Menuju Negeri Lee Kuan Yeuw
31 Desember 2014. Hari terakhir tahun ini. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan mengalami perjalanan ini. Melakukan pergantian tahun di negeri orang. Memang tak jauh, hanya di negerinya Lee Kuan Yew. Namun, perjalanan memang selalu membawa kita pada sesuatu yang baru. Terlebih, saya ditemani istri tercinta kali ini.
Kami tidak punya agenda apapun untuk malam tahun baru ini. Pagi ini, kami harus segera berangkat menuju Batam Center. Agak sedikit terlambat karena kami terlalu menikmati kemalasan pagi hari. Kami baru check-out sekitar pukul 08.30 bersama pasangan asal Singapura yang mengajak kami untuk menyewa mobil (sharing) bersama. Ide yang bagus. Kami membayar bill hotel plus Rp. 80.000,- sebagai harga sewa mobil.
Laki-laki asal Singapura itu menebak tujuan kami adalah negerinya. Betul, kami memang akan kesana. Akhirnya, si perempuan ikut bicara dan memberi tahu kami spot-spot bagus untuk menikmati malam pergantian tahun disana. Vivo City Mall dan Marina Bay Sands sudah jelas masuk dalam daftar mereka.
Kami berpisah di Batam Center. Mereka boarding menuju antrian ferry Wave Master sedangkan kami menuju counter Batam Fast. Saya dan Ella sempat tertahan sepuluh menit disini karena antrian yang lumayan panjang. Tidak masalah karena masih ada setengah jam menuju keberangkatan walau sempat khawatir tidak kebagian jadwal penyeberangan jam 10.00 WIB. Kami lalu menuju area pengecekan imigrasi. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Saya menangkap senyum petugas yang tadi menyuruh kami untuk pergi ke counter Batam Fast untuk check-in. Maklum, kali ini saya tidak dibantu agen perjalanan :D .
Perjalanan menggunakan ferry ditempuh selama satu jam. 15 menit lebih lama karena kondisi ombak dan cuaca yang gerimis. Pada misi penyeberangan kali ini kapal ferry kami tidak didatangi petugas patroli perbatasan. Agak sedikit kaget ketika penyeberangan saya yang pertama sempat diperiksa oleh polisi.
Wilkommen en Singapore!
Cuaca agak sedikit cerah dan matahari mulai terlihat. Sisa-sisa gerimis masih membekas ketika Ella menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Harbourfront, Singapura. Kami segera menuju antrian imigrasi yang memang sudah padat oleh penumpang dari ferry sebelumnya. Seperti biasa, saya menjumpai lagi petugas imigrasi yang cekatan membuka jalur antrian. Kami menghabiskan waktu 15 menit untuk menyelesaikan urusan cap paspor.
Karena sudah dekat dengan Sentosa Island, Ella minta untuk segera menuju kesana. Ada beberapa pilihan untuk menyeberang ke Sentosa. Ada kereta gantung dan kereta shuttle dari Vivo City. Jalan kaki pun bisa. Namun, akhirnya kami urung pergi kesana. Kami tidak ingin kehabisan waktu disana. Maka kami pun hanya duduk-duduk santai di teras Vivo City Mall berteman angin laut sambil mencoba kamera DSLR pertama saya.
Selain liburan, pada perjalanan kali ini juga saya dibekali oleh perlengkapan baru. Sebuah kamera DSLR buatan Nikon dan tripod jadi teman seperjalanan. Selain kamera pocket Lumix FH-4 tercinta, tentunya. Saya belum banyak belajar fotografi digital sehingga perjalanan ini akan jadi momen latihan.
Saya segera memasang tripod dan mengambil beberapa foto di pinggir pantai. Saya juga mencoba beberapa fitur kamera. Saya akan menghabiskan banyak jepretan selama perjalanan ini karena saya ingin tahu sejauh mana penguasaan saya atas kamera DSLR. Usai puas berfoto dan rehat sejenak meredakan mabuk laut, kami beranjak lagi menuju stasiun MRT di underground Vivo City. Tujuan selanjutnya adalah Merlion Park. Saya akan mengajak Ella menuju Singapore’s trademark sekaligus mengesahkan perjalanan pertamanya kesini dengan berfoto latar Singa Merlion.
Kami membeli tiket daily pass seharga SGD 24. Jaminan SGD 20 akan didapatkan bila menukarkan daily pass pada saat habis masa berlakunya. Ini adalah satu cara yang bagus apabila kita puas jalan-jalan seharian di Singapura. Kita tidak perlu repot lagi untuk mengantri tiket. Tiket daily pass ini juga berlaku untuk semua moda transportasi, tidak hanya terbatas pada subway MRT.
Merlion is a Must!
Pada stasiun tujuan pertama, kami salah turun. Kami pun kembali ke Vivo City Mall dan mengambil rute menuju Raffles Place, dimana kami harus transit di stasiun Dhoby Ghaut. Kami pun akhirnya tiba di stasiun Raffles Place dan berjalan menuju Merlion Park.
Sudah menjadi keharusan bahwa berfoto dengan Merlion adalah semacam stempel yang mengesahkan kedatangan kita di negeri ini. Seakan tertulis dalam kitab suci bahwa Merlion adalah ritus khusus yang wajib didatangi. Ini terjadi lagi pada kami. 2013 lalu saya berfoto disini bersama kawan-kawan kantor. Kali ini, saya bersama dengan istri tercinta mengabadikan momen bersama Merlion dan Marina Bay Sands Hotel.
Hari pun beranjak menuju senja. Kami berjumpa dengan seorang perempuan dari Indonesia yang sedang menunggu temannya untuk menikmati tahun baru di Merlion Park. Ia hanya akan duduk-duduk saja disana seraya menunggu lalu kembali ke Indonesia pada pagi pertama di 2015. Kami pun pamit dan berjalan menuju Raffles Place.
Kami melepas lelah dengan menikmati es krim ala Orchard. Bedanya, yang ini tidak pakai roti tapi pakai kue waffel kering. Harganya pun masih SGD 1, dimana harga es krim ala Orchard mengalami kenaikan yang kini harganya menjadi SGD 1,2. Kami berdua pun tidak lupa untuk menghabiskan waktu berfoto bersama. Ada banyak spot bagus. Cukup pasang tripod, pasang timer, and smile!
Tak terasa sudah pukul 7 malam lebih, kami pun harus mengakhiri sesi foto outdoor hari ini. Seragam Merah Liverpool yang kami kenakan sepanjang hari ini sudah terekam dengan baik dalam kamera. Pertanda eksistensi ala couple yang sedang jadi trend belakangan ini. Ella memeriksa kembali booking hotel. Kami mendapat kamar di hostel backpacker, Lofi Inn Backpackers, yang berada di Hamilton Road. Batas check-in tertulis pukul 11 malam ini. Kami masih punya banyak waktu untuk menemukan alamat itu. Terlebih disaat kami benar-benar get lost tanpa handphone dan wifi.
Finding Hamilton
Keajaiban dimulai sejak kami naik MRT dari Raffles Place menuju Hamilton Road. Sebelum berangkat saya memang pernah mencari posisi hotel di Google Maps. Saya menandai patokan menuju ke hostel adalah dari Mustafa Center. Dengan demikian, berangkatlah kami menuju stasiun MRT Little India.
Setibanya di Little India, saya dilanda kebingungan karena tidak bisa menemukan posisi Mustafa Center walaupun sudah bertanya pada polisi yang berpatroli. Kami terus berjalan menyusuri jalan besar. Saya melihat Ella sudah lelah. Saya pun demikian. Tanpa disadari, kami mengalami adu argumen kami yang pertama disini. Kami sudah mulai lapar ketika menemukan sebuah warnet. Aha!
Kami mencoba mencari lokasi hotel dari tempat kami ngewarnet. Kami membayar sewa SGD 1 untuk 30 menit. Dari warnet, kami hanya perlu tinggal mengambil jalan lurus menuju Hamilton Road. Akhirnya, the problem solved! Waktunya cari makan.
Kami pun menjatuhkan pilihan pada restoran di perempatan jalan sekitar 800 meter dari warnet. Walaupun melabeli restorannya dengan masakan India, namun restoran ini menyediakan variasi yang cukup lengkap. Ada nasi goreng dan capcay, serta masakan khas Melayu dan Thailand. Kami pun memesan seporsi capcay yang cukup untuk berdua dan roti canai berkuah gulai. Kami menghabiskan SGD 12 untuk dinner yang cukup menyenangkan ini.
Kami berjalan kembali menuju Hamilton Road yang terletak di ujung jalan. Perasaan lega seketika menyeruak. Ah, betapa ingin kami segera merebahkan diri sebelum menyaksikan pesta kembang api yang katanya ada yang digelar di dekat lokasi hostel. Lofi Inn yang kami cari pun tak begitu susah ditemukan. And you know what, shit starts from here.
Sometimes, Life Left You Unanswered
Setibanya di Lofi Inn kami segera check-in, petugas resepsionis hostel sudah bersiap untuk pergi. Ia sudah ditunggu temannya, mereka akan merayakan tahun baru. Katanya, dua orang petugas pengganti shift sudah ada dan sedang bersiap-siap di belakang. Kami menunggu kembali. Beberapa tamu yang datang sebelum kami pun tampak kesal. Perasaan saya mulai tidak enak. Kami pun menunggu hingga menjelang pukul 11 malam. Tak terasa sudah satu jam lebih.
Pukul 11 malam, tidak ada petugas hostel yang dapat dihubungi. Lima belas menit kemudian ada dua orang petugas yang dengan gagahnya memberitahu para tamu bahwa Lofi Inn mengalami kerusakan sistem reservasi sehingga tamu yang membooking kamar via agoda.com dan booking.com tidak bisa mendapatkan kamar yang memang sudah penuh. Mereka meyakinkan kami untuk segera mencarikan hostel pengganti di sekitar lokasi yang berdekatan. Setahu saya, ketika kami tiba di Hamilton Road memang ada beberapa hostel lain. Mungkin juga mereka sudah penuh apalagi ini sekarang adalah malam tahun baru.
Menjelang menit-menit pergantian tahun, kami belum juga dapat kepastian. Sementara si petugas semakin kewalahan mencari hostel pengganti. Kami diperbolehkan menggunakan fasilitas kamar mandi hostel. Saya dan Ella bergantian cuci muka dan sholat.
Akhirnya, kami menikmati kembang api dari kejauhan saja. Kami masih belum dapat kepastian tempat tinggal malam ini. Dari jendela yang mengarah keluar di lantai tiga Lofi Inn, saya melihat kembang api di kejauhan. Sementara Ella berada di bawah bersama tamu-tamu lain yang membaur. Beberapa tamu mengucapkan Happy New Year pada yang lainnya. Saya melihat harapan baru tumbuh di mata mereka.
Kami pun mendapatkan kamar, seorang petugas membawa saya dan Ella ke penginapan sebelah. Kira-kira 4 ruko bedanya dari Lofi Inn, sebuah hostel backpacker berjudul Pillow Talk. Saya meminta ranjang yang sama dengan Ella setelah meyakinkan di penjaga sekaligus owner Pillow Talk. Namun, karena ada seorang kawan perempuan lain dari Indonesia yang juga tidak kebagian kamar di Lofi Inn, saya harus rela tidur terpisah dari Ella.
Kamar hostel untuk backpacker termasuk unik. Satu kamar bisa diisi hingga 16 orang dengan tempat tidur ganda (atas-bawah). Saya kebagian di ranjang atas yang cukup nyaman. Saya harus rela menikmati malam pertama saya tanpa istri disamping. Namanya juga hostel backpacker. Kalau pengen enak ya kenapa nggak tinggal di Fullerton, ucap saya dalam hati.
Satu pelajaran telah kami alami soal booking hotel via external channel seperti agoda dan booking.com. Ella menduga kejadian yang kami alami ini adalah trik marketing dari sekumpulan pengusaha hotel agar mendapat kue yang sama sepanjang perayaan tahun baru.
Malam semakin meninggi. Pesta telah usai. Ledakan kembang api sayup-sayup masih terdengar dari kejauhan. Sementara itu, backpackers lain mulai berdatangan dan segera tidur. Perjalanan saya dan Ella belum akan berakhir. Kami masih akan menikmati Singapura seharian. Rencananya kami akan pergi ke Singapore Zoo lalu sorenya kami menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia.
Mata saya mulai berat. Barangkali, Ella pun begitu. Terima kasih Tuhan untuk perjalanan kami hari ini.
Johor Bahru, 1 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar