Beginilah tradisi Real: Ia harus menang, tetapi menang saja tidak cukup, ia harus menang dengan gol banyak, menang dengan gol banyak juga tidak cukup, ia harus bermain dengan super ofensif dan indah. *
Bernd Krauss
Courtesy: uefa.com |
Minggu dini hari, Madridista di seluruh Republik ini bersorak. Untuk sementara, mereka tidak perlu peduli soal siapa Jokowi, siapa Prabowo, koalisi merah putih atau koalisi kembang gula. Pagi ini adalah milik mereka. Real Madrid berhasil menghancurkan rival sekota mereka, Atletico Madrid, dalam final Liga Champions Eropa yang digelar di Lisabon, Portugal. Real Madrid membayar kontan gelar ke-10 mereka ini dengan skor meyakinkan, 4-1.
Atletico Madrid berhasil menjadi kejutan musim ini dengan berhasil menyisihkan Chelsea dan Barcelona. Gairah mereka semakin menjadi ketika berhasil meraih gelar Juara Liga Spanyol dua minggu sebelumnya. Diego Simeone berharap momentum itu bisa membuat Atletico tetap berada pada jalur juara. Simeone pun paham betul bahwa lawannya itu adalah teman sekota mereka, yang punya keinginan besar untuk menggenapi gelar trofi Liga Champions mereka.
Courtesy: uefa.com |
Real Madrid pun punya alasan yang kuat kenapa mereka harus juara. Selain target piala ke-10, skuad mereka pun terhitung sangat ideal untuk menghentikan perlawanan Atletico. Pun, Real Madrid punya Carlo Ancelotti yang sudah sangat paham betul membaca situasi dalam pentas final Liga Champions. Deretan nama bintang dalam skuad Real Madrid seharusnya jadi jaminan gelar ke-10 mereka.
Situasi seperti ini agaknya pernah terjadi di El Real. Tahun 1998, El Real punya skuad Galacticos 90’an yang dihuni nama besar seperti Predrag Mijatovic, Raul Gonzalez, Davor Suker, Fernando Hierro, Clarence Seedorf, dan Roberto Carlos. Medio 2002, Los Galacticos kedatangan Zinedine Zidane, David Beckham, dan Michael Owen.
Jadi, bisa dibayangkan betapa sulitnya bagi seorang Ancelotti untuk menangani pemain kaliber-kaliber individualis besar ini. Ancelotti seakan tidak perlu membentuk mereka lagi. Tugas utamanya hanya perlu membimbing karakter-karakter semacam Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Karim Benzema, Angel Di Maria, Xabi Alonso, dan Sergio Ramos menjadi sebuah kesebelasan yang padu.
Bagaimanapun, semalam tadi Ancelotti rupanya paham untuk segera mengandaskan Atletico meski harus bermain hingga babak perpanjangan waktu. Ancelotti tidak ingin final ini selesai dengan adu penalti. Mungkin, dalam benak Ancelotti masih terbayang kegagalan AC Milan dalam adu penalti menghadapi Liverpool di Istanbul, 2005 lalu.
Courtesy: uefa.com |
Maka, ketika Sergio Ramos melesakkan gol penyeimbang, semua pemain Real tahu apa yang harus dilakukan: segera menyelesaikan pertandingan. Gol-gol dari Gareth Bale, Marcelo, dan penalti Cristiano Ronaldo menyudahi perlawanan tim sekota. Antiklimaks untuk sebuah drama anti-mainstream. Atletico memang gagal membuat kaya petaruh-petaruh besar, namun ia sanggup menegaskan eksistensi atas sebuah entitas dalam sepakbola modern.
Hala Madrid!
Pharmindo, 25 Mei 2014
* Dari artikel berjudul “Ambisi Sebuah Klub Superlatif” dalam “Air Mata Bola: Trilogi Sepakbola Sindhunata” hal. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar