“Selamat pagi, Pak Bagus. Ada titipan pesan dari Mbak Gloria.”
“Pagi, Ci.... “
“Citra, Pak.”
“Dia datang hari ini kan?”
“Mbak Glo barusan telepon, ada urusan mendadak. Belum tahu mau kesini apa nggak.”
“Oh. Terus yang di dalam ini siapa? Asisten baru lagi?”
“Namanya Renata Martadinata. Biasa kami panggil Mbak Rena. Pengganti Mbak Glo, khusus hari ini.”
“Saya masuk dulu. Mari. Anyway, makasih.”
Damn. Where are you, Gloria? Why you didn’t tell me this. Main ganti seenaknya. Are you getting enough of me? But, hey. Who is the angel inside here?
“Ah, selamat pagi. Mas atau Pak Bagus?”
“Bagus. Cukup Bagus saja. Aku nggak keberatan lho pake ‘aku’ ‘kamu’.”
“Saya Renata. Saya menggantikan Gloria hari ini.”
“Oke, saya tahu. Nice to meet you, by the way.”
“Sebelum kita mulai, perlu saya jelaskan dulu bahwa saya akan meneruskan sesi konseling seperti apa yang sudah dibuat oleh Gloria. Termasuk segala daftar pertanyaan untuk...kamu.”
“Sebentar. Do you really know our problems?
“I’m here because i’m on it now. Ada alasan saya untuk tidak tahu masalah kamu?”
“Well, good then. Baik. Saya sudah siap.”
“Do you feel comfort enough?”
“Sure.”
“Selama ini, bagaimana weekend yang sempurna itu, untuk kamu?”
“Hah. Gloria bikin pertanyaan ini. How come..?”
“Begitulah. So, mau jawab atau..?”
“Begini. Weekend yang sempurna itu saat saya bisa melakukan hobi saya, tentunya. I mean, sehabis olahraga pagi, jalan pagi atau jogging bersama, kita minum teh sebentar lalu...bercinta..perhaps. Kemudian, saya membersihkan koleksi die-cast dan model robot sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dan Gloria membaca buku dari penulis kesayangannya.”
“Pagi, Ci.... “
“Citra, Pak.”
“Dia datang hari ini kan?”
“Mbak Glo barusan telepon, ada urusan mendadak. Belum tahu mau kesini apa nggak.”
“Oh. Terus yang di dalam ini siapa? Asisten baru lagi?”
“Namanya Renata Martadinata. Biasa kami panggil Mbak Rena. Pengganti Mbak Glo, khusus hari ini.”
“Saya masuk dulu. Mari. Anyway, makasih.”
Damn. Where are you, Gloria? Why you didn’t tell me this. Main ganti seenaknya. Are you getting enough of me? But, hey. Who is the angel inside here?
“Ah, selamat pagi. Mas atau Pak Bagus?”
“Bagus. Cukup Bagus saja. Aku nggak keberatan lho pake ‘aku’ ‘kamu’.”
“Saya Renata. Saya menggantikan Gloria hari ini.”
“Oke, saya tahu. Nice to meet you, by the way.”
“Sebelum kita mulai, perlu saya jelaskan dulu bahwa saya akan meneruskan sesi konseling seperti apa yang sudah dibuat oleh Gloria. Termasuk segala daftar pertanyaan untuk...kamu.”
“Sebentar. Do you really know our problems?
“I’m here because i’m on it now. Ada alasan saya untuk tidak tahu masalah kamu?”
“Well, good then. Baik. Saya sudah siap.”
“Do you feel comfort enough?”
“Sure.”
“Selama ini, bagaimana weekend yang sempurna itu, untuk kamu?”
“Hah. Gloria bikin pertanyaan ini. How come..?”
“Begitulah. So, mau jawab atau..?”
“Begini. Weekend yang sempurna itu saat saya bisa melakukan hobi saya, tentunya. I mean, sehabis olahraga pagi, jalan pagi atau jogging bersama, kita minum teh sebentar lalu...bercinta..perhaps. Kemudian, saya membersihkan koleksi die-cast dan model robot sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dan Gloria membaca buku dari penulis kesayangannya.”
“Ada lagi?”
“Sedikit variasi mungkin malamnya kita akan dinner di sebuah tempat romantis. You know lah, mengenang sedikit masa lalu.”
“Sudah?”
“At least, kami melakukan apa yang ingin kami lakukan. Itu sudah cukup, buat saya.”
“Karena tadi kamu sedikit menyinggung masa lalu, masih ingat lagu-lagu di pernikahan kalian?”
“Tentu saja. Bagaimana saya bisa lupa. Saya yang membuat playlist itu, dengan sedikit tambahan Danita tentunya.”
“Tiga lagu yang paling berkesan?”
“Hah? Do you really have to ask me those?”
“It’s on you. Give a shot on me.”
“I Finally Found Someone, After All by Cher and Peter Cetera, Beautiful in White...”
“The most favorite?”
“Come on?”
“The one you love most?”
“Gloria, what are you doing to me?”
“Saya Renata. Bukan Gloria. Mau jawab? It’s too early for a break.”
“After All!”
“Kenapa?”
“Do you married, Ren?”
“Sure, i am.”
“Udah pernah denger lagunya?”
“Belum. Saya nggak datang di pernikahan kalian.”
“Open up your smartphone and find it on Youtube. Hear the song, feel the lyric.”
“Would you sing it for me?”
“Wow. Wow. Setelah saya mengulang semua yang tidak ingin saya ceritakan, kamu masih nyuruh saya buat nyanyi. Halo?”
“Halo juga.”
Aku tidak ingin mengatakan ini pada Bagus. Aku tahu aku punya masalahku sendiri. Aku punya batasanku sendiri.
“Gus, saya mengerti perasaan kamu? Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa. Tolong diri kamu sendiri ya. Kamu mau kan?”
“Persis seperti apa kata Glo.”
“Saya juga berada dalam posisi seperti kamu Gus.”
Apa aku tidak salah dengar. Begitu mudahnya Renata mengaku, dihadapanku pula. Apakah ini satu trik supaya aku mau mendengarkannya? Aku harap bukan.
“Maksud kamu?”
“Aku nggak perlu jelasin apa-apa. Kamu tentu sudah bisa tahu apa yang sedang sama-sama kita alami.”
“.......”
“Kamu mau istirahat sebentar?”
“A small cup of tea, please.”
“Well, 10 minutes then.”
“Saya keluar sebentar, Ren.”
“Sure. Silakan. Saya disini.”
Baru sepuluh menit berlalu sejak perkenalan pertama dengan Renata. Tiba-tiba perasaanku berubah usai mendengar pengakuan singkatnya. Aku tidak tahu apakah aku menyimpan simpati atau hanya terenyuh dengan semua itu. Naluri bajinganku selalu mendesakku untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan pada Gloria. Menggenggam tangannya lalu melakukan semua yang bisa kami lakukan saat itu juga.
Aku menyalakan rokok. Aku benar-benar tidak tahu apakah harus melanjutkan sesi ini dengan Renata atau tidak. Danita saat ini dimana pun aku tidak tahu. Danita sudah tiga bulan ini tidak pulang. Aku pun tidak mencarinya. Kami sama-sama dewasa. Suatu hari, Danita pasti pulang.
“Shall we move?”
“Lanjut, Ren. I’m listening.”
“Now. You didn’t. It’s end here, Gus.”
“Lha, kok?”
“I can see it in your eyes.”
“Ren...”
“Gus...”
“..........”
“Pulanglah, Gus.”
*
Aku keluar dengan perasaan yang aneh. Belum pernah aku mengalami hal seperti ini dengan Gloria. Aku heran dengan apa yang baru saja Renata lakukan. Aku tidak mengerti mengapa harus jadi seperti ini. Jujur, aku malah khawatir ini jadi pertimbangan Gloria untuk terus mengembalikanku kesini.
Aku menunggu Renata keluar dari ruangan. Lima belas menit menanti rasanya sia-sia. Barangkali, Renata benar-benar sedang membereskan laporannya untuk Gloria nanti. Aku melangkah pulang. Aku merasa lelah dan ingin sendiri.
Aku tiba di rumah dengan malas. Aku mengantuk sepanjang jalan. Gerimis mempercepat kelam, kata Chairil Anwar. Aku tidak merasakan ada hal yang aneh sejak kedatanganku tadi. Aku masuk ke dalam rumah seperti biasa. Hingga aku bertatapan mata dengan Danita.
“Gus, kita harus bicara.”
“Danita...”
Jakarta, 2 April 2014.
“Sedikit variasi mungkin malamnya kita akan dinner di sebuah tempat romantis. You know lah, mengenang sedikit masa lalu.”
“Sudah?”
“At least, kami melakukan apa yang ingin kami lakukan. Itu sudah cukup, buat saya.”
“Karena tadi kamu sedikit menyinggung masa lalu, masih ingat lagu-lagu di pernikahan kalian?”
“Tentu saja. Bagaimana saya bisa lupa. Saya yang membuat playlist itu, dengan sedikit tambahan Danita tentunya.”
“Tiga lagu yang paling berkesan?”
“Hah? Do you really have to ask me those?”
“It’s on you. Give a shot on me.”
“I Finally Found Someone, After All by Cher and Peter Cetera, Beautiful in White...”
“The most favorite?”
“Come on?”
“The one you love most?”
“Gloria, what are you doing to me?”
“Saya Renata. Bukan Gloria. Mau jawab? It’s too early for a break.”
“After All!”
“Kenapa?”
“Do you married, Ren?”
“Sure, i am.”
“Udah pernah denger lagunya?”
“Belum. Saya nggak datang di pernikahan kalian.”
“Open up your smartphone and find it on Youtube. Hear the song, feel the lyric.”
“Would you sing it for me?”
“Wow. Wow. Setelah saya mengulang semua yang tidak ingin saya ceritakan, kamu masih nyuruh saya buat nyanyi. Halo?”
“Halo juga.”
Aku tidak ingin mengatakan ini pada Bagus. Aku tahu aku punya masalahku sendiri. Aku punya batasanku sendiri.
“Gus, saya mengerti perasaan kamu? Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa. Tolong diri kamu sendiri ya. Kamu mau kan?”
“Persis seperti apa kata Glo.”
“Saya juga berada dalam posisi seperti kamu Gus.”
Apa aku tidak salah dengar. Begitu mudahnya Renata mengaku, dihadapanku pula. Apakah ini satu trik supaya aku mau mendengarkannya? Aku harap bukan.
“Maksud kamu?”
“Aku nggak perlu jelasin apa-apa. Kamu tentu sudah bisa tahu apa yang sedang sama-sama kita alami.”
“.......”
“Kamu mau istirahat sebentar?”
“A small cup of tea, please.”
“Well, 10 minutes then.”
“Saya keluar sebentar, Ren.”
“Sure. Silakan. Saya disini.”
Baru sepuluh menit berlalu sejak perkenalan pertama dengan Renata. Tiba-tiba perasaanku berubah usai mendengar pengakuan singkatnya. Aku tidak tahu apakah aku menyimpan simpati atau hanya terenyuh dengan semua itu. Naluri bajinganku selalu mendesakku untuk melakukan apa yang biasa aku lakukan pada Gloria. Menggenggam tangannya lalu melakukan semua yang bisa kami lakukan saat itu juga.
Aku menyalakan rokok. Aku benar-benar tidak tahu apakah harus melanjutkan sesi ini dengan Renata atau tidak. Danita saat ini dimana pun aku tidak tahu. Danita sudah tiga bulan ini tidak pulang. Aku pun tidak mencarinya. Kami sama-sama dewasa. Suatu hari, Danita pasti pulang.
“Shall we move?”
“Lanjut, Ren. I’m listening.”
“Now. You didn’t. It’s end here, Gus.”
“Lha, kok?”
“I can see it in your eyes.”
“Ren...”
“Gus...”
“..........”
“Pulanglah, Gus.”
*
Aku keluar dengan perasaan yang aneh. Belum pernah aku mengalami hal seperti ini dengan Gloria. Aku heran dengan apa yang baru saja Renata lakukan. Aku tidak mengerti mengapa harus jadi seperti ini. Jujur, aku malah khawatir ini jadi pertimbangan Gloria untuk terus mengembalikanku kesini.
Aku menunggu Renata keluar dari ruangan. Lima belas menit menanti rasanya sia-sia. Barangkali, Renata benar-benar sedang membereskan laporannya untuk Gloria nanti. Aku melangkah pulang. Aku merasa lelah dan ingin sendiri.
Aku tiba di rumah dengan malas. Aku mengantuk sepanjang jalan. Gerimis mempercepat kelam, kata Chairil Anwar. Aku tidak merasakan ada hal yang aneh sejak kedatanganku tadi. Aku masuk ke dalam rumah seperti biasa. Hingga aku bertatapan mata dengan Danita.
“Gus, kita harus bicara.”
“Danita...”
Jakarta, 2 April 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar