“Apa pendapat anda tentang hari Valentine dan Imlek yang jatuh bersamaan?”
“Saya rasa itu semua Cuma hari biasa dan mungkin saja kebetulan jatuh di tanggal yang sama sesuai kaidah penanggalan yang digunakan masing-masing. Selebihnya tidak jauh berbeda, mereka hanya jadi hari-hari biasa yang mengisi kalender tahunan. Yang membuat berbeda adalah makna dari masing-masing hari itu. Kalau sudah menyangkut makna, saya rasa hanya pikiran yang mampu menafsirkannya.”
“Jadi menurut anda tidak ada yang spesial?”
“Bukan begitu. Dulu juga kita pernah mengalami Idul Fitri yang bersamaan dengan hari Natal. Tentu saja ada makna khususnya, seperti kita menganggap hari ulang tahun kita sendiri yang selalu jadi momen paling spesial.”
“Kalau Valentine semua orang rasanya teringat pada bunga atau coklat, kalau yang membuat anda teringat akan Imlek?”
“Bagi saya kalau mendengar Imlek yang terbayang adalah lampion merahnya yang selalu menghadirkan perasaan rawan sekaligus menawan. Lalu, sudah tentu barongsai. Saya tidak akan pernah lupa sensasi waktu pertama kali melihat langsung penampilannya. Sungguh menghadirkan suatu perasaan yang semarak dan membahagiakan.”
“Pernah punya memori tentang hari Valentine dan Imlek?”
“Ada. Dalam ajaran Agama saya merayakan Valentine dan Imlek sudah tentu haram hukumnya, tanpa menunggu fatwa MUI karena secara eksplisit sudah ada aturannya di Al Qur’an dan Hadis. Walau begitu, namanya juga orang yang pernah muda, dulu waktu SMP saya pernah sengaja beli coklat tapi belum tahu untuk siapa, saya tunggu sampai ada yang minta sama saya, kebetulan temen sekelas yang duduk di belakang saya minta coklat, ya sudah saya kasihkan, lha wong niat awalnya buat dikasihin, kebetulan saja pas hari Valentine itu. Kalau Imlek, beda lagi, saya memang tidak punya kenangan apa-apa selain menonton barongsai secara langsung untuk pertama kalinya dalam hidup saya yang juga telah membuka pandangan saya terhadap Imlek itu sendiri, dalam konteks atau pemahaman kultural.”
“Pemahaman kultural apa yang anda maksud?”
“Begini, Imlek selain sebagai penanda tahun baru dalam sistem kalendar lunar juga telah menjadi suatu pemaknaan atas diri sendiri, Tuhan, dan lingkungan dengan cara tersendiri bagi mereka yang merayakannya. Nah, cara perayaannya ini yang kemudian berkembang menjadi budaya yang kemudian terdiferensiasi lagi menjadi tradisi . Seperti, kalau Lebaran identik dengan ketupat maka Imlek pun selalu identik dengan barongsai atau ang pao misalnya. Pemahaman kultural atas budaya dan tradisi inilah yang perlu dijaga dan dikembangkan agar masyarakat bisa menjadi lebih toleran dan bisa saling menghargai dalam lingkungan yang heterogen dan plural seperti di Indonesia ini. Saya belum bisa bicara lebih jauh karena saya juga masih dalam tahapan belajar memaknainya.”
“Kaitannya dengan kondisi dan keadaan berbangsa kita saat ini?”
“Masyarakat Indonesia ini masih dalam tahap belajar untuk bisa saling menghargai dan lebih toleran antar sesama. Untuk beberapa hal, kita bisa berkata bahwa masyarakat kita ini sudah terlalu paham dengan makhluk yang namanya demokrasi. Dalam demokrasi juga diajarkan bagaimana untuk bisa dan mampu menghargai aspek-aspek keberagaman yang ada dalam masyarakat yang serba heterogen ini walau koridor nilai-nilai masih harus dijadikan patokan dasar sehingga tidak kehilangan arah. Beberapa kasus penistaan agama misalnya, harus ditanggapi dan diselesaikan secara berbeda dengan pendekatan nilai-nilai keagamaan bukan asal beda lalu dianggap biasa dan dibela untuk dibiarkan. Saya rasa kita masih dan harus lebih banyak belajar agar tidak terjebak dalam satu pemahaman yang semu tentang demokrasi. Dalam hal ini saya hanya menyampaikan pandangan saya saja dan masih belum layak dijadikan satu patokan atau gambaran umum tentang kondisi sebenarnya. Tentunya masih diperlukan suatu penelitian dan studi khusus tentang pemahaman kultural masyarakat Indonesia terhadap budaya dan tradisi Imlek ini. Mungkin, dengan disertasi doktoral yang tidak mungkin terbantahkan.”
“Menurut anda, bila masyarakat kita sudah mencapai tahap pemahaman kultural seperti yang anda maksudkan tadi lalu apa implikasinya terhadap masyarakat itu sendiri?”
“Implikasi lebih jauh tentu akan tampak dalam zaman yang serba globalisasi ini. C-AFTA (China-Asean Free Trade Area) sudah didepan mata. Apabila masyarakat Indonesia sudah mempunyai pemahaman kultural yang baik dan berhasil di negerinya sendiri, sudah barang tentu dalam pergaulan tanpa batas di dunia ini masyarakat Indonesia dapat melakukan hal yang sama terhadap bangsa-bangsa lainnya dengan interaksi antar-kultural sehingga dalam globalisasi ini kita tidak hanya jadi penonton tapi sudah harus bisa jadi pemain yang punya perannya sendiri dalam pergaulan antar bangsa. Intinya adalah membangun kepercayaan bahwa kita ini layak diperhitungkan sebagai warga dunia. Jadi, jangan sampai masyarakat internasional itu hanya tahu ramahnya orang Indonesia itu seperti ramahnya orang Bali atau Jogja saja, walau kadang kenyataannya masih menunjukkan demikian.”
“Kita beralih topik, apa tanggapan anda tentang rencana kedatangan Obama ke Indonesia?”
“Saya anggap itu hanya kunjungan dinas biasa tentunya dengan berbagai misi dan kepentingan AS di Indonesia. Dan kebetulan memang Presiden SBY pernah sekolah militer di Fort Ranger, AS dan Obama pernah juga sekolah di Menteng, ada nuansa sentimental tersisip didalamnya selain urusan-urusan diplomatik. Saya kira Obama sengaja datang ke Indonesia untuk sekedar melihat Patungnya di Taman Menteng. Mungkin ia heran kenapa patungnya bisa sampai sebab musabab class action masyarakat yang sedang disidangkan di pengadilan. Mungkin juga ia merasa bangga karena patungnya ditempatkan di sebuah taman yang cukup representatif dan memorial bukan di tengah jalan raya seperti patungnya Jenderal Sudirman yang nongkrong dengan hebatnya sambil hormat kepada kapitalisme global yang ditandai dengan macam-macam skyscrapers dihadapannya. Sungguh menarik sekaligus gemas juga melihat bagaimana bangsa kita memperlakukan sejarahnya.”
bersambung...
Ciledug 15 Februari 2010
diterbitkan di Ciledug 21 Februari 2010
“Saya rasa itu semua Cuma hari biasa dan mungkin saja kebetulan jatuh di tanggal yang sama sesuai kaidah penanggalan yang digunakan masing-masing. Selebihnya tidak jauh berbeda, mereka hanya jadi hari-hari biasa yang mengisi kalender tahunan. Yang membuat berbeda adalah makna dari masing-masing hari itu. Kalau sudah menyangkut makna, saya rasa hanya pikiran yang mampu menafsirkannya.”
“Jadi menurut anda tidak ada yang spesial?”
“Bukan begitu. Dulu juga kita pernah mengalami Idul Fitri yang bersamaan dengan hari Natal. Tentu saja ada makna khususnya, seperti kita menganggap hari ulang tahun kita sendiri yang selalu jadi momen paling spesial.”
“Kalau Valentine semua orang rasanya teringat pada bunga atau coklat, kalau yang membuat anda teringat akan Imlek?”
“Bagi saya kalau mendengar Imlek yang terbayang adalah lampion merahnya yang selalu menghadirkan perasaan rawan sekaligus menawan. Lalu, sudah tentu barongsai. Saya tidak akan pernah lupa sensasi waktu pertama kali melihat langsung penampilannya. Sungguh menghadirkan suatu perasaan yang semarak dan membahagiakan.”
“Pernah punya memori tentang hari Valentine dan Imlek?”
“Ada. Dalam ajaran Agama saya merayakan Valentine dan Imlek sudah tentu haram hukumnya, tanpa menunggu fatwa MUI karena secara eksplisit sudah ada aturannya di Al Qur’an dan Hadis. Walau begitu, namanya juga orang yang pernah muda, dulu waktu SMP saya pernah sengaja beli coklat tapi belum tahu untuk siapa, saya tunggu sampai ada yang minta sama saya, kebetulan temen sekelas yang duduk di belakang saya minta coklat, ya sudah saya kasihkan, lha wong niat awalnya buat dikasihin, kebetulan saja pas hari Valentine itu. Kalau Imlek, beda lagi, saya memang tidak punya kenangan apa-apa selain menonton barongsai secara langsung untuk pertama kalinya dalam hidup saya yang juga telah membuka pandangan saya terhadap Imlek itu sendiri, dalam konteks atau pemahaman kultural.”
“Pemahaman kultural apa yang anda maksud?”
“Begini, Imlek selain sebagai penanda tahun baru dalam sistem kalendar lunar juga telah menjadi suatu pemaknaan atas diri sendiri, Tuhan, dan lingkungan dengan cara tersendiri bagi mereka yang merayakannya. Nah, cara perayaannya ini yang kemudian berkembang menjadi budaya yang kemudian terdiferensiasi lagi menjadi tradisi . Seperti, kalau Lebaran identik dengan ketupat maka Imlek pun selalu identik dengan barongsai atau ang pao misalnya. Pemahaman kultural atas budaya dan tradisi inilah yang perlu dijaga dan dikembangkan agar masyarakat bisa menjadi lebih toleran dan bisa saling menghargai dalam lingkungan yang heterogen dan plural seperti di Indonesia ini. Saya belum bisa bicara lebih jauh karena saya juga masih dalam tahapan belajar memaknainya.”
“Kaitannya dengan kondisi dan keadaan berbangsa kita saat ini?”
“Masyarakat Indonesia ini masih dalam tahap belajar untuk bisa saling menghargai dan lebih toleran antar sesama. Untuk beberapa hal, kita bisa berkata bahwa masyarakat kita ini sudah terlalu paham dengan makhluk yang namanya demokrasi. Dalam demokrasi juga diajarkan bagaimana untuk bisa dan mampu menghargai aspek-aspek keberagaman yang ada dalam masyarakat yang serba heterogen ini walau koridor nilai-nilai masih harus dijadikan patokan dasar sehingga tidak kehilangan arah. Beberapa kasus penistaan agama misalnya, harus ditanggapi dan diselesaikan secara berbeda dengan pendekatan nilai-nilai keagamaan bukan asal beda lalu dianggap biasa dan dibela untuk dibiarkan. Saya rasa kita masih dan harus lebih banyak belajar agar tidak terjebak dalam satu pemahaman yang semu tentang demokrasi. Dalam hal ini saya hanya menyampaikan pandangan saya saja dan masih belum layak dijadikan satu patokan atau gambaran umum tentang kondisi sebenarnya. Tentunya masih diperlukan suatu penelitian dan studi khusus tentang pemahaman kultural masyarakat Indonesia terhadap budaya dan tradisi Imlek ini. Mungkin, dengan disertasi doktoral yang tidak mungkin terbantahkan.”
“Menurut anda, bila masyarakat kita sudah mencapai tahap pemahaman kultural seperti yang anda maksudkan tadi lalu apa implikasinya terhadap masyarakat itu sendiri?”
“Implikasi lebih jauh tentu akan tampak dalam zaman yang serba globalisasi ini. C-AFTA (China-Asean Free Trade Area) sudah didepan mata. Apabila masyarakat Indonesia sudah mempunyai pemahaman kultural yang baik dan berhasil di negerinya sendiri, sudah barang tentu dalam pergaulan tanpa batas di dunia ini masyarakat Indonesia dapat melakukan hal yang sama terhadap bangsa-bangsa lainnya dengan interaksi antar-kultural sehingga dalam globalisasi ini kita tidak hanya jadi penonton tapi sudah harus bisa jadi pemain yang punya perannya sendiri dalam pergaulan antar bangsa. Intinya adalah membangun kepercayaan bahwa kita ini layak diperhitungkan sebagai warga dunia. Jadi, jangan sampai masyarakat internasional itu hanya tahu ramahnya orang Indonesia itu seperti ramahnya orang Bali atau Jogja saja, walau kadang kenyataannya masih menunjukkan demikian.”
“Kita beralih topik, apa tanggapan anda tentang rencana kedatangan Obama ke Indonesia?”
“Saya anggap itu hanya kunjungan dinas biasa tentunya dengan berbagai misi dan kepentingan AS di Indonesia. Dan kebetulan memang Presiden SBY pernah sekolah militer di Fort Ranger, AS dan Obama pernah juga sekolah di Menteng, ada nuansa sentimental tersisip didalamnya selain urusan-urusan diplomatik. Saya kira Obama sengaja datang ke Indonesia untuk sekedar melihat Patungnya di Taman Menteng. Mungkin ia heran kenapa patungnya bisa sampai sebab musabab class action masyarakat yang sedang disidangkan di pengadilan. Mungkin juga ia merasa bangga karena patungnya ditempatkan di sebuah taman yang cukup representatif dan memorial bukan di tengah jalan raya seperti patungnya Jenderal Sudirman yang nongkrong dengan hebatnya sambil hormat kepada kapitalisme global yang ditandai dengan macam-macam skyscrapers dihadapannya. Sungguh menarik sekaligus gemas juga melihat bagaimana bangsa kita memperlakukan sejarahnya.”
bersambung...
Ciledug 15 Februari 2010
diterbitkan di Ciledug 21 Februari 2010