Aninda tercinta, kutulis surat ini dari Biak. Dari sebuah tempat dimana
senja terlihat sangat mengagumkan di ufuk sebelah barat. Sebuah tempat
yang sangat menakjubkan untuk merindukanmu. Pada gelak tawa dan senyum
manis yang selalu melekat di pelangi rupamu. Serupa hamparan batu karang
di pantai sebelah belakang kamar hotel yang kutempati. Bersyukurlah
pada Tuhan yang telah mencipta semua keindahan ini.
Aninda, kehidupan disini sama saja seperti di Sungai Pinang. Aroma tanah semerbak sisa hujan semalam masih bisa kurasakan menembus lubang pintu. Anak-anak sekolah berduyun berjalan bersama. Semua berjalan biasa saja menjadi satu paduan harmonis kehidupan. Bagai debur ombak yang berkejaran menuju pantai.
Tidak ada petani yang berlari terburu-buru hanya untuk segera menggarap kebun mirip orang kantoran di Kuningan atau Sudirman itu. Yang selalu merasa "harus" terikat dengan rutinitas pekerjaan. Tidak. Disini tidak seperti di kotamu, Aninda. Betapa hidup bisa lebih menyenangkan jika kita memang menghendakinya.
Sejak kau yakinkan aku untuk pergi, aku masih tak yakin dengan apa yang akan kulakukan nanti. Aku tidak pernah tahu bahwa engkau pun sesungguhnya berat untuk melepasku. Aku hanya pergi untuk sementara saja. Tak pernah ku berpaling hanya untuk meninggalkanmu selamanya. Esok aku akan kembali. Meretas harapan saat lambaian tangan mulai terasa pilu di dada.
Aninda tersayang, sungguh pun demikian. Aku sangat berterimakasih untuk setiap butir air mata yang mengalir di pipimu. Entah kenapa aku tiba-tiba merinding. Aku sangat tak layak untuk kau tangisi. Ada yang lebih pantas untuk kau tangisi dan itu bukan kepergianku. Yakinlah, aku akan kembali padamu dan semua akan baik-baik saja. Bila indah yang ada, kan kubiarkan semua hanya untukmu.
Tidak ada petani yang berlari terburu-buru hanya untuk segera menggarap kebun mirip orang kantoran di Kuningan atau Sudirman itu. Yang selalu merasa "harus" terikat dengan rutinitas pekerjaan. Tidak. Disini tidak seperti di kotamu, Aninda. Betapa hidup bisa lebih menyenangkan jika kita memang menghendakinya.
Sejak kau yakinkan aku untuk pergi, aku masih tak yakin dengan apa yang akan kulakukan nanti. Aku tidak pernah tahu bahwa engkau pun sesungguhnya berat untuk melepasku. Aku hanya pergi untuk sementara saja. Tak pernah ku berpaling hanya untuk meninggalkanmu selamanya. Esok aku akan kembali. Meretas harapan saat lambaian tangan mulai terasa pilu di dada.
Aninda tersayang, sungguh pun demikian. Aku sangat berterimakasih untuk setiap butir air mata yang mengalir di pipimu. Entah kenapa aku tiba-tiba merinding. Aku sangat tak layak untuk kau tangisi. Ada yang lebih pantas untuk kau tangisi dan itu bukan kepergianku. Yakinlah, aku akan kembali padamu dan semua akan baik-baik saja. Bila indah yang ada, kan kubiarkan semua hanya untukmu.
Peluk hangat dan cium,
Biak, 19 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar