Semakin hari semakin riuh hingar bingar politik negeri ini. Disana-sini dimana-mana terdengar janji-janji dan slogan para kontestan. Kampanye telah bergulir untuk mereka yang menyatakan dirinya sebagai calon presiden dan wakil presiden negara yang sejatinya bernama Republik Indonesia. Seluruh bagian dari negeri ini dari yang terpadat jumlah penduduknya hingga desa-desa kecil yang kekurangan penduduk ikut merasakannya serta tak luput jadi sasaran lumbung suara pemilih.
Sementara itu, direktur lembaga survey sibuk meyakinkan berbagai kalangan bahwa hasil survey yang mereka lakukan adalah murni tanpa diboncengi kepentingan pemodal. Mereka sibukkan diri dengan membuat survey yang seakurat mungkin tanpa ada tendensi pada satu atau lebih kontestan. Mereka berlomba-lomba meyakinkan rakyat bahwa survey mereka memang patut dijadikan sebagai acuan.
Media apapun bentuknya sibuk mengekspos segala tindak-tanduk figur kontestan pemilu presiden. Mereka meliput, wawancara, bahkan membuat acara khusus sebagai wahana penggiringan wacana oleh figur-figur tertentu. Para pakar, analis, dan pemerhati politik juga habis-habisan memutar otak menggeber habis akalnya untuk membaca, menganalisa, dan mengungkapkan. Pada akhirnya, karena mereka terlatih untuk membuat kesimpulan maka kesimpulan mereka akan menghiasi wajah media dalam bentuk serangkaian analisis yang diwacanakan. Isinya sudah tentu tentang analisis kebijakan ekonomi dan politik serta implikasinya terhadap kebutuhan rakyat banyak.
Anda sibuk apa Bung? Berapa persen waktu yang anda investasikan untuk mengamati hal ini? Apakah anda sedang bersama rakyat? Mendidik mereka untuk tahu caranya berpartisipasi dalam hajatan politik yang entah keberapa pada tahun ini? Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat? Rakyat. Kemanakah rakyat yang selalu dieluka-elukan dan menjadi jargon utama dalam setiap kampanye. Rakyat adalah peluru emas untuk memperebutkan senjata politik dan ekonomi semata. Senjata itu kemudian akan segera merubah dirinya menjadi pusaka masa kini dan masa depan bagi mereka yang memenangkannya dan bagi beberapa golongan yang merasa perlu bersatu untuk tujuan dan kepentingan yang sama.
Rakyat negeri ini sudah pintar, Bung! Mereka tidak perlu lagi diberi pelajaran dan mata kuliah mengenai pendidikan pemilih. Rakyat sudah terlalu paham dan sangat mengerti carut-marut dunia politik negeri ini jauh sebelum segelintir orang yang mengatasnamakan kaum muda berani mengajukan diri sebagai calon presiden independen. Rakyat sudah tahu bagaimana caranya menghadapi situasi politik yang tidak pernah menentu dibandingkan dengan seorang ahli politik yang paling politis pikirannya sekalipun.
Betapa rakyat negeri ini telah mengalami segala konsekuensi yang dimungkinkan oleh politik. Jatuh bangunnya mempertahankan kekuasaan dari oposan, eksistensi kepemimpinan dan kekuasaan yang menimbulkan status quo, hingga zaman neoliberal saat ini. Rakyat telah dikhianati oleh Orde Lama. Kemudian terbuai dalam alunan wacana “pembangunan” dan “tinggal landas” sebelum akhirnya tersadar bahwa selama 4 windu mereka dikempongi* oleh Orde Baru.
Rakyat mengalami suka cita yang luar biasa saat menyambut makhluk bernama reformasi. Reformasi selalu menempatkan rakyat sebagai subjek utama politik di negeri ini. Apa-apa atas nama rakyat. Apa saja asal menyebut nama rakyat pasti laku dan populer. Tapi justru itulah yang menyebabkan rakyat kembali terkapar. Luka lama itu kembali menganga kala menyaksikan kelakuan para pengiring reformasi yang ternyata tidak kalah serakahnya dari Orde Baru. Mereka yang dulu ikut teriak dan sepakat mendukung reformasi telah menelan kembali omongannya sendiri. Keadaan seperti ini menciptakan “kaum pesakitan” model baru yang telah menjadi sebabnya.
“Kaum pesakitan” model baru ini anggotanya adalah orang-orang yang tidak pernah mendapatkan dan menikmati keuntungan apa-apa baik secara politik dan ekonomi selama Orde Baru berkuasa. Mereka berkumpul dan menunggangi agenda reformasi untuk kemudian memuaskan libido nafsunya yang tertahan oleh budaya Orde Baru yang terlanjur mengakar sangat kuat. Tingkah laku “kaum pesakitan” model baru ini tidak lebih beradab dan lebih tidak bertanggung jawab. Dikhawatirkan juga perilaku yang demikian hebat pengaruhnya ini disebabkan oleh pil dan candu bernama demokrasi yang mereka telan sebanyak mereka mampu tanpa memperhatikan dosisnya.
Korupsi asal dilakukan dengan cara yang demokratis diperbolehkan. Kolusi dan gratifikasi dipersilahkan demi tegaknya demokrasi. Begitulah cara mereka memuaskan dirinya sebelum pada akhirnya mereka tak tahan mendengarkan teriakan rakyat yang menghujat mereka. Rakyat berteriak lantang karena semerdu apapun nyanyian di ruangan sidang paripurna DPR belum ada hasil yang nyata atas biaya rumah tangga dan biaya sekolah anak-anak mereka. Rakyat pun mendapati bahwa mereka dan semua masalahnya tidak pernah jadi agenda utama di persidangan itu.
Rakyat tidak ingin terlalu lama diajak berpikir apa itu neo-liberalisme yang menjadi tren saat ini. Rakyat juga tidak ingin terlalu sering mendengarkan nyanyian lagu ekonomi kerakyatan yang lagi-lagi mengatasnamakan mereka padahal belum ada perubahan nyata atas keadaan ekonomi mereka. Tidak usah kita berlama-lama lagi membahas tentang neoliberalisme, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi jalan tengah hingga ke akar-akarnya.
Liberalisme dalam ekonomi negeri kita ini sudah dimulai sejak demokrasinya menganut demokrasi liberal mirip di negerinya Obama. Hanya saja, kita tidak pernah dibiarkan untuk tahu dan sengaja tidak diberi tahu. istilah neoliberalisme yang segera menjadi kosakata baru dalam obrolan sehari-hari itu hanya pengembangan dari ide-ide sebelumnya tentang liberalisme. Cara-cara baru dalam menyikapi perubahan dunia, globalisasi, hingga kapitalisasi menyebabkan lahirnya aliran baru ini. Neoliberalisme ini sudah dimulai sejak ditandatanganinya nota kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF tahun 1999. Jadi, yang terjadi sekarang ini adalah buah dari kesepakatan yang lalu tersebut.
Tidak perlu lagi kita menempeli label dedengkot neolib pada Boediono kalau ternyata Sri Mulyani Indrawati, menteri yang pernah nongkrong di IMF itu lebih neolib pemikirannya. Beliau tentu lebih mengerti bagaimana menciptakan liberalisasi gaya baru ini dan meleburnya bersama kapitalisasi pasar sehingga tidak perlu lagi teriak-teriak “ekonomi kita itu neolib lho….”
Ekonomi kerakyatan dan ekonomi jalan tengah pun hanyalah sebutan belaka dan jargon semata bagi mereka yang meyakininya. Lupakanlah istilah-istilah itu karena tidak akan berpengaruh apa-apa pada sejarah. Sejarah tidak akan lagi mencatat Prabowo sebagai bapaknya ekonomi kerakyatan dan SBY sebagai bapaknya ekonomi jalan tengah. Bung Hatta boleh marah-marah karena idenya diambil dan ditiru serta diganti namanya jadi istilah ekonomi kerakyatan yang lebih populer saat ini. Sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan sudah dimulai sejak koperasi yang pertama berdiri di Indonesia tahun 1933.
Karena peristiwa itulah yang menyebabkan terpilihnya Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pada masa itu koperasi selalu didengungkan sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Realita saat ini menunjukkan bahwa koperasi kalah bersaing dengan kapitalisasi pasar modern. Walaupun telah dibentuk kementrian khusus yang menangani bidang perkoperasian namun tetap saja koperasi belum mampu menjadi apa yang diamanatkan kepadanya sebagai soko guru perekonomian. Koperasi telah lebih dahulu tiarap, menyerah dan kalah kepada kekuatan ekonomi lain yang merajai pasar.
Begitulah, Bung. Politik dan Ekonomi masih menjadi isu yang tidak pernah berhenti untuk dibahas. Isu-isu seputar siapa menjadi siapa dan siapa makan apa tetap selalu mengisi wajah media kita. Tidak usah kita bicara tentang pendidikan. Pendidikan diperuntukkan bagi mereka yang merasa perlu saja. Pendidikan tidak ada sangkut pautnya dengan agenda-agenda politik dan kemapanan ekonomi. Pendidikan tidak mengurusi etika dan perilaku berpolitik. Pendidikan tidak juga mengintervensi sistem ekonomi makro maupun mikro. Jadi, jangan salah paham bila tidak ada satu pun pasangan capres-cawapres yang menjadikan pendidikan sebagai satu dari sekian agenda utamanya.
Padahal kan Bung tahu sendiri, kalau pendidikan akan berimplikasi terhadap banyak hal. Mulai dari kesadaran berpolitik hingga caranya mencari makan. Saya setuju pada pendapat anda di seminar kemarin. Pendidikan adalah kunci untuk kemajuan bangsa ini. Anda berani mengatakan itu ditengah orang-orang yang disebut cendekiawan padahal tidak ada satupun dari mereka yang berani mengkritik ide anda. Mereka yang mengaku kaum cendekiawan itu masih setuju pada anggapan yang pernah anda bantah dahulu. Pendidikan akan menjadi prioritas kala cari makan sudah jadi hal yang mudah. Saya tidak tahu kelanjutannya. Bung tentu lebih tahu. Saya hanya rakyat yang biasa melihat ke atas tanpa pernah terlihat dari dari atas. Saking seringnya saya melihat ke atas saya hampir lupa untuk melihat keadaan sekitar kita. Semua sudah berubah. Rakyat sudah berubah.
Kelapa Gading, 29 Juni 2009
Sementara itu, direktur lembaga survey sibuk meyakinkan berbagai kalangan bahwa hasil survey yang mereka lakukan adalah murni tanpa diboncengi kepentingan pemodal. Mereka sibukkan diri dengan membuat survey yang seakurat mungkin tanpa ada tendensi pada satu atau lebih kontestan. Mereka berlomba-lomba meyakinkan rakyat bahwa survey mereka memang patut dijadikan sebagai acuan.
Media apapun bentuknya sibuk mengekspos segala tindak-tanduk figur kontestan pemilu presiden. Mereka meliput, wawancara, bahkan membuat acara khusus sebagai wahana penggiringan wacana oleh figur-figur tertentu. Para pakar, analis, dan pemerhati politik juga habis-habisan memutar otak menggeber habis akalnya untuk membaca, menganalisa, dan mengungkapkan. Pada akhirnya, karena mereka terlatih untuk membuat kesimpulan maka kesimpulan mereka akan menghiasi wajah media dalam bentuk serangkaian analisis yang diwacanakan. Isinya sudah tentu tentang analisis kebijakan ekonomi dan politik serta implikasinya terhadap kebutuhan rakyat banyak.
Anda sibuk apa Bung? Berapa persen waktu yang anda investasikan untuk mengamati hal ini? Apakah anda sedang bersama rakyat? Mendidik mereka untuk tahu caranya berpartisipasi dalam hajatan politik yang entah keberapa pada tahun ini? Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada rakyat? Rakyat. Kemanakah rakyat yang selalu dieluka-elukan dan menjadi jargon utama dalam setiap kampanye. Rakyat adalah peluru emas untuk memperebutkan senjata politik dan ekonomi semata. Senjata itu kemudian akan segera merubah dirinya menjadi pusaka masa kini dan masa depan bagi mereka yang memenangkannya dan bagi beberapa golongan yang merasa perlu bersatu untuk tujuan dan kepentingan yang sama.
Rakyat negeri ini sudah pintar, Bung! Mereka tidak perlu lagi diberi pelajaran dan mata kuliah mengenai pendidikan pemilih. Rakyat sudah terlalu paham dan sangat mengerti carut-marut dunia politik negeri ini jauh sebelum segelintir orang yang mengatasnamakan kaum muda berani mengajukan diri sebagai calon presiden independen. Rakyat sudah tahu bagaimana caranya menghadapi situasi politik yang tidak pernah menentu dibandingkan dengan seorang ahli politik yang paling politis pikirannya sekalipun.
Betapa rakyat negeri ini telah mengalami segala konsekuensi yang dimungkinkan oleh politik. Jatuh bangunnya mempertahankan kekuasaan dari oposan, eksistensi kepemimpinan dan kekuasaan yang menimbulkan status quo, hingga zaman neoliberal saat ini. Rakyat telah dikhianati oleh Orde Lama. Kemudian terbuai dalam alunan wacana “pembangunan” dan “tinggal landas” sebelum akhirnya tersadar bahwa selama 4 windu mereka dikempongi* oleh Orde Baru.
Rakyat mengalami suka cita yang luar biasa saat menyambut makhluk bernama reformasi. Reformasi selalu menempatkan rakyat sebagai subjek utama politik di negeri ini. Apa-apa atas nama rakyat. Apa saja asal menyebut nama rakyat pasti laku dan populer. Tapi justru itulah yang menyebabkan rakyat kembali terkapar. Luka lama itu kembali menganga kala menyaksikan kelakuan para pengiring reformasi yang ternyata tidak kalah serakahnya dari Orde Baru. Mereka yang dulu ikut teriak dan sepakat mendukung reformasi telah menelan kembali omongannya sendiri. Keadaan seperti ini menciptakan “kaum pesakitan” model baru yang telah menjadi sebabnya.
“Kaum pesakitan” model baru ini anggotanya adalah orang-orang yang tidak pernah mendapatkan dan menikmati keuntungan apa-apa baik secara politik dan ekonomi selama Orde Baru berkuasa. Mereka berkumpul dan menunggangi agenda reformasi untuk kemudian memuaskan libido nafsunya yang tertahan oleh budaya Orde Baru yang terlanjur mengakar sangat kuat. Tingkah laku “kaum pesakitan” model baru ini tidak lebih beradab dan lebih tidak bertanggung jawab. Dikhawatirkan juga perilaku yang demikian hebat pengaruhnya ini disebabkan oleh pil dan candu bernama demokrasi yang mereka telan sebanyak mereka mampu tanpa memperhatikan dosisnya.
Korupsi asal dilakukan dengan cara yang demokratis diperbolehkan. Kolusi dan gratifikasi dipersilahkan demi tegaknya demokrasi. Begitulah cara mereka memuaskan dirinya sebelum pada akhirnya mereka tak tahan mendengarkan teriakan rakyat yang menghujat mereka. Rakyat berteriak lantang karena semerdu apapun nyanyian di ruangan sidang paripurna DPR belum ada hasil yang nyata atas biaya rumah tangga dan biaya sekolah anak-anak mereka. Rakyat pun mendapati bahwa mereka dan semua masalahnya tidak pernah jadi agenda utama di persidangan itu.
Rakyat tidak ingin terlalu lama diajak berpikir apa itu neo-liberalisme yang menjadi tren saat ini. Rakyat juga tidak ingin terlalu sering mendengarkan nyanyian lagu ekonomi kerakyatan yang lagi-lagi mengatasnamakan mereka padahal belum ada perubahan nyata atas keadaan ekonomi mereka. Tidak usah kita berlama-lama lagi membahas tentang neoliberalisme, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi jalan tengah hingga ke akar-akarnya.
Liberalisme dalam ekonomi negeri kita ini sudah dimulai sejak demokrasinya menganut demokrasi liberal mirip di negerinya Obama. Hanya saja, kita tidak pernah dibiarkan untuk tahu dan sengaja tidak diberi tahu. istilah neoliberalisme yang segera menjadi kosakata baru dalam obrolan sehari-hari itu hanya pengembangan dari ide-ide sebelumnya tentang liberalisme. Cara-cara baru dalam menyikapi perubahan dunia, globalisasi, hingga kapitalisasi menyebabkan lahirnya aliran baru ini. Neoliberalisme ini sudah dimulai sejak ditandatanganinya nota kesepakatan antara Pemerintah dengan IMF tahun 1999. Jadi, yang terjadi sekarang ini adalah buah dari kesepakatan yang lalu tersebut.
Tidak perlu lagi kita menempeli label dedengkot neolib pada Boediono kalau ternyata Sri Mulyani Indrawati, menteri yang pernah nongkrong di IMF itu lebih neolib pemikirannya. Beliau tentu lebih mengerti bagaimana menciptakan liberalisasi gaya baru ini dan meleburnya bersama kapitalisasi pasar sehingga tidak perlu lagi teriak-teriak “ekonomi kita itu neolib lho….”
Ekonomi kerakyatan dan ekonomi jalan tengah pun hanyalah sebutan belaka dan jargon semata bagi mereka yang meyakininya. Lupakanlah istilah-istilah itu karena tidak akan berpengaruh apa-apa pada sejarah. Sejarah tidak akan lagi mencatat Prabowo sebagai bapaknya ekonomi kerakyatan dan SBY sebagai bapaknya ekonomi jalan tengah. Bung Hatta boleh marah-marah karena idenya diambil dan ditiru serta diganti namanya jadi istilah ekonomi kerakyatan yang lebih populer saat ini. Sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan sudah dimulai sejak koperasi yang pertama berdiri di Indonesia tahun 1933.
Karena peristiwa itulah yang menyebabkan terpilihnya Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pada masa itu koperasi selalu didengungkan sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Realita saat ini menunjukkan bahwa koperasi kalah bersaing dengan kapitalisasi pasar modern. Walaupun telah dibentuk kementrian khusus yang menangani bidang perkoperasian namun tetap saja koperasi belum mampu menjadi apa yang diamanatkan kepadanya sebagai soko guru perekonomian. Koperasi telah lebih dahulu tiarap, menyerah dan kalah kepada kekuatan ekonomi lain yang merajai pasar.
***
Begitulah, Bung. Politik dan Ekonomi masih menjadi isu yang tidak pernah berhenti untuk dibahas. Isu-isu seputar siapa menjadi siapa dan siapa makan apa tetap selalu mengisi wajah media kita. Tidak usah kita bicara tentang pendidikan. Pendidikan diperuntukkan bagi mereka yang merasa perlu saja. Pendidikan tidak ada sangkut pautnya dengan agenda-agenda politik dan kemapanan ekonomi. Pendidikan tidak mengurusi etika dan perilaku berpolitik. Pendidikan tidak juga mengintervensi sistem ekonomi makro maupun mikro. Jadi, jangan salah paham bila tidak ada satu pun pasangan capres-cawapres yang menjadikan pendidikan sebagai satu dari sekian agenda utamanya.
Padahal kan Bung tahu sendiri, kalau pendidikan akan berimplikasi terhadap banyak hal. Mulai dari kesadaran berpolitik hingga caranya mencari makan. Saya setuju pada pendapat anda di seminar kemarin. Pendidikan adalah kunci untuk kemajuan bangsa ini. Anda berani mengatakan itu ditengah orang-orang yang disebut cendekiawan padahal tidak ada satupun dari mereka yang berani mengkritik ide anda. Mereka yang mengaku kaum cendekiawan itu masih setuju pada anggapan yang pernah anda bantah dahulu. Pendidikan akan menjadi prioritas kala cari makan sudah jadi hal yang mudah. Saya tidak tahu kelanjutannya. Bung tentu lebih tahu. Saya hanya rakyat yang biasa melihat ke atas tanpa pernah terlihat dari dari atas. Saking seringnya saya melihat ke atas saya hampir lupa untuk melihat keadaan sekitar kita. Semua sudah berubah. Rakyat sudah berubah.
Kelapa Gading, 29 Juni 2009