Akhirnya sore macam kemarin datang lagi. Membawa cerita yang silih berkejaran dalam rindu yang menghadang. Betapa langit mendung seperti sengaja menghalangi bias mentari senja. Tidak ada senja keemasan menutup hari. Usai puas menertawakan diri sendiri sepanjang akhir pekan di kotamu. Tinggal tanya dalam hati: masihkah kutemui asaku?
Ada rindu tersisa untukmu. Rindu padamu bagai rindu pada setiap lembaran cerita dalam buku-buku di rak kamarku untuk kemudian kutuliskan dalam sebuah esai pendek berlabel memoar. Sebagai tanda perekat memori tentang rasa. Suatu saat akan kutuliskan juga cerita tentang kita. Tentang wangi coklat dan tarian malam di hari itu atau malah tentang perasaan masing-masing.
Masih diiringi deru mesin bis yang mengaum menerkam aspal, aku tak juga bisa memejamkan mata mengistirahatkan pikiran barang sejenak. Entahlah, mungkin karena semua lagu tentangmu yang mengalun pelan itu atau karena rindu pada tatapan matamu lagi. Bukan aku meragukanmu, tapi sungguh ku tak ingin engkau jauh dariku.
Kupuisikan rindu di hatiku sambil membaca kembali surat-suratmu yang selalu meredakan gelisah ini. Apalagi ketika sampai pada baris uang palsu itu hingga pelajaran untuk ikhlas dan memaafkan. Terkadang kita perlu menghela nafas sejenak untuk berlari kembali.
Mungkin sulit untuk bisa dimengerti. Kenapa sore seperti ini turun dengan segala resahnya. Membawa rindu hanpa pada yang tertuju. Segalanya kian menyesak menyiksa. Tolong ikhlaskan dan maafkan aku.
Pharmindo-Purwakarta-Paninggilan. 30 Januari 2011.
Ada rindu tersisa untukmu. Rindu padamu bagai rindu pada setiap lembaran cerita dalam buku-buku di rak kamarku untuk kemudian kutuliskan dalam sebuah esai pendek berlabel memoar. Sebagai tanda perekat memori tentang rasa. Suatu saat akan kutuliskan juga cerita tentang kita. Tentang wangi coklat dan tarian malam di hari itu atau malah tentang perasaan masing-masing.
Masih diiringi deru mesin bis yang mengaum menerkam aspal, aku tak juga bisa memejamkan mata mengistirahatkan pikiran barang sejenak. Entahlah, mungkin karena semua lagu tentangmu yang mengalun pelan itu atau karena rindu pada tatapan matamu lagi. Bukan aku meragukanmu, tapi sungguh ku tak ingin engkau jauh dariku.
Kupuisikan rindu di hatiku sambil membaca kembali surat-suratmu yang selalu meredakan gelisah ini. Apalagi ketika sampai pada baris uang palsu itu hingga pelajaran untuk ikhlas dan memaafkan. Terkadang kita perlu menghela nafas sejenak untuk berlari kembali.
Mungkin sulit untuk bisa dimengerti. Kenapa sore seperti ini turun dengan segala resahnya. Membawa rindu hanpa pada yang tertuju. Segalanya kian menyesak menyiksa. Tolong ikhlaskan dan maafkan aku.
Pharmindo-Purwakarta-Paninggilan. 30 Januari 2011.