“Kenapa datang kemari?”
“Aku merasa harus menemuimu sekarang.”
“Untuk?”
“I dont know exactly but i have to see you now.”
“For what reason?”
Aku menemuinya di suatu sore yang biasa bahkan hampir mendung ketika cahaya matahari mulai terbenam. Akhir-akhir ini aku merasa harus menemuinya. Ada yang ingin aku bicarakan tetapi aku tidak yakin apakah aku dapat mengungkapkannya. Harus kuakui lelaki ini memang pandai membuatku jatuh hati. Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan untuk menemuinya. Aku selalu bisa menemuinya kapanpun aku mau tanpa harus membuat janji lebih dulu. Aku selalu tahu dimana lelaki itu berada. Ia pun tidak pernah merasa kaget bila tiba-tiba bertemu denganku. Aku hanya khawatir akan ada sesuatu yang terjadi. Apakah itu, aku belum tahu.
“Dia sudah cerita?”
“Tidak, tapi aku sudah tahu.”
“So, what do you think?”
“I dont want to discuss on that things right now.”
“Terus, kamu mau ngapain? Seharian menunggu gelap?”
“Aku harus pergi.”
“Kemana?”
“Bukan urusanmu.”
“Katakan kemana?”
“Apa itu penting buatmu?”
“Aku pergi untuk diriku sendiri saja, tak perlu ada orang lain yang tahu apalagi sampai peduli.”
“Kamu selalu begitu.”
“Ya, beginilah aku.”
“Kamu memang tidak pernah peduli.”
“Peduli apa lagi? Perasaanmu?”
“...............”
Benar saja. Aku mengalami kegugupan luar biasa saat menghadapinya. Lelaki itu terlihat tidak seperti biasanya. Seperti ia sudah tahu semuanya. Barangkali juga ia sudah tahu aku menyimpan perasaan untuknya. Seperti yang aku kenal, lelaki ini akan pergi begitu saja. Entah karena tidak mampu meredam perasaannya sendiri atau karena hal lain tetapi aku merasa berhak untuk suatu penjelasan. Walau pada akhirnya, mungkin ia akan meninggalkanku lagi.
Aku memang berhak untuk mendapatkan penjelasannya. Aku juga ingin tahu apa alasannya. Apakah setelah pertemuan dengan kekasihnya kemarin lantas ia memutuskan untuk pergi? Aku rasa masih banyak kemungkinan.
“Jawab, Mbak. Apakah itu?”
“...............”
“Kalau Mbak nggak mau bilang sekarang juga tidak apa-apa. Aku akan tetap pergi.”
“Kenapa harus pergi?”
“Aku harus pergi. Mungkin untuk mencari sebatang rumput di padang ilalalang.”
“Aku ikut denganmu.”
“Tidak, Mbak. Untuk apa?”
“Aku ikut denganmu.”
“Tidak. Tidak, Mbak.”
“Aku harus menemukan hidupku sendiri.”
“Bukankah kita bisa mencarinya bersama-sama.”
“Kita?”
“Ya. Kita. Kamu dan aku.”
“Mbak, sudah terlanjur punya hidup sendiri disini. Mengapa harus menyiakannya untuk orang seperti aku ini?”
“Aku percaya padamu.”
“Mbak, tolong mengerti.”
“Aku harus ikut denganmu.”
“Tidak, Mbak. Tidak.”
“Kenapa kamu selalu menolak? Kamu memang tidak peduli!”
“Ya, aku memang tidak pernah peduli. Aku hanya peduli diriku sendiri saja.”
Tiba-tiba aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Aku kehilangan kontrol atas perkataanku. Aku datang menemuinya hanya untuk sekedar bicara tetapi yang terjadi malah jauh dari itu. Bahkan, aku hampir terlibat dalam konfrontasi dengannya. Aku terus mendesaknya. Aku terlalu memaksanya untuk sebuah penjelasan yang kuinginkan. Aku pikir, ketika seseorang ingin meninggalkanmu kau tentu berharap sebuah penjelasan walau kadang tak adil untukmu. Aku merasa berhak untuk mendapatkan penjelasan itu sebelum lelaki itu benar-benar pergi.
“Sekarang katakan kenapa kamu harus pergi?”
“Aku merasa sudah saatnya.”
“Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, kepadanya, kepadaku?”
“Maksud, Mbak?”
“Ya, kamu telah meninggalkan kesan yang dalam, tidak hanya padanya tetapi juga kepadaku. Alangkah bodohnya aku karena ternyata kamu sama saja.”
“Itu karena aku lelaki.”
“Seperti teko!”
“Dia juga bilang begitu.”
“Kenapa kamu harus pergi? Kamu ingin menjauh dariku?”
“Bukan begitu.”
“Lalu?”
“Ada sesuatu yang mengganggu.”
“Aku harap itu bukan aku.”
“Memang, Mbak. Itu bukan Mbak.”
“Lalu apa?”
“Aku tidak bisa ceritakan sekarang.”
“Apakah mimpi-mimpimu mengejarmu lagi?”
“Kurang lebih begitu.”
“Mimpi macam apa?”
“Kenapa Mbak harus tahu?”
“Karena aku ingin mengetahuinya.”
“Percuma, tidak akan ada artinya Mbak.”
“Pasti ada. Setidaknya aku tidak akan terlalu penasaran kalau kamu jadi pergi.”
“Percayalah, Mbak. Aku tidak akan melupakan apa yang telah terjadi.”
“Gampang sekali kamu bilang begitu.”
“Itulah gunanya mulut dan lidah yang tak bertulang.”
“Katakan kenapa?”
“Kamu tidak akan mengerti, Mbak”
“Katakan kenapa?”
“Percuma saja, Mbak. Tidak ada lagi yang harus diceritakan. Selamat tinggal.”
Aku mencoba untuk menahannya. Dekapan tangannya membuatku tak kuasa untuk menahannya lagi. Ia tidak mungkin berlaku kasar kepadaku. Aku mendengar ia membisikkan sesuatu.
“You always know where i am.”
Aku berteriak memanggil namanya. Lelaki itu terus berlalu menjauh tidak menghiraukanku. Aku mulai menangis namun masih memanggil namanya. Aku tidak bisa mengejarnya. Aku mematung di sisi jalanan yang mulai sepi. Aku mencoba untuk menerima kenyataan ini. Bahwa, betapa kini aku rasakan perasaan yang sangat kosongnya. Aku mungkin telah kehilangan lelaki itu. Tetapi bisa saja tidak, kalau barangkali pesan terakhirnya itu memang benar.
Paninggilan, 24 April 2010, 16.49
“Aku merasa harus menemuimu sekarang.”
“Untuk?”
“I dont know exactly but i have to see you now.”
“For what reason?”
Aku menemuinya di suatu sore yang biasa bahkan hampir mendung ketika cahaya matahari mulai terbenam. Akhir-akhir ini aku merasa harus menemuinya. Ada yang ingin aku bicarakan tetapi aku tidak yakin apakah aku dapat mengungkapkannya. Harus kuakui lelaki ini memang pandai membuatku jatuh hati. Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan untuk menemuinya. Aku selalu bisa menemuinya kapanpun aku mau tanpa harus membuat janji lebih dulu. Aku selalu tahu dimana lelaki itu berada. Ia pun tidak pernah merasa kaget bila tiba-tiba bertemu denganku. Aku hanya khawatir akan ada sesuatu yang terjadi. Apakah itu, aku belum tahu.
“Dia sudah cerita?”
“Tidak, tapi aku sudah tahu.”
“So, what do you think?”
“I dont want to discuss on that things right now.”
“Terus, kamu mau ngapain? Seharian menunggu gelap?”
“Aku harus pergi.”
“Kemana?”
“Bukan urusanmu.”
“Katakan kemana?”
“Apa itu penting buatmu?”
“Aku pergi untuk diriku sendiri saja, tak perlu ada orang lain yang tahu apalagi sampai peduli.”
“Kamu selalu begitu.”
“Ya, beginilah aku.”
“Kamu memang tidak pernah peduli.”
“Peduli apa lagi? Perasaanmu?”
“...............”
Benar saja. Aku mengalami kegugupan luar biasa saat menghadapinya. Lelaki itu terlihat tidak seperti biasanya. Seperti ia sudah tahu semuanya. Barangkali juga ia sudah tahu aku menyimpan perasaan untuknya. Seperti yang aku kenal, lelaki ini akan pergi begitu saja. Entah karena tidak mampu meredam perasaannya sendiri atau karena hal lain tetapi aku merasa berhak untuk suatu penjelasan. Walau pada akhirnya, mungkin ia akan meninggalkanku lagi.
Aku memang berhak untuk mendapatkan penjelasannya. Aku juga ingin tahu apa alasannya. Apakah setelah pertemuan dengan kekasihnya kemarin lantas ia memutuskan untuk pergi? Aku rasa masih banyak kemungkinan.
“Jawab, Mbak. Apakah itu?”
“...............”
“Kalau Mbak nggak mau bilang sekarang juga tidak apa-apa. Aku akan tetap pergi.”
“Kenapa harus pergi?”
“Aku harus pergi. Mungkin untuk mencari sebatang rumput di padang ilalalang.”
“Aku ikut denganmu.”
“Tidak, Mbak. Untuk apa?”
“Aku ikut denganmu.”
“Tidak. Tidak, Mbak.”
“Aku harus menemukan hidupku sendiri.”
“Bukankah kita bisa mencarinya bersama-sama.”
“Kita?”
“Ya. Kita. Kamu dan aku.”
“Mbak, sudah terlanjur punya hidup sendiri disini. Mengapa harus menyiakannya untuk orang seperti aku ini?”
“Aku percaya padamu.”
“Mbak, tolong mengerti.”
“Aku harus ikut denganmu.”
“Tidak, Mbak. Tidak.”
“Kenapa kamu selalu menolak? Kamu memang tidak peduli!”
“Ya, aku memang tidak pernah peduli. Aku hanya peduli diriku sendiri saja.”
Tiba-tiba aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Aku kehilangan kontrol atas perkataanku. Aku datang menemuinya hanya untuk sekedar bicara tetapi yang terjadi malah jauh dari itu. Bahkan, aku hampir terlibat dalam konfrontasi dengannya. Aku terus mendesaknya. Aku terlalu memaksanya untuk sebuah penjelasan yang kuinginkan. Aku pikir, ketika seseorang ingin meninggalkanmu kau tentu berharap sebuah penjelasan walau kadang tak adil untukmu. Aku merasa berhak untuk mendapatkan penjelasan itu sebelum lelaki itu benar-benar pergi.
“Sekarang katakan kenapa kamu harus pergi?”
“Aku merasa sudah saatnya.”
“Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, kepadanya, kepadaku?”
“Maksud, Mbak?”
“Ya, kamu telah meninggalkan kesan yang dalam, tidak hanya padanya tetapi juga kepadaku. Alangkah bodohnya aku karena ternyata kamu sama saja.”
“Itu karena aku lelaki.”
“Seperti teko!”
“Dia juga bilang begitu.”
“Kenapa kamu harus pergi? Kamu ingin menjauh dariku?”
“Bukan begitu.”
“Lalu?”
“Ada sesuatu yang mengganggu.”
“Aku harap itu bukan aku.”
“Memang, Mbak. Itu bukan Mbak.”
“Lalu apa?”
“Aku tidak bisa ceritakan sekarang.”
“Apakah mimpi-mimpimu mengejarmu lagi?”
“Kurang lebih begitu.”
“Mimpi macam apa?”
“Kenapa Mbak harus tahu?”
“Karena aku ingin mengetahuinya.”
“Percuma, tidak akan ada artinya Mbak.”
“Pasti ada. Setidaknya aku tidak akan terlalu penasaran kalau kamu jadi pergi.”
“Percayalah, Mbak. Aku tidak akan melupakan apa yang telah terjadi.”
“Gampang sekali kamu bilang begitu.”
“Itulah gunanya mulut dan lidah yang tak bertulang.”
“Katakan kenapa?”
“Kamu tidak akan mengerti, Mbak”
“Katakan kenapa?”
“Percuma saja, Mbak. Tidak ada lagi yang harus diceritakan. Selamat tinggal.”
Aku mencoba untuk menahannya. Dekapan tangannya membuatku tak kuasa untuk menahannya lagi. Ia tidak mungkin berlaku kasar kepadaku. Aku mendengar ia membisikkan sesuatu.
“You always know where i am.”
Aku berteriak memanggil namanya. Lelaki itu terus berlalu menjauh tidak menghiraukanku. Aku mulai menangis namun masih memanggil namanya. Aku tidak bisa mengejarnya. Aku mematung di sisi jalanan yang mulai sepi. Aku mencoba untuk menerima kenyataan ini. Bahwa, betapa kini aku rasakan perasaan yang sangat kosongnya. Aku mungkin telah kehilangan lelaki itu. Tetapi bisa saja tidak, kalau barangkali pesan terakhirnya itu memang benar.
Paninggilan, 24 April 2010, 16.49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar