"Waktu dulu kita jadi anak, kita gak nyusahin orangtua. Nanti kita sudah tua, kita gak nyusahin anak."
Gunawan Garnida
Kalau ada satu karya Adhitya Mulya yang perlu mendapat bintang lima alias highest appreciation tidak salah bila jatuh ke buku terbarunya ini. Sabtu Bersama Bapak bukan sekedar novel biasa. Penulisnya sengaja memasukkan unsur-unsur parenting, bagaimana mendapatkan hati seorang perempuan, serta kehidupan pra dan pasca pernikahan. Tak lupa juga, pesan sisipan penulis: being jomblo is totally wrong :D.
Untuk pembaca yang sudah terbiasa dengan buku-buku lain yang ditulis Adhitya Mulya, pasti akan menemukan klik dengan Sabtu Bersama Bapak. Sebut saja, tokoh Bapak dinamakan Gunawan Garnida. Pembaca yang familiar dengan Gege Mencari Cinta pasti bertanya-tanya apa hubungannya dengan Geladi ‘Gege’ Garnida.
Saya pun menemukan korelasi antara tulisan-tulisan di blog pribadi Adhitya Mulya, suamigila.com dengan cerita Sabtu Bersama Bapak. Planning, planning, planning, dan what if. Jika dalam buku, Satya Garnida bersama ketiga anaknya diceritakan membuat kapal perang dengan menggunakan bahan seadanya dan juga ketika ia mulai menjaga kebugaran di offshore, maka dalam dunia nyata hal itu sudah lebih dulu dipraktekkan.
Komposisi ceritanya sendiri agak sedikit kompleks. Bab pembuka sudah seperti teka-teki. Oke, penulis berhasil membuat opening yang filmis. Baru pada bab selanjutnya permainan alur ini bisa terbaca.
Kakak beradik Satya Garnida dan Cakra Garnida menjalani dua episode kehidupan berbeda. Termasuk sang Ibu, Itje Garnida, yang menyembunyikan rahasian penyakitnya. Sang kakak tampil lebih impresif dibanding sang adik. Ibu Itje tampil lebih sebagai penyeimbang dan pengingat. Nilai-nilai yang ditinggalkan Bapak mereka agaknya meresap betul. Hanya saja, sang adik lebih inferior sehingga telat mendapat jodoh.
Cakra jatuh hati pada seorang Ayu, teman kantornya. Namun, tidak semulus yang dibayangkan. Cakra harus bersaing dengan seorang bandit asmara yang mendekati Ayu juga. Sampai disini, saya terngiang lagi Project P berjudul Goodbye Ayu :)))). Ketika asa hilang, maka dua terbilang. Atas usaha Ibu Itje, akhirnya Cakra mau dikenalkan dengan anak dari teman ibunya itu. Cakra sendiri kaget karena perempuan itu adalah Ayu. Begitu pun Ayu, ia mengizinkan hatinya untuk memberi satu hari penuh untuk Cakra agar mereka bisa saling mengenal. Mereka pun akhirnya berproses hingga satu hari Cakra melamar Ayu.
Satya sendiri mengalami kehidupan pernikahan yang turun naik. Dengan pekerjaannya di kilang minyak lepas pantai, Satya agak kesulitan membagi waktu bersama keluarga. Ia sempat menjadi momok yang menakutkan bagi ketiga anaknya. Setiap pulang ke rumah, semua selalu salah di mata Satya. Alhasil, sebuah email dari Rissa membuatnya tersadar. Saya kagum bagaimana Adhitya Mulya menggambarkan usaha Satya untuk berubah. Saya yakin bahwa dalam dunia nyata pun hal itu sudah dilakukannya.
Anyway, Sabtu Bersama Bapak adalah sebuah heartwarming novel. Pembaca bisa merasakan airmata sekaligus berderai tawa dalam sekali baca. Satu kelebihan yang jarang dimiliki novel-novel bergenre sama. Ditambah lagi, nilai-nilai hubungan orang tua-anak dan yang patut dijadikan pelajaran terutama oleh pasangan-pasangan muda, baik yang menikah ataupun belum menikah.
Sabtu Bersama Bapak membuka cakrawala baru dalam menyikapi kehidupan secara lebih luas dengan segala kompleksitasnya. Bukan hanya bagaimana seorang Bapak meninggalkan ‘legacy’ berupa pesan kepada anak-anaknya, pelajaran dalam mencari cinta (dan pasangan hidup), bagaimana menjadi seorang Bapak dan Suami yang baik, dan bagaimana perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan anak-anaknya dengan tetap menjaga proporsi badannya (if i may add ;) ).
Dengan Sabtu Bersama Bapak, kiranya peran sang penulis sebagai Bapak, Suami, dan Penulis kian paripurna. Semoga karya selanjutnya pun demikian.
Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 26 September 2014
sambil nunggu Jum’atan
sambil nunggu Jum’atan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar