Dia sudah sampai disitu setiap jam setengah tujuh pagi. Ia lalu berjalan menuju gedung berlantai lima. Kemudian ia mengisi buku tamu yang untuk sebulan mendatang bakal jadi kartu absennya. Setibanya di ruangan, ia akan menyalakan komputernya. Lalu mengklik ikon kecil di sebelah tombol start. menunggu sebentar, dan kemudian muncullah aplikasi yang selalu ia jumpai setiap harinya. Ia ambil majalah satu persatu, ia buka dan kemudian ia mulai mengetik apa yang dibacanya dari majalah tadi.
Entah berapa hari telah ia lalui, ia sendiri tak tahu pasti karena selama itu pula ia tidak pernah mengisi lagi buku hariannya. Yang ia tahu hanya bangun pagi, membukakan pintu garasi, nebeng mobil karyawan di gedung sate, turun di kantor gubernur, kemudian berjalan menuju kantor perusahaan telekomunikasi tempat ia melakukan Praktek Kerja Lapangan.
...how many hours and how many days....(MLTR-How Many Hours)
Alunan lagu itu terngiang di kepalanya. ia ingat betul karena tepat saat ini ia sedang menulis kisah yang dialaminya setiap hari setidaknya sampai akhir bulan ini. Banyak yang ia lewatkan setiap harinya, mulai dari highlights sepakbola, berita pagi hingga breaking news bahkan gosip-gosip yang selalu sama setiap harinya. Tak terkecuali waktu kumpul bersama keluarga, dan jadwal rutin bermain futsal bersama teman sepermainannya. Ia tidak pedulikan itu semua, karena untuknya, hari ini adalah apa yang akan terjadi semua ini sudah terkehendak atas namanya sehingga ia anggap semua ini adalah kemestian.
Yang ia jalani sekarang adalah sebuah kemestian. Hari-hari yang telah dilalui dan disebut sebagai masa PKL tidaklah lebih dari sebuah perjalanan yang harus ditempuh. Maka tidaklah terlalu penting dimana dia sekarang. Orang lain menganggapnya hebat karena ia diterima di sebuah perusahaan telekomunikasi nasional.
Kadangkala ia jadi teringat pada sebuah buku yang didapatnya dari sebuah kuis di radio. Buku itu berjudul "Kerja Santai, Hasil Oke" sebuah buku terjemahan yang aslinya berbahasa Perancis dan menjadi best seller di beberapa negara di Eropa sana. Kalau teringat pada buku itu, tentu ia akan sangat terganggu pikirannya. Baginya, kesimpulan dari seluruh buku itu adalah benar dimana seorang pegawai cuma jadi kacung dari sebuah permainan besar/global. Dan atas hasil kerjanya ia mendapat upah yang 'layak' padahal mengingat luasnya samudera bisnis upahnya itu sangat tidak layak.
At the otherside, ia tidak menampik kemungkinan bahwa ia akan menjadi aktor dalam lakon buku itu. Ia masih ingin menerima uang bonus setiap bulannya, menyetir sendiri mobil dinas yang diberikan kantornya, dan juga menikmati beberapa fasilitas perusahaan lainnya. Itu semua cuma mimpi. Mimpi yang diharapkan akan terlaksana tidak hanya olehnya tetapi oleh setiap 'calon pengangguran' tentunya.
Dalam buku lainnya ia pernah menganggap benar pernyataan seorang penulis yang sangat benci bangun pagi, bukan karena apa-apa tetapi karena kesibukan orang-orang di pagi hari. Mereka bangun pagi kemudian mencari sarapan, bila tak sempat, sarapan di mobil pun jadi, lalu jalanan pagi yang macet menjadi rutinitas yang sudah pasti. Ia tahu bahwa ia memang pernah menjalani rutinitas bangun pagi semasa sekolah di SMP dan SMA dulu, dan kini saat kuliah, kadang-kadang ia menjalaninya walau tak setiap hari.
Banyak sekali pengaruh penulis itu terhadap dirinya. Awal tahun kemarin, sekembalinya dari Surabaya, ia mau menjalani hidup dengan tidak peduli seperti robot. Persis seperti pada buku yang ia biasa baca. Buku berjudul "Atas Nama Malam" yang ia beli di sebuah toko buku besar di Bandung. Selama kurang lebih 3 bulan ia menjalani hidup yang seperti itu akhirnya ia bosan juga, karena pada dasarnya ia tidak mendambakan hidup yang seperti itu.
Maka kembalilah ia pada kehidupan yang biasa, dimana ia biasa mengisi buku hariannya pada jam 10 malam usai membereskan urusan transaksi dagang pulsa. Didalam buku hariannya ia leluasa bercerita tentang apa yang telah ia alami hari ini.
*****
Hari beranjak sore ditempat ia menulis kisah ini. Ruangan yang tadinya sempat sepi sudah mulai ramai lagi dengan suara speaker komputer, maupun tuts-tuts keyboard. Ia masih duduk disitu memikirkan apa lagi yang harus ia ceritakan. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia tulis. Tentang kisah-kisahnya yang lalu, tentang kelulusan SPMB yang membuatnya menangis sepanjang 6 km, tentang bagaimana mewujudkan keinginan agar bisa terwujud, tentang nasibnya yang pernah seperti pemain sepakbola pinjaman, tentang kekecewaan yang pernah ia alami hingga membuatnya kebal dan tak tahu rasanya kecewa, setidaknya hingga saat ini
Banyak lagi yang ingin ia ceritakan padamu, entah hari ini, nanti, esok, ia tak tahu. Yang ia tahu sekarang, ia harus segera turun ke masjid, solat ashar, lalu bersiap pulang.
Jl. W.R. Supratman, 21 Agustus 2007
Originally writtenin Bandung, 21 Agustus 2007, 3.58 pm diedit kembali di Kelapa Gading, 11 September 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar