Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti,
Tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah
(Soe Hok Gie, 1966)
Setiap selesai membaca buku kadang saya menulis juga review mengenai buku yang sudah dibaca itu. Terlepas dari kaidah-kaidah penulisan resensi yang dulu didapat dari mata kuliah Penulisan Artikel dan Resensi Buku. Ada kalanya saya benar-benar memberikan tinjauan atas satu buku. Nyatanya, seringkali saya hanya menulis apa yang terlintas di benak saya.
Tadinya, saya ingin menulis satu tinjauan lengkap atas buku ini. Namun, lagi-lagi, akibat satu-dua komentar di Goodreads, membuat saya batal menulis yang demikian itu. Saya ingin membandingkan pengalaman pembacaan saya dengan kritik-kritik yang buku ini terima di Goodreads.
Editing. Memang betul buku ini punya masalah serius dengan hal ini. Dari sisi penulisan dan penyajian teks, saya mengalami ketidaknyamanan sejak pembacaan halaman pertama. Barangkali, saya sudah terbisaa dengan tulisan teks yang rata kiri-kanan. Saya yakin buku ini telah lulus tahap-tahap editorial. Tidak mungkin buku ini mengcompile sedemikian banyak tulisan lalu diterbitkan ke publik begitu saja. Tetap disayangkan bahwa hal semacam ini masih luput dari perhatian Sang Editor. Justru, saya menaruh apresiasi pada desain tata letak sampul buku.
Sejak buku ini adalah kumpulan tulisan yang didokumentasikan dalam blog pribadi penulisnya maka maklum bila pembacanya menjumpai “selera” penulisan yang berbeda. Ada beberapa hal personal yang harus berhadapan dengan selera komersial. Artinya, ada bagian tulisan yang harus diubah. Itu kata komentator.
Menurut saya, tidak ada yang harus dirubah dari semua tulisan yang dimuat. Karena memang terbit pertama kali di blog penulisnya maka ketika buku ini mengusung tema kolektif semacam ini haruslah ditampilkan sebagaimana tulisan ini terbit pertama kalinya.
Otentisitas adalah harga mati untuk sebuah karya yang didokumentasikan secara personal dan kemudian diangkat menjadi sebuah karya kompilasi. Nilai-nilai yang bersifat dan personal itulah yang membuat tulisan ini hidup.
Pembaca boleh saja mempunyai seleranya sendiri, namun pembaca juga haru memahami apa yang jadi bacaannya. Pembaca harus paham latar belakang kontekstual yang melahirkan tulisan memoir perjalanan seperti yang ada dalam buku ini.
Saya tidak harus mengulangi lagi pernyataan saya sebelumnya bahwa semua tulisan dalam buku ini bersifat personal dan individual. Agak mengherankan ketika semua tulisan dalam buku ini harus berhadapan dengan makhluk yang bernama “pesan moral”. Tidak semua tulisan perlu disertai dengan pesan moral. Kecuali dalam beberapa tulisan yang memang mengharuskan isinya memiliki nilai yang bisa jadi pelajaran bagi pembaca.
Saya maklum saja karena mungkin saja komentar semacam ini muncul dari pembaca yang terlalu ‘serius’ dengan working paper atau jurnal. Tulisan mengenai perjalanan (travelogue) tidak hanya bercerita tentang bagaimana si penulis melakukan perjalanan. Pembaca dibebaskan sebebas-bebasnya untuk mengambil sendiri nilai moral dari yang sudah mereka baca. Saya kira ini hanya soal persepsi belaka karena sangat tidak mungkin untuk menyamakan persepsi, gaya tulis, dan tema dengan selera pembaca.
*
Judul buku ini sendiri sudah cukup menggugah dan membuat penasaran. Kita sudah lebih dari sering mendengar istilah: “Home is where your heart is.” Bagi para pengelana atau backpacker kelas jadi-jadian, hatinya bisa berada dimana saja. Hatinya mengembara sepanjang perjalanan. Hatinya bisa saja tertinggal di tempat tujuannya, tapi itu akan membawanya selalu kembali pada kesejatian cintanya.
Kabar baik dari buku ini adalah kita dihadirkan pengalaman masing-masing penulis dengan ceritanya masing-masing dalam membelah kekayaan dan keindahan bumi pertiwi. Ajaibnya, semua penulis kisah-kisah perjalanan ini adalah perempuan! Pembaca bisa tahu sekaligus merasakan patah hati di Mandalawangi, Bromo, dan Baluran. Kemudian, menyemai cinta dalam perjalanan menuju Kawah Ijen, Mahameru, dan Bali. Kenangan tentang sosok Ibu akan menyeruak kala perjalanan agak bergeser ke Lombok. Sabang dan Minangkabau menyuguhkan pengalaman pendewasaan diri. Kecintaan pada negeri ini akan semakin menebal kala Tana Toraja, Larantuka, dan Raja Ampat menghadirkan keunikannya.
Ada beberapa tulisan yang jadi favorit saya. Tulisan berjudul “Kabut Cinta Mandalawangi” dari Agita Violy dan “melarung Ingatan Tentangmu di Bromo”. Buku ini justru menjadi semakin unik dengan tema-tema individualnya. Ada cerita soal patah hati, menemukan cinta dalam perjalanan, hingga kenangan tentang Ibu. Maka, alangkah saya bersyukur bahwa Sang Editor tidak menempatkan tema-tema seragam menjadi bab yang sekuensial.
Judul : Rumah adalah di Mana Pun
Penulis : Adinto F. Susanto (ed.)
Penerbit : Grasindo
Tebal : 258 hal.
Tahun : 2014
Genre : Travelogue-Memoar
Pharmindo-Medan Merdeka Barat, 27 April 2015.