We never talked about it, but i hear the blame was mine*
Perceraian adalah bukan suatu pembenaran atas alasan untuk berpisah. Setidaknya, begitulah kata Anita. Perceraiannya dengan Haris memang sudah seharusnya terjadi. Anita sudah tidak punya alasan lagi untuk tetap mencintai Haris. Haris sendiri lebih mencintai pekerjaannya ketimbang keluarga kecil yang susah payah mereka bangun bersama. Aku kini berdua saja dengan Anita. Usai menjalani hari yang melelahkan demi mendengarkan keputusan Hakim yang mengesahkan perceraian Anita dengan Haris.
Perceraian adalah bukan suatu pembenaran atas alasan untuk berpisah. Setidaknya, begitulah kata Anita. Perceraiannya dengan Haris memang sudah seharusnya terjadi. Anita sudah tidak punya alasan lagi untuk tetap mencintai Haris. Haris sendiri lebih mencintai pekerjaannya ketimbang keluarga kecil yang susah payah mereka bangun bersama. Aku kini berdua saja dengan Anita. Usai menjalani hari yang melelahkan demi mendengarkan keputusan Hakim yang mengesahkan perceraian Anita dengan Haris.
Kami duduk bersama menghadap jendela besar dari sebuah kafe di lantai paling atas gedung yang menampilkan kemegahan kota yang tidak pernah tidur ini. Malam menyamarkan keangkuhan kota ini dalam gelap. Kami duduk sambil menatap gelas kami masing-masing. Anggur Perancis yang telah kami pesan masih setengah penuh. Sementara gelas kami mulai menagih untuk diisi. Entah sudah berapa kali aku dan Anita melampiaskan segala kekecewaan dengan meminum bergelas-gelas anggur ini dalam sekali teguk. Rasanya masih sama seperti dulu saat aku dan Anita masih jadi pegawai di kantor yang sama. Kami merayakan gaji pertama kami dengan sesuatu yang disebut “Wine-Wine Solution”. Suatu perayaan yang selalu kami lakukan setidaknya setiap seorang dari kami berulang tahun.
Cahaya remang dari lampu-lampu kafe ini membuat suasana semakin syahdu. Musik yang mengalun pelan nan lembut ini ikut menghadirkan suasana sentimental penuh romantisme. Tamu-tamu mulai berdatangan. Mereka datang dengan pasangan mereka masing-masing. Entah itu suami-istri, sepasang kekasih yang merayakan cinta mereka, atau malah sepasang kekasih yang sedang berselingkuh dari kenyataan cinta mereka. Aku melihat si lelaki menggenggam mesra tangan kekasihnya, satu yang akan duduk di pojok itu tampak memegang punggung perempuan disampingnya. Aroma cinta menyeruak dalam keremangan serupa cahaya senja.
Aku jadi ingat waktu pertama kali mengajak Anita kesini. Anita memang sudah berpacaran dengan Haris. Keduanya sudah sangat siap untuk melanjutkan perjalanan biduk cinta mereka menuju mahligai pernikahan. Aku sengaja mengajak Anita makan malam berdua hanya untuk menjelaskan perasaanku saja. Aku mengatakan apa yang sudah seharusnya aku katakan bertahun-tahun lalu. Bahwa aku sangat menyayangi Anita dan mencintainya sejak “Wine-Wine Solution” kami yang pertama. Aku tidak menuntut jawaban dari Anita. Aku hanya ingin Anita tahu. Itu saja. Aku tidak berharap lebih.
Anita malam ini banyak bercerita tentang kehidupannya yang kemarin bersama Haris. Munafik sekali rasanya untuk menganggap cerita hidupnya itu sebagai suatu kesalahan. Bukankah Anita telah memilih untuk menjalani hidupnya yang kemarin itu, bersama Haris. Anita mengulang kembali kisah cintanya dengan Haris. Tentang malam pertama Haris menyatakan cintanya pada Anita, tentang semua pertengkaran yang menguji kesetiaan cinta mereka, hingga saat-saat yang menentukan ketika Anita menerima lamaran Haris.
Aku selalu jadi pendengar yang baik untuk semua cerita Anita. Barangkali, itu adalah kemampuanku yang utama diantara segenap kelemahan yang bersemayam dalam diriku. Kadang terlintas dalam pikiranku seandainya aku ini punya bakat menulis tentu cerita-cerita Anita ini sudah jadi sebuah buku. Buku yang bersumber dari kisah nyata tentang kekuatan seorang perempuan untuk bertahan dan berjuang demi cintanya.
“Kau tahu, aku tidak pernah berpikir akan berakhir seperti ini.”
“Memang Nit, kita tidak pernah tahu sebelum menjalaninya sendiri.”
“Sok bijak.”
“You know me so well, right?”
Anita tanpak santai sekali malam ini. Air mukanya terlihat lebih segar. Segala beban akibat urusan perceraian kemarin terbayar lunas tadi siang. Anita Kirana Prasasti resmi bercerai dari Haris Gunawan. Anita masih tampak melamun.
“So, gimana dengan Niki?” tanyaku memecah sepi.
“Niki ikut denganku. Aku akan jadi single-mother. That’s it”
Dari pernikahannya dengan Haris, Anita diberkahi seorang anak perempuan. Niki Indah Prasasti. Umurnya masih dua tahun dan masih terlalu kecil untuk tahu apa yang telah terjadi dengan kedua orang tua mereka. Malam ini, saat aku dan Anita duduk berdua menikmati botol anggur Perancis yang kedua ini, Niki telah tertidur lelap di rumah orang tua Anita. Anita sengaja menitipkan Niki disana agar kami lebih leluasa. Aku dan Orang tua Anita pun sudah saling mengenal dan akrab sekali. Tidak heran bila mereka tidak merasa risih dengan kehadiranku di sidang perceraian Anita tadi siang.
Kami benar-benar menikmati malam ini. Sejenak, aku mengajak Anita untuk menebak isi pikiran tamu lainnya di kafe ini. Seperti kataku tadi, tidak ada yang tahu status pasangan kekasih yang datang kemari. Mirip seperti dalam film “Date Night”, Aku dan Anita memainkan peran seperti Claire dan Phil. Aku dan Anita menirukan gaya dialog sepasang kekasih yang duduk di sudut sana. Berperan seolah kami sedang mengobrol mengikuti gaya mereka. Kami pun tertawa puas setelahnya. Menyenangkan sekali rasanya menertawakan kelakuan bodoh kami ini.
Sementara di sudut lain, aku melihat sepasang kekasih lainnya, mungkin yang lelaki berumur sekitar empat puluhan dan perempuan kekasihnya itu sekitar dua puluhan akhir. Mereka saling tertegun. Keduanya tampak tegang. Kekasih lelaki itu sepertinya mencoba menjelaskan sesuatu yang sangat tidak berkenan bagi kekasih perempuannya. Anita menggodaku sekali lagi untuk memainkan peran that-Date-Night-scene. Aku tidak tega tetapi bukankah penderitaan orang lain kadang jadi bahan tertawaan yang menyenangkan untuk sekedar menghilangkan kepenatan.
Usai bermain peran seperti itu, aku meminta pelayan mengganti lagu yang jadi backsound kafe ini. Aku meminta mereka memutar lagu-lagu romantis yang lain. Semoga membawa perasaan yang indah bagi semua pengunjung kafe ini. Kebetulan, selera si pemilik kafe ini boleh juga. Beberapa nomor audiophile seperti Olivia Ong dan Susan Wong mereka mainkan. Menambah semarak malam syahdu.
Dulu, lagu-lagu mereka itulah yang selalu menemani aku dan Anita mengerjakan tugas lembur di kantor. Gila juga rasanya mengerjakan laporan-laporan sialan itu dengan ditemani lagu-lagu slow semacam itu. Bukannya selesai, justru pekerjaan itu malah kami simpan untuk esok hari. Aku dan Anita malah jadi buka sesi curhat sambil menertawakan kebodohan masing-masing.
I never made promises lightly
And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We'll walk in fields of gold, we'll walk in fields of gold**
“Kamu sengaja pilih lagu ini, Gus?”
“Ya, kenapa?”
“Kamu ya, itu lagu waktu kita sering lembur tapi nggak pernah beres.” Kata Anita sembari tersenyum kecil.
Senyuman Anita itu benar-benar kulihat lagi malam ini. Senyuman yang telah lama hilang dari paras ayu kini telah kembali lagi. Aku rasa itu bukan karena pengaruh anggur yang kini tinggal seperempat botol isinya. Ada pancaran kebahagiaan dalam senyum itu.
Malam kian meninggi. Anita masih ingin bercerita. Anita tidak tampak lelah sedikit pun. Kata-kata terucap deras dari bibirnya yang tipis itu. Riuh mengalir bagai gerimis sore tadi. Anita kian bersemangat kala bercerita tentang peri kecilnya, Niki. Aku bisa merasakan kasih sayang Anita dari ceritanya. Sambil sesekali memotong steak wagyu pesanannya, Anita terus bercerita soal rencananya nanti. Anita akan menyekolahkan Niki tepat pada waktunya. Anita tidak akan memaksakan Niki untuk ikut kelas pra-sekolah. Anita tidak ingin Niki kehilangan kesempatan untuk bermain dan lebih dekat dengan orang tuanya.
Anita belum akan berhenti bercerita seandainya ponselnya tidak berbunyi.
“Gus, Niki....”
“Ada apa, Nit? Niki kenapa?”
“Kita cepat pulang, Gus.”
Anita tidak memberi penjelasan lagi. Malam kian larut membawa mimpi bagi mereka yang terlelap di bawah langit Jakarta yang tua ini. Aku segera bergegas memacu mobilku untuk sampai ke rumah orang tua Anita. Anita nampak tegang. Telapak tangannya terasa amat dingin. Aku yakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu Anita mulai menangis. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku sendiri tidak tahu masalahnya. Yang aku tahu, aku harus segera sampai ke rumah keluarga Hardjakusuma tepat waktu. Sebelum semuanya terlambat dan menyisakan penyesalan. Anita masih menangis. Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk.
Makasih Gus, sekarang aku bisa ketemu Niki setiap hari.
Paninggilan, 15 Mei 2012.
*dari lirik lagu “Do You Remember” dinyanyikan oleh Phil Collins.
** dari lirik lagu “Fields of Gold” dinyanyikan oleh Sting. Versi recycle dinyanyikan oleh Olivia Ong dalam album “Fall in Love With”.