'Atheis' pertama kali terbit pada tahun 1949, hanya berselang jarak empat tahun dari proklamasi kemerdekaan Republik. 'Atheis' memotret suatu kondisi zaman dimana penganut paham filsafat eksistensialisme dan marxisme beradu usai perang dunia ke-2. Achdiat K. Mihardja dengan cermat memperhatikan tanda-tanda zaman dan menuliskannya ke dalam roman ini. Pemuda-pemudi Indonesia yang sempat mengecap pendidikan di Barat membawa paham-paham tersebut masuk ke dalam negeri, apalagi situasi perang kemerdekaan saat itu membuat kondisi Republik masih terlunta-lunta dalam melaksanakan ideologinya.
'Atheis' sendiri adalah satu-satunya karya Achdiat K. Mihardja yang terbit di Indonesia. Karya novel beliau, 'Debu Cinta Bertebaran' terbit untuk pertama kalinya di Singapura. 'Atheis' menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia klasik yang memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia. 'Atheis' telah mengalami cetak ulang sebanyak 26 kali hingga tahun 2014. 'Atheis', dengan sendirinya, menahbiskan dirinya sebagai monumen sastra Indonesia.
'Atheis' mewakili gejolak yang muncul di kaum muda Indonesia pasca kemerdekaan. Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia maka menarik banyak pelajar Indonesia yang selesai bersekolah di negeri Barat untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kebebasan pemikiran ala barat di kalangan 'vrijdenker' (free thinker) pada awal abad XX mulai memasuki babak baru dalam sejarah Republik yang begitu muda.
Pertentangan yang disuguhkan dalam 'Atheis' sesungguhnya adalah tipikal klasik. Kaum Atheis, yang menyanjung paham materialisme harus menghadapi kaum tradisional yang masih memegang teguh kaidah agama mereka. Munculnya paham Marxisme dan komunisme pada dekade-dekade selanjutnya membuat 'konflik' yang tak kunjung reda.
Empat belas bab dalam 'Atheis' menjelaskan bagaimana seorang Hasan harus berkonflik dengan batinnya sendiri. Hasan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Hasan pun menjadi seorang hama Tuhan yang sangat taat beribadah. Pertemuannya dengan sahabat lamanya, Rusli, adalah awal dimana iman Hasan mulai tergerus. Rusli adalah seorang yang rasional dan menganut paham materialisme ala Nietzsche. Rusli selalu mampu membantah argumen-argumen Hasan tentang ketuhanan.
Jalan hidup Hasan semakin berliku tatkala ia mulai jatuh hati pada Kartini yang dikenalkan padanya oleh Rusli. Kartini punya kesamaan yang sama dengan Rusli. Ia menganut paham ala barat itu. Kedekatan Hasan dengan Rusli semakin memuluskan cintanya pada Kartini.Percintaan mereka berujung hingga pernikahan walau tanpa restu orang tua Hasan.
Kehidupan pernikahan yang selalu dibayangkan Hasan pudar perlahan ketika ia mengetahui Kartini sering keluar dengan Anwar. Hasan pun bercerai dengan Kartini. Usai melewati puncak kemarahan dirinya. Hasan pun menyesal terhadap jalan hidup yang telah ia pilih. Ia telah menjadi Atheis dan telah mencabut nyawa Anwar.
Dalam novel ini, atheis yang disebutkan dalam judul tidak mengacu kepada tokoh tertentu yang dipertentangkan terhadap tokoh utama Hasan. Tetapi, lebih ditujukan kepada persoalan kehidupan yang dialami dan dijalani oleh tokoh Hasan. Hasan sendiri tidak pernah benar-benar menjadi seorang Atheis. Roman 'Atheis' menggambarkan jiwa Hasan sebagai kapal yang terombang-ambing antara theisme dan atheisme. Maka, ketika akhir hayatnya, Hasan masih mengucapkan 'Allahu Akbar!!!' sebagai tanda keimanannya.
Keberhasilan 'Atheis' terletak hampir pada semua unsurnya. Penggunaan teknik cerita berbingkai memungkinkan setiap peristiwa yang terjadi di dalam 'Atheis' seolah-olah terjadi diluar diri pengarangnya. 'Atheis' mampu melepaskan tokoh aku dari tokoh utama cerita. Unsur-unsur lainnya seperti perwatakan, latar cerita yang lekat dengan keseharian keagamaannya masing-masing secara padu mendukung tema yang menyuguhkan ketegangan antara keyakinan theisme dan atheisme.
Atas pencapaian yang demikian itu, 'Atheis' dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah pada tahun 1969. 'Atheis' diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh R. J. Maguire. 'Atheis' juga sempat diangkat ke layar lebar oleh Syuman Djaya pada tahun 1974. 'Atheis' kini menjadi satu dari sekian karya sastra monumentgal yang masih terus dibaca dan dibicarakan.
Catatan Singkat
Perkenalan dengan 'Atheis' dimulai dengan sebuah pertanyaan soal di LKS (Lembar Kerja Siswa) pelajaran Bahasa Indonesia SMA. Saya tidak tahu harus memilih pilihan jawaban yang mana ketika disodorkan hal tentang 'Atheis'. Hal itu membuat saya mendatangi Perpustakaan Sekolah dan meminjam 'Atheis'. Waktu itu, rupanya 'Atheis' terlalu berat untuk saya. Jadi, saya hanya membaca-baca sekilas mengenai pertentangan yang dialami tokoh Hasan.
Selanjutnya, pembacaan 'Atheis' hanya berlangsung parsial di Majalah Horison yang membahas karya monumental milik Achdiat K. Mihardja ini. Baru di Indonesian Book Fair tahun ini saya sengaja mengunjungi stand Balai Pustaka dan membawa 'Atheis' pulang untuk kedua kalinya. Alasannya cukup jelas, selain untuk menambah koleksi buku karya "Aki" Achdiat K. Mihardja, saya juga ingin memiliki satu karya sastra yang bisa dikatakan 'maju' pada zamannya.
Saya tidak berlebihan memberikan predikat 'maju pada zamannya' untuk 'Atheis'. Pada tahun terbitnya, tidak banyak karya sastra Indonesia yang mempertentangkan soal pemikiran Barat dan keyakinan tradisional masyarakat di tengah situasi Republik yang saat itu masih prematur. Kemudian, tidak banyak punya karya sastra yang seumuran dengan 'Atheis', yang mampu bertahan lama, mengalami cetak ulang berpuluh-puluh kali dan selalu menjadi referensi bagi generasi terkini.
Akhirul kalam, 'Atheis' mampu memberikan aspek-aspek yang menantang mengenai tema yang diangkatnya. 'Atheis' mampu memainkan tema yang cukup peka dan sensitif hampir sepanjang sejarah kesadaran manusia. Untuk itu, 'Atheis' telah melampaui zamannya dan terus hidup di setiap zaman yang akan datang.
Judul : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 2014
Tebal : 252 hal.
Genre : Sastra Indonesia-Roman
Dharmawangsa, 20 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar