Jilbab adalah simbol. Simbol seorang perempuan muslim. Kalau kau sedang hidup di zaman pemilu yang kesekian ini, ia bukan hanya menjadi sekedar simbol. Ia telah menjelma menjadi sebuah wacana dan komoditas politik-bisnis. Wacana tentang jilbab telah menjadi obrolan sehari-hari. Jilbab adalah simbol perubahan. Orang-orang menyebutnya hijrah. Maka jangan sampai heran kalau banyak temanmu yang berucap segala puji bagi Tuhan setelah kau menyelenggarakan konferensi pers untuk mengumumkan hijrahmu itu.
Kenyataannya sekarang jilbab sudah kehilangan fungsinya. Yang tadinya menutupi aurat kini jilbab dikonstruksikan sebagai alat untuk mengorek kekurangan orang lain. Kalau dihubungkan dengan konteks politik praktis, jilbab kini telah kehilangan fitrahnya sebagai penutup aurat. Jilbab dengan sangat terpaksa telah menemukan dirinya menjadi wacana politik. Sebagai sebuah simbol ia dijadikan peluru untuk menyerang musuh politik. Tidak secara langsung. Ada proses pembentukan persepsi melalui media. Itulah hebatnya efek komunikasi massa.
Pun ketika jilbab yang wis kadung jadi komoditas politik dipadukan dengan bisnis. Kekuatannya akan berubah lebih kuat dari sekedar peluru. Ia akan menjadi racun dalam pikiran. Racun yang menyerang isi kepala orang awam yang tidak pernah mengerti politik. Sampai disini anda masih mengerti apa yang saya bahas kan?
Jilbab memang sudah kehilangan fitrahnya. Bila dilihat kembali fungsinya, jilbab adalah penutup aurat yang pada perkembangannya telah disesuaikan dengan arus modernitas dan terlihat lebih adaptif dengan dunia fesyen. Jilbab menutupi aurat, dimana aurat itu sudah tentu haram untuk dilihat apalagi sengaja dipamerkan. Bahkan, untuk beberapa alas an, ada yang sengaja mengenakan jilbab agar terlihat lebih menarik dari sebelumnya. Itu sah-sah saja.
Yang patut dihindari adalah menjadikan jilbab sebagai peluru, racun, dan kendaraan politik. Jilbab dijadikan simbol keberhasilan kekuasaan. Bangunlah semangat memakai jilbab sebagai sebuah budaya baru. Semangat untuk menutupi aurat bangsa. Jadikanlah semangat jilbab ini untuk menutupi apa yang sudah seharusnya tidak dilihat orang. Kemiskinan masih membayangi negara yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi di ASEAN sejak dilanda krisis ini. Negeri yang implementasi pendidikan murahnya masih menjadi pertanyaan besar dan sengketa pemerintah pusat dan daerah. Pengangguran angkanya masih juga belum berkurang. Penanganan pasca bencana yang carut-marut. Dan masih banyak lagi masalah yang belum reda dan usai. Jadikanlah semuanya tertutupi oleh jilbab yang kita kenakan sebagai bangsa yang besar.
Insya Allah, bila jilbab dikembalikan kepada fitrahnya dan juga tanpa kehilangan semangatnya negeri ini tidak akan lagi menjadi negeri yang diremehkan dalam lingkungan pergaulan internasional. Kesuksesan dalam memaknai jilbab yang bukan sekedar simbol ini akan berpengaruh besar bagi budaya bangsa. Jadikanlah jilbab bukan sekedar komoditas politik-bisnis semata. Jadikan semangat berjilbab ini sebagai mentalitas bangsa. Bahkan, ada yang bilang bahwa kesuksesan seorang suami dalam mendidik istrinya terlihat dari jilbab istrinya. Apabila sebelum berumah tangga istrinya masih belum mengenakan jilbab dan setelah berumah tangga istrinya berjilbab barulah seorang suami dicap sukses mendidik istri. Nah, kalo yang sebelum nikah sudah berjilbab, bagaimana cara mengukur kesusksesannya? Saya belum tahu. itu cuma obrolan warung kopi.
Kelapa Gading, 3 Juni 2009
Kenyataannya sekarang jilbab sudah kehilangan fungsinya. Yang tadinya menutupi aurat kini jilbab dikonstruksikan sebagai alat untuk mengorek kekurangan orang lain. Kalau dihubungkan dengan konteks politik praktis, jilbab kini telah kehilangan fitrahnya sebagai penutup aurat. Jilbab dengan sangat terpaksa telah menemukan dirinya menjadi wacana politik. Sebagai sebuah simbol ia dijadikan peluru untuk menyerang musuh politik. Tidak secara langsung. Ada proses pembentukan persepsi melalui media. Itulah hebatnya efek komunikasi massa.
Pun ketika jilbab yang wis kadung jadi komoditas politik dipadukan dengan bisnis. Kekuatannya akan berubah lebih kuat dari sekedar peluru. Ia akan menjadi racun dalam pikiran. Racun yang menyerang isi kepala orang awam yang tidak pernah mengerti politik. Sampai disini anda masih mengerti apa yang saya bahas kan?
*****
Jilbab memang sudah kehilangan fitrahnya. Bila dilihat kembali fungsinya, jilbab adalah penutup aurat yang pada perkembangannya telah disesuaikan dengan arus modernitas dan terlihat lebih adaptif dengan dunia fesyen. Jilbab menutupi aurat, dimana aurat itu sudah tentu haram untuk dilihat apalagi sengaja dipamerkan. Bahkan, untuk beberapa alas an, ada yang sengaja mengenakan jilbab agar terlihat lebih menarik dari sebelumnya. Itu sah-sah saja.
Yang patut dihindari adalah menjadikan jilbab sebagai peluru, racun, dan kendaraan politik. Jilbab dijadikan simbol keberhasilan kekuasaan. Bangunlah semangat memakai jilbab sebagai sebuah budaya baru. Semangat untuk menutupi aurat bangsa. Jadikanlah semangat jilbab ini untuk menutupi apa yang sudah seharusnya tidak dilihat orang. Kemiskinan masih membayangi negara yang pertumbuhan ekonominya paling tinggi di ASEAN sejak dilanda krisis ini. Negeri yang implementasi pendidikan murahnya masih menjadi pertanyaan besar dan sengketa pemerintah pusat dan daerah. Pengangguran angkanya masih juga belum berkurang. Penanganan pasca bencana yang carut-marut. Dan masih banyak lagi masalah yang belum reda dan usai. Jadikanlah semuanya tertutupi oleh jilbab yang kita kenakan sebagai bangsa yang besar.
Insya Allah, bila jilbab dikembalikan kepada fitrahnya dan juga tanpa kehilangan semangatnya negeri ini tidak akan lagi menjadi negeri yang diremehkan dalam lingkungan pergaulan internasional. Kesuksesan dalam memaknai jilbab yang bukan sekedar simbol ini akan berpengaruh besar bagi budaya bangsa. Jadikanlah jilbab bukan sekedar komoditas politik-bisnis semata. Jadikan semangat berjilbab ini sebagai mentalitas bangsa. Bahkan, ada yang bilang bahwa kesuksesan seorang suami dalam mendidik istrinya terlihat dari jilbab istrinya. Apabila sebelum berumah tangga istrinya masih belum mengenakan jilbab dan setelah berumah tangga istrinya berjilbab barulah seorang suami dicap sukses mendidik istri. Nah, kalo yang sebelum nikah sudah berjilbab, bagaimana cara mengukur kesusksesannya? Saya belum tahu. itu cuma obrolan warung kopi.
Kelapa Gading, 3 Juni 2009
1 komentar:
saya kurang sepakat dengan penilaian terhadap kesuksesan suami mendidik istri dilihat hanya dari jilbab saja. itu terlalu naif buat saya. bukan berarti salah, hal itu benar adanya, tapi masih ada faktor lain yang juga harus dipertimbangkan. ingat, jilbab tidak sekedar simbol, tapi lebih dari itu. maka ia juga tidak bisa dijadikan simbol kesuksesan suami mendidik istri. logikanya begitu, bukan? well, it's just my opinion..
Posting Komentar