibat pola resistensi kultural dan psikologis dari mereka-kaum yang terbuang dan terpinggirkan dari arus zaman. Karena mereka harus bertahan hidup maka masalah ideologis yang kental menjadi solusi pemecahan masalah. Dalam perasaan terbuang dan terpinggirkan itu mereka menanam dendam dalam hati dan jiwa mereka. Tubuh mereka terlanjur jadi bom waktu yang bisa meledak seenaknya mereka. Kalau sudah begitu, tinggal mencari pembenaran yang bisa melegalkan pikiran macam mereka sehingga mereka tidak ragu lagi bahwa teror adalah semacam jalan perjuangan.
Tetapi, kita pun tidak perlu menunggu atau bahkan harus merasa terbuang dan terpinggirkan lebih dahulu kalau mau jadi seperti mereka. Dalam kondisi normal pun kita sudah bisa jadi pelaku teror. Mau naik jabatan, teror saja saingan. Mau naik gaji, merongrong atasan dengan segenap alasan produktivitas dan kinerja. Mau korupsi, teror saja polisi.
Siapa yang tak kenal Amrozi, santri dari Pesantren yang tidak terkenal di Lamongan itu telah tiada. Pun begitu dengan kompatriotnya, Imam Samudra dan Doktor Azahari. Tapi bom masih juga meledak. Konon katanya, Noordin M Top lah dalangnya. Detasemen khusus telah dibentuk untuk menanggulangi setiap peristiwa yang berkaitan dengan teror bom. Interpol juga turun tangan untuk membekuk manusia pengebom itu.
Akhir pekan lalu ketika Temanggung, kota kecil di Jawa Tengah tiba-tiba jadi pusat perhatian dunia. Untuk masyarakat di Indonesia, mereka semua penasaran bagaimana caranya Polisi untuk menangkap buronan paling dicari di seantero jagad perIndonesiaan. Belum lagi, masyarakat internasional yang juga ikut menaruh perhatian karena Noordin sudah terlanjur mereka nilai sebagai pejuang penebar teror.
Sayang, sayang, sayang. Belakangan, ternyata bukan Noordin yang mati di Temanggung, tapi Ibrohim. Sayang sekali. Mudah rasanya bagi kita dan Polisi untuk terkecoh. Noordin atau bukan Noordin masalahnya akan tetap masih sama saja. Teror adalah penyakit yang harus segera disembuhkan supaya kelak jiwa kita tidak ikut rusak karenanya.
Teror ada dimana-mana. Ia hadir didalam hati, pikiran, dan tingkah laku kita. Maka, kita pun bisa dengan mudah menjadi Noordin-Noordin yang baru. Kita bisa dengan mudah menjadi seperti Noordin tanpa harus berilmu pada eks mujahidin Afghanistan yang pernah merakit high explosive bomb dan C4 untuk meledakkan tank-tank Rusia. Tidak perlu kita belajar teknologi bom nuklir di MIT sana karena ternyata seorang Amrozi pun bisa membuat ledakan yang tak kalah dahsyat dengan yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan apa yang ada pada diri kita saja sudah mudah bagi kita untuk menjadi teroris.
Fenomena teror muncul akibat pola resistensi kultural dan psikologis dari mereka-kaum yang terbuang dan terpinggirkan dari arus zaman. Karena mereka harus bertahan hidup maka masalah ideologis yang kental menjadi solusi pemecahan masalah. Dalam perasaan terbuang dan terpinggirkan itu mereka menanam dendam dalam hati dan jiwa mereka. Tubuh mereka terlanjur jadi bom waktu yang bisa meledak seenaknya mereka. Kalau sudah begitu, tinggal mencari pembenaran yang bisa melegalkan pikiran macam mereka sehingga mereka tidak ragu lagi bahwa teror adalah semacam jalan perjuangan.
Tetapi, kita pun tidak perlu menunggu atau bahkan harus merasa terbuang dan terpinggirkan lebih dahulu kalau mau jadi seperti mereka. Dalam kondisi normal pun kita sudah bisa jadi pelaku teror. Mau naik jabatan, teror saja saingan. Mau naik gaji, merongrong atasan dengan segenap alasan produktivitas dan kinerja. Mau korupsi, teror saja polisi.
***
Kita adalah teroris. Dimanapun kita berada kita dapat merubah diri secepat mungkin. Berbagai jerat lingkungan yang menghiasi hidup kita bisa menjadi penunjuk jalan kea rah sana. Berhati-hatilah, karena setiap ketidakpuasan yang anda alami akan menggoyahkan jiwa dan pikiran anda. Lebih parah, hati anda tergerak untuk melakukan sesuatu yang radikal seperti teror itu tadi. Teror tidak selalu harus teror bom. Masih ada teror lainnya. Teror psikologis, teror sosial, ataupun teror budaya.
Kita adalah teroris. Teroris pada diri sendiri. Selalu menolak pada kemapanan sistem birokrasi yang terlanjur membudaya dan mengontrol tata kosmos kehidupan ini. Jiwa-jiwa teroris dalam diri terbentuk dari keengganan untuk beradaptasi. Jiwa-jiwa teroris ini tetap hidup dalam jiwa yang selalu memberontak. Jiwa-jiwa teroris adalah jiwa yang melawan segala sistem yang bobrok yang tidak lagi menjadikan manusia sebagai manusia. Bila Tuhan bisa diteror, tentu akan kita teror juga. Sayangnya, Tuhan punya sistem peringatan teror yang canggih dibanding dengan CIA sekalipun. Sebelum kita meneror Tuhan, kita sudah keok duluan.
Kesatuan jiwa-jiwa teroris akan mengundang manfaat ketika digunakan benar-benar pada hal yang sesuai pada tempatnya. Manfaatkan jiwa-jiwa teroris untuk melawan segala sesuatu yang tidak memanusiakan manusia. Lawanlah segala bentuk penindasan di era neoliberal ini hingga tegaknya keadilan bagi si kaya dan si miskin. Jadikan manusia kembali pada fitrahnya. Jadikan, jiwa-jiwa teroris sebagai kekuatan. Bersatu padu untuk melawan pembodohan-pembodohan di sekitar kita.
Kelapa Gading, 14 Agustus 2009
*) Terinspirasi dari tulisan berjudul “Santri Teror” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” Penerbit Buku Kompas, 2007. Hal. 91
Kita adalah teroris. Teroris pada diri sendiri. Selalu menolak pada kemapanan sistem birokrasi yang terlanjur membudaya dan mengontrol tata kosmos kehidupan ini. Jiwa-jiwa teroris dalam diri terbentuk dari keengganan untuk beradaptasi. Jiwa-jiwa teroris ini tetap hidup dalam jiwa yang selalu memberontak. Jiwa-jiwa teroris adalah jiwa yang melawan segala sistem yang bobrok yang tidak lagi menjadikan manusia sebagai manusia. Bila Tuhan bisa diteror, tentu akan kita teror juga. Sayangnya, Tuhan punya sistem peringatan teror yang canggih dibanding dengan CIA sekalipun. Sebelum kita meneror Tuhan, kita sudah keok duluan.
Kesatuan jiwa-jiwa teroris akan mengundang manfaat ketika digunakan benar-benar pada hal yang sesuai pada tempatnya. Manfaatkan jiwa-jiwa teroris untuk melawan segala sesuatu yang tidak memanusiakan manusia. Lawanlah segala bentuk penindasan di era neoliberal ini hingga tegaknya keadilan bagi si kaya dan si miskin. Jadikan manusia kembali pada fitrahnya. Jadikan, jiwa-jiwa teroris sebagai kekuatan. Bersatu padu untuk melawan pembodohan-pembodohan di sekitar kita.
Kelapa Gading, 14 Agustus 2009
*) Terinspirasi dari tulisan berjudul “Santri Teror” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” Penerbit Buku Kompas, 2007. Hal. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar