Courtesy: www.balairungpress.com |
Kalau saya ditanya mengenai satu buku tentang Seno (Gumira Ajidarma) yang paling sulit dibaca buku inilah jawabannya. Buku ini memang begitu tipis. Tidak sampai 150 halaman. Bentuknya pun seperti buku kumpulan cerpen Seno pada umumnya. Isinya membahas karya-karya Seno yang sudah saya baca seperti Trilogi Penembak Misterius, Alina, Clara, Wisanggeni Sang Buronan, hingga yang terbaru; Negeri Senja.
Bagi saya tetap saja sulit memahami isi buku ini. Apalagi bila dikaitkan dengan soal filsafat dalam karya sastra. Teori filsafat posmodernisme pernah sesekali mampir di telinga saya ketika kawan-kawan di kampus belajar soal Budaya Populer, Komunikasi Massa, dan Filsafat Komunikasi. Tetap saja, saya tidak begitu paham menggunakannya. Saya sendiri tidak tahu apakah betul Seno hanya menulis saja karya-karyanya tanpa mempertimbangkan mikronarasi atau sastra posmodern.
Karya-karya Seno meliputi laporan jurnalistik, cerpen, kritik film, puisi, dan novel. Tema dan gayanya beragam dan kompleks, kerap menggabungkan genre-genre yang secara tradisional terpisah. Bertukar-tukar antara realisme, fantasi, dan reportase. Pengetahuan atas elemen-elemen yang menatukan hasil karya Seno yang beragam akan menyediakan sebuah kerangka berpikir yang lebih luas guna memahami karya sastranya secara keseluruhan. Barangkali, demikian Andy ingin mencoba hipotesisnya.
Saya rasa tidak ada salahnya apabila anda seorang pembaca yang awam akan filsafat turut membaca buku ini. Secara tidak langsung, anda tentu akan belajar mengenai posmodernisme hanya lewat buku yang setebal 118 halaman ini. That’s a good idea. Lebih jauh, anda akan diajak lebih jauh dalam menganalisis politik kebudayaan Orde Baru. Ya, Seno adalah seorang kritikus Orde Baru, seorang oposan. Maka, ketika karya-karyanya yang terbit sepanjang Orde baru dianalisis, anda tentu akan mendapatkan gambaran Orde Fiksi yang ada dalam dunia Seno sehingga anda perlu atau tidak sengaja mengait-ngaitkan dengan relita di zaman Orde Baru.
Ada istilah lain yang baru saya dengar, yaitu metafiksi dan metanarasi. Selama ini kita hanya disuguhkan metabolisme, metafisika, dan metallica (ups..). Namanya juga peneliti, Andy Fuller menulis juga soal metafiksi dan kaitannya dengan budaya populer. Ada banyak karya Seno yang dianalisis melalui topik ini. Anda mungkin sudah membaca beberapa diantaranya, yaitu Alina Si Pendengar, Bandana, Wisanggeni Sang Buronan, Clara, dan Negeri Senja. Adanya hubungan dengan budaya populer turut menghilangkan kekakuan bentuk budaya tinggi. Dengan cara inilah Seno turut memperluas jangkauan sastra posmodern Indonesia.
Anyway, penelitian Andy Fuller yang luas dan mendalam mengenai karya-karya Seno ini merupakan salah satu pintu masuk untuk berada ‘di dalam’ Indonesia. Indonesia memiliki modal fiksi yang besar dalam pendayagunaan kekerasan dan korupsi, begitu kata testimoni Afrizal Malna. Secara akademis, buku ini membuka peluang diskusi lebih lanjut sebagaimana buku Seno lainnya yaitu “Layar Kata”, yang selalu dicari untuk dijadikan referensi penelitian film Indonesia. Kita bisa membahas relevansi gaya posmodern karya sastra Indonesia dalam konteks pasca-reformasi, misalnya.
Judul : Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma
Penulis : Andy Fuller
Penerbit : INSIST Press
Tahun : 2011
Tebal : 118 hal.
Genre : Sastra Indonesia
Cipayung, 27 Desember 2016.