|
Courtesy: www.futurelearn.com |
Sebulan yang lalu saya resmi menamatkan sebuah online course dengan subjek Perang Dunia I atau World War I disingkat (WWI). Online course ini diselenggarakan oleh sebuah situs social learning, yaitu www.futurelearn.com. Situs ini menghimpun berbagai institusi dunia yang membuka kelas belajar online di berbagai bidang ilmu. Biaya belajar di Futurelearn gratis namun peserta harus membayar 65 GBP untuk mendapatkan sertifikat.
Sebelum ikut kursus, Perang Dunia I bagi saya adalah perang yang sangat tidak masuk akal, non-sense. Dalam buku pelajaran Sejarah zaman SMP, selalu disebutkan bahwa Perang Dunia I disebabkan oleh terbunuhnya Franz Ferdinand, putra mahkota Hongaria, oleh seorang nasionalis Serbia. Konflik kemudian meninggi ketika Rusia, Jerman, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat ikut terlibat. Tidak pernah ada statement khusus mengenai kenapa konflik antara Austria-Hongaria yang menyatakan perang terhadap Serbia mempu menarik pelatuk senjata perpecahan antara Jerman dan Rusia.
Berbeda dengan Perang Dunia II dimana kebangkitan ultra-nasionalis Nazi di Jerman menyebabkan terjadinya blitzkrieg ke Polandia dan menyebar ke seluruh Eropa. Sehingga, kesimpulan saya untuk Perang Dunia I masih seperti itu: “perang yang nggak jelas”.
Pencerahan akhirnya tiba dengan kursus online dari University of New South Wales, Australia ini. Saya jadi mengerti benang merah konflik antara Jerman, Rusia, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Saya dibuat paham bahwa Jerman harus menyerang Prancis lebih dahulu sebelum berhadapan dengan Rusia. Prancis pun mendapat bantuan dari Inggris dan Amerika Serikat. Beberapa tahun kemudian, Australia, Selandia Baru, dan Canada ikut mengirimkan pasukan mereka untuk bertempur di Prancis.
Perang Dunia I adalah medan perang pembelajaran bagi sekutu (Prancis, Inggris, Amerika Serikat) dan Jerman dalam menuju perang modern. Perang parit (trench warfare) dan perang elektronik (electronic warfare) menjadi subjek utama dalam pengembangan taktik militer. Sejalan dengan dikembangkannya konsep ‘Stormtrooper’ milik Jerman.
Melalui pembelajaran kembali ini, saya mendapat gambaran yang lebih luas dan detail tentang terjadinya perang. Dengan demikian, saya tidak lagi memiliki pendapat bahwa Perang Dunia I adalah perang yang non-sense dan ‘nggak jelas’. Tautan konflik ditayangkan dan dipelajari bersama.
Ada dua hal yang menjadi perhatian khusus saya di kursus ini, yaitu adalah mengenai pengaruh perang terhadap literatur dan juga pemaknaan atau perayaan khusus dalam mengenang perang yang berlangsung sejak 1914 hingga 1918 itu. Beberapa negara Eropa memiliki kenangan terhadap perang yang membekas dan dituangkan dalam sejumlah karya fiksi dalam bentuk novel atau puisi. Pemaknaan khusus terhadap Perang Dunia I lebih dirasakan khususnya di Australia dan Selandia Baru dimana dihelat ANZAC Day (Australia and New Zealand Army Corps) yang turut berperang melawan Jerman di Prancis bagian utara.
Anyway, kursus online yang berlangsung selama enam minggu ini cukup membuat pengetahuan saya bertambah, khususnya untuk Perang Dunia I. Lewat model kursus semacam ini, peserta juga dilatih untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggris. Maklum, sampai saat tulisan ini naik cetak belum ada kursus online dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
Cipayung, 16 April 2016.