Selamat malam, Bung? Apa kabar anda hari ini? Apakah kopi yang anda hirup pagi ini masih sama dengan ketika di warung kopi dulu? Saya harap anda dapat menikmati bagian-bagian hidup anda bahkan yang terkecil sekalipun. Sudah lama sekali saya tidak menjumpai anda lewat tulisan saya. Anda tentu menganggap itu ada hubungannya dengan pensiunnya saya dari sekolah sialan itu kan? Ada benarnya namun itu kita bahas nanti saja di warung kopi langganan kita di pojok jalan itu.
Begini, Bung. Menjelang malam tadi sebuah berita masuk ke ruang dengar saya. Satu berita tentang dimenangkannya gugatan terhadao Ujian Nasional (UN) oleh Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII) dan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Saya tahu itu karena yang diwawancara adalah gembongnya yang ternyata guru SMA saya. Namanya Pak Iwan. Kami dulu mengenalnya sebagai sosok Guru Sosiologi yang paling sensasional dan revolusioner. Saat perhatian semua guru masih berkutat pada masalah kesejahteraan Pak Iwan sudah melepaskan semua hal itu dengan berpartisipasi di FAGI yang kurang lebih seperti KAMI-nya gerakan mahasiswa.
Dulu, kami selalu melihatnya mengenakan topi hitam bertuliskan FAGI lengkap dengan kacamata hitam mirip Don Johnson di Miami Vice, kumis mirip Antasari Azhar dan motor Honda Supercup 700. Sayang, saya belum pernah diajar olehnya. Saya hanya sering mendengar ceritanya dari kawan-kawan di kelas IPS. Beberapa dari kami sempat bercanda dengan menambahkan dua huruf “N” dan “A” pada topi kebanggaannya itu.
Saya belum paham detail dari berita itu. Saya hanya mendengar berita sepintas saja. Diberitakan bahwa mereka mengadakan syukuran untuk kemenangan yang disahkan melalui putusan Mahkamah Agung. Bisa saya bayangkan bahwa sorak-sorai perasaan gembira para guru yang menggugat sama riuhnya dengan nyanyian kawan-kawan Imparsial pasca Pidato Presiden SBY menanggapi kasus kriminalisasi KPK dan aliran dana Century.
Agaknya, keadaan sistem pendidikan nasional masih (dan selalu) mengalami transformasi tanpa hasil akhir yang maksimal, rasional, dan memuaskan. Tujuan pendidikan nasional pun yang bermuara pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya belum dapat dicapai. Ibarat kata masih amburadul. Belum ada satu sistem pendidikan nasional yang ajeg dan menyeluruh. Amanat UUD 1945 belum tunai.
Ajeg berarti statis, tegak. Artinya sistem pendidikan nasional harus mampu berdiri tegak sebagai satu sistem yang padu dan tidak mudah untuk dibongkar pasang oleh kekuatan apapun-termasuk kekuatan ekonomi. Menyeluruh artinya sistem itu juga harus mampu memberikan esensi-esensi dari pendidikan secara merata dan mendalam pada setiap jenjang pendidikan.
Sistem pendidikan nasional itu harus tercermin melalui penyelenggaraan ujian yang lebih menekankan pada kemampuan dan kompetensi peserta didik. Saya kurang setuju kalau UN dihapuskan. Bukan karena rasanya tidak pantas kalau Negara menguji calon generasi penerusnya tetapi lebih kepada pertimbangan kuantitatif terhadap kompetensi peserta didik.
Saya melihat dengan dihapuskannya UN maka penilaian terhadap kemampuan dan kompetensi akan mempertimbangkan pada hal-hal yang bersifat kualitatif. Penilaian tersebut tentu akan melibatkan semua hal yang berbau subyektif. Kalau ada murid yang selalu dapat ranking 1 dengan nilai-nilai yang memuaskan setiap ujian sumatif/formatif lalu kemudian ia gagal di UN maka jangan lantas menyalahkan UN sebagai biang keroknya. Perlu dilihat pula faktor-faktor lainnya. Faktor mental, psikis, dan kognitif bisa menjadi sumber masalah lainnya yang belum sempat terdeteksi. Dalam kasus yang demikian banyaknya, terdapat banyak hal yang bersifat emosional dalam pengambilan keputusan. UN hanyalah satu tolak ukur sejauh mana pemahaman peserta didik melalui ujian dengan kualitas soal standar kurikulum yang berlaku.
Perlu diakui juga bahwa masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara proses pendidikan di kota-kota besar dengan di daerah-daerah terpencil. Itu bukan alasan untuk sebuah penolakan atas satu grand design bernama UN. Kesenjangan itu dapat diatasi dengan semakin banyaknya forum-forum dan media sosialisasi guru. Sehingga aksesibilitas seharusnya tidak lagi jadi alasan untuk sebuah kegagalan.
Jadi jangan heran generasi mendatang akan semakin menganggap enteng gampang proses pendidikan. Asalkan nilai rata-rata harian tidak terlalu jelek dan selalu berperilaku menyenangkan maka sudah cukup kriteria untuk dinyatakan lulus. Malu rasanya mendengar setiap berita dari kondisi pendidikan bangsa ini yang tak kunjung habisnya bagai perkara korupsi yang masih melilit negeri ini. Pendidikan bagaikan permainan politik kaum birokrat yang selalu berubah dalam jangka waktu tertentu. Pendidikan hanya jadi prioritas yang kesekian saja walau dengan alokasi penyerap anggaran Negara terbesar.
Serius sekali ya, Bung. Lagi-lagi saya berpikir bahwa anda sedang membaca tulisan saya ini sambil tersenyum. Entah tersenyum kagum atau sinis karena tulisan ini ditulis oleh seseorang yang pernah menjadi objek pendidikan dalam karir kependidikannya dan kebetulan pernah bekerja di satu institusi pendidikan swasta penganut mazhab Cambridge aliran Singapura. Apapun reaksi dari anda saya hargai itu dan saya anggap sebagai partisipasi anda dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salam dari Pharmindo,
Cimahi, 25 November 2009
NB: Kalau Bung nanti buka sekolah internasional, masih mau ngikutin sistemnya Diknas?
Begini, Bung. Menjelang malam tadi sebuah berita masuk ke ruang dengar saya. Satu berita tentang dimenangkannya gugatan terhadao Ujian Nasional (UN) oleh Persatuan Guru Independen Indonesia (PGII) dan Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI). Saya tahu itu karena yang diwawancara adalah gembongnya yang ternyata guru SMA saya. Namanya Pak Iwan. Kami dulu mengenalnya sebagai sosok Guru Sosiologi yang paling sensasional dan revolusioner. Saat perhatian semua guru masih berkutat pada masalah kesejahteraan Pak Iwan sudah melepaskan semua hal itu dengan berpartisipasi di FAGI yang kurang lebih seperti KAMI-nya gerakan mahasiswa.
Dulu, kami selalu melihatnya mengenakan topi hitam bertuliskan FAGI lengkap dengan kacamata hitam mirip Don Johnson di Miami Vice, kumis mirip Antasari Azhar dan motor Honda Supercup 700. Sayang, saya belum pernah diajar olehnya. Saya hanya sering mendengar ceritanya dari kawan-kawan di kelas IPS. Beberapa dari kami sempat bercanda dengan menambahkan dua huruf “N” dan “A” pada topi kebanggaannya itu.
*****
Saya belum paham detail dari berita itu. Saya hanya mendengar berita sepintas saja. Diberitakan bahwa mereka mengadakan syukuran untuk kemenangan yang disahkan melalui putusan Mahkamah Agung. Bisa saya bayangkan bahwa sorak-sorai perasaan gembira para guru yang menggugat sama riuhnya dengan nyanyian kawan-kawan Imparsial pasca Pidato Presiden SBY menanggapi kasus kriminalisasi KPK dan aliran dana Century.
Agaknya, keadaan sistem pendidikan nasional masih (dan selalu) mengalami transformasi tanpa hasil akhir yang maksimal, rasional, dan memuaskan. Tujuan pendidikan nasional pun yang bermuara pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya belum dapat dicapai. Ibarat kata masih amburadul. Belum ada satu sistem pendidikan nasional yang ajeg dan menyeluruh. Amanat UUD 1945 belum tunai.
Ajeg berarti statis, tegak. Artinya sistem pendidikan nasional harus mampu berdiri tegak sebagai satu sistem yang padu dan tidak mudah untuk dibongkar pasang oleh kekuatan apapun-termasuk kekuatan ekonomi. Menyeluruh artinya sistem itu juga harus mampu memberikan esensi-esensi dari pendidikan secara merata dan mendalam pada setiap jenjang pendidikan.
Sistem pendidikan nasional itu harus tercermin melalui penyelenggaraan ujian yang lebih menekankan pada kemampuan dan kompetensi peserta didik. Saya kurang setuju kalau UN dihapuskan. Bukan karena rasanya tidak pantas kalau Negara menguji calon generasi penerusnya tetapi lebih kepada pertimbangan kuantitatif terhadap kompetensi peserta didik.
Saya melihat dengan dihapuskannya UN maka penilaian terhadap kemampuan dan kompetensi akan mempertimbangkan pada hal-hal yang bersifat kualitatif. Penilaian tersebut tentu akan melibatkan semua hal yang berbau subyektif. Kalau ada murid yang selalu dapat ranking 1 dengan nilai-nilai yang memuaskan setiap ujian sumatif/formatif lalu kemudian ia gagal di UN maka jangan lantas menyalahkan UN sebagai biang keroknya. Perlu dilihat pula faktor-faktor lainnya. Faktor mental, psikis, dan kognitif bisa menjadi sumber masalah lainnya yang belum sempat terdeteksi. Dalam kasus yang demikian banyaknya, terdapat banyak hal yang bersifat emosional dalam pengambilan keputusan. UN hanyalah satu tolak ukur sejauh mana pemahaman peserta didik melalui ujian dengan kualitas soal standar kurikulum yang berlaku.
Perlu diakui juga bahwa masih terdapat kesenjangan yang sangat jauh antara proses pendidikan di kota-kota besar dengan di daerah-daerah terpencil. Itu bukan alasan untuk sebuah penolakan atas satu grand design bernama UN. Kesenjangan itu dapat diatasi dengan semakin banyaknya forum-forum dan media sosialisasi guru. Sehingga aksesibilitas seharusnya tidak lagi jadi alasan untuk sebuah kegagalan.
Jadi jangan heran generasi mendatang akan semakin menganggap enteng gampang proses pendidikan. Asalkan nilai rata-rata harian tidak terlalu jelek dan selalu berperilaku menyenangkan maka sudah cukup kriteria untuk dinyatakan lulus. Malu rasanya mendengar setiap berita dari kondisi pendidikan bangsa ini yang tak kunjung habisnya bagai perkara korupsi yang masih melilit negeri ini. Pendidikan bagaikan permainan politik kaum birokrat yang selalu berubah dalam jangka waktu tertentu. Pendidikan hanya jadi prioritas yang kesekian saja walau dengan alokasi penyerap anggaran Negara terbesar.
Serius sekali ya, Bung. Lagi-lagi saya berpikir bahwa anda sedang membaca tulisan saya ini sambil tersenyum. Entah tersenyum kagum atau sinis karena tulisan ini ditulis oleh seseorang yang pernah menjadi objek pendidikan dalam karir kependidikannya dan kebetulan pernah bekerja di satu institusi pendidikan swasta penganut mazhab Cambridge aliran Singapura. Apapun reaksi dari anda saya hargai itu dan saya anggap sebagai partisipasi anda dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salam dari Pharmindo,
Cimahi, 25 November 2009
NB: Kalau Bung nanti buka sekolah internasional, masih mau ngikutin sistemnya Diknas?