"The loneliest moment in someone’s life is when they are watching their whole world fall apart, and all they can do is stare blankly"
Francis Scott Fitzgerald - Hal. 47
Scarlet, pianis lounge yang sedang menjalani serangkaian kejadian hidupnya dengan monoton bertemu dengan seorang Devon. Pria bertipe playboy yang kemudian menggeser jadwal tetapnya. Pertemuannya dengan Devon malam itu adalah satu momen yang paling tidak menyenangkan sepanjang karirnya di lounge. Mantan pacar Devon menghancurkan mobil putih kesayangannya malam itu. Wanita itu tidak tahu kalau ada dua mobil berwarna putih di parkiran. Satu milik Scarlet, satu milik Devon.
Cerita terus berlanjut ketika Scarlet menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta pada sosok Devon. Pada hari ulang tahunnya, Scarlet mendapat kejutan yang sangat spesial dari Devon. Sebuah perayaan kecil sengaja dibuat oleh Devon untuk Scarlet. Devon beralasan, barangkali dengan kejutan kecil darinya Scarlet bisa mulai memaafkan Devon atas insiden yang melibatkan mobilnya.
Scarlet sebenarnya tahu bahwa Devon adalah kekasih sahabatnya, Aira, yang juga manajer lounge. Bila memang benar cinta itu buta, maka cinta telah membutakan Scarlet hingga akhirnya Scarlet tersadar bahwa ia tidak mungkin mencintai kekasih sahabatnya sendiri. Setelah bergulat dengan segenap penyesalan di masa lalu, Scarlet kembali melawan penyangkalan terbesarnya, jatuh cinta kepada Devon.
Keadaan menjadi semakin tidak mudah ketika Scarlet datang ke resepsi pernikahan sahabatnya semasa SMA. Segenap ingatan tentang kesalahan terindah di masa lalu menguasainya. Tekanan itu Scarlet alami kembali karena teman-temannya yang juga hadir di pesta pernikahan itu masih menganggap dirinya sebagai seorang pemadat dan pembunuh. Scarlet kembali teringat pada kelam semasa menjadi pecandu narkotika, satu momen yang mengakibatkan kepergian seseorang yang dikasihinya, Ibu.
Devon yang datang bersama Scarlet mampu meyakinkan Scarlet bahwa ia sudah berubah dan memintanya untuk tidak terlalu serius menanggapi celotehan semacam itu. Pertemuan kembali dengan mantan kekasihnya, membuat luka lama Scarlet kembali menganga. Sejenak, Scarlet mulai memvonis dirinya sendiri bahwa ia memang tidak layak bahagia.
Ketegangan demi ketegangan mulai mengalir dalam jiwa Scarlet hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti bermain di lounge. Scarlet menerima ajakan mantan kekasihnya untuk bergabung bersama band terbarunya. Scarlet merasa harus melanjutkan hidupnya dengan jalan yang baru ia pilih ini. Terlebih, dengan kenyataan HIV yang diderita mantan kekasihnya itu. Scarlet menjalani hidup barunya sebagai penulis dan pencipta lagu untuk band itu.
Scarlet baru saja menyelesaikan sebuah lagu sebelum ia akhirnya ditemukan pingsan. Tekanan bertubi-tubi membuat ia overdosis obat tidur. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan. Tidak. Scarlet tidak mati hari ini. Kenyataan semakin memburuk ketika Aira membuka percakapan dengan Scarlet usai tidur panjangnya. Aira kecewa pada sikap Scarlet yang tidak mau bercerita masalahnya dengan Devon. Aira meninggalkan Scarlet yang masih penuh tanya. Scarlet kini benar-benar sendirian.
Usai tragedi yang hampir mencabut nyawanya, Scarlet kembali pada guru musiknya. Scarlet kembali memainkan musiknya sekaligus mulai belajar membuat komposisi. Hingga tiba waktunya untuk melakukan resital piano pertamanya.
Kisah Scarlet tidak lantas berhenti disitu. Devon tiba-tiba muncul sesaat sebelum Scarlet tampil. Devon memaksa untuk menjelaskan sesuatu pada Scarlet. Scarlet tetap tidak bergeming. Devon lantas naik panggung dan memperkenalkan dirinya sebagai pianis pembuka. Devon memainkan lagu yang Scarlet tulis pada malam ia kehilangan kesadarannya. Lagu berjudul ‘Penantian’ ia membius Scarlet. Scarlet tidak pernah tahu bahwa Devon menemukan lagu ciptaannya itu hingga memainkannya dengan sangat indah. Scarlet hanya tahu bahwa malam resitalnya ini adalah malam yang paling indah.
Catatan Personal
Personally, saya jatuh cinta sejak pertama kali bertemu buku ini apalagi desain sampulnya. Sangat mewakili emosi yang menjiwai seluruh cerita. Silvia Arnie berhasil membangun sebuah karakter Scarlet yang tangguh dan kuat (and i love it!). Penulisnya sukses membuat sebuah kisah hidup yang kelam. Cerita yang menggebrak sejak awal mampu membuat penasaran dan menggiring pembaca untuk terus mengikuti kisah Scarlet dan Devon.
Dari sampulnya, saya berharap bahwa saya akan mendapat cerita tentang sebuah resital piano dalam pembacaan buku ini. Scarlet Preludium sedikit menyinggung hal ini ketika Scarlet memainkan resital pianonya di bagian akhir cerita. Walau tidak menjadi satu bab tersendiri, saya rasa sudah cukup sebagai pembuktian bagi Scarlet. Bukankah resital piano adalah mimpi setiap pianis?
Overall, Scarlet Preludium adalah metropop terbaru yang saya baca setelah Blackjack (Clara Ng & Felice Cahyadi). Remarkable point dari keduanya adalah bahwa hidup ini tidak selalu penuh dengan kisah-kisah cinta paling indah sepasang kekasih atau persahabatan yang everlasting. Bahwa cinta adalah entitas yang mampu mempercepat kelam. Betapa pun cinta menjatuhkanmu, kelak cinta pula yang membangunkanmu.
Judul : Scarlet Preludium
Penulis : Silvia Arnie
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Tebal : 296 hal.
Genre : Novel Dewasa-Metropop
Paninggilan, 13 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar