Sumber gambar: www.goodreads.com |
Saya tidak tahu mengapa karya yang cukup bersejarah ini dinamai ‘kaldu ikan’. Entah karena memang dalam konteks perayaan setengah abad hubungan bilateral Indonesia-Jepang sehingga untuk menghormati kebiasaan makan ikan orang Jepang dipilihlah judul itu. Sejatinya, kaldu adalah hasil turunan dari produk protein hewani. Maka dari itu, untuk mengambil simpulan yang lebih sederhana kita anggap saja kalau kaldu ikan ini adalah hasil turunan dari dialog dan dialektika kebudayaan dua negara sahabat, Indonesia – Jepang. Ada pendapat lain? Silakan.
Komik yang bertajuk ‘Kaldu Ikan: Komik Indonesia + Jepang’ adalah sebuah karya kolaboratif. Proyek ini digagas oleh Takahashi Mizuki dan Ade Darmawan untuk menerbitkan buku kompilasi komik di Indonesia yang merupakan karya seniman Indonesia dan Jepang. Komik ini diterbitkan sebagai bagian dari “KITA!!: Japanese Artists Meet Indonesia” yang diselenggarakan untuk merayakan 50 tahun hubungan diplomatic bilateral Indonesia-Jepang. Pameran itu juga diikuti oleh 50 seniman yang aktif dan giat berkespresi di berbagai bidang, mulai dari seni, desain, manga, hingga tata boga.
Menariknya, komik ini juga bisa didapatkan secara gratis di berbagai lokasi pameran di Jakarta (The Japan Foundation, ruangrupa), Bandung (Selasar Sunaryo Art Space), dan Yogyakarta (Museum Nasional Yogya, Rumah Seni Cemeti, Lembaga Indonesia Perancis, Ruang Mes 56). Selain itu, anda bisa mendapatkan komik ini langsung dari komikusnya. Walaupun gratis, komik ini hanya dicetak 3000 eksemplar saja. Saya beruntung jadi satu dari 3000 orang pemilik komik ini.
Ide komik ini digagas oleh Ade Darmawan (curator ruangrupa) dan Takahashi Mizuki yang seorang seniman asal Jepang. Takahashi, menyinggung soal komik Jepang yang tidak diimpor oleh Indonesia. Komik buatan seniman Jepang dalam ‘Kaldu Ikan’ ini bukan diciptakan atas dasar strategi untuk mengincar kesuksesan eksplosif secara komersial. Oleh karenanya, tidak mudah untuk diekspor dan impor. Selain itu, identitas gaya ekspresi yang khas dan tetap memiliki jalur akses pada sastra, kesenian, desain, dan sebagainya itulah yang menjadikan keempat komikus ini mendapat tempat di perayaan ulang tahun bilateral Indonesia-Jepang.
Sementara, Ade Darmawan menganggap terbitnya komik kolaborasi ini sebagai energy baru dari sebuah pertukaran gagasan interdisiplin yang intens sehingga pengkayaan gagasan dari disiplin lain terjadi. Komik harus mempunyai keluasan wawasan dan kontekstualitas. Kolaborasi dengan disiplin ilmu lainnya seperti sastra, social-politik, sejarah, arsitektur, filsafat dan lainnya sangat dibutuhkan untuk menghasilkan karya-karya komik yang kaya akan gagasan lain selain “menggambar”.
Pilihan keempat komikus Indonesia dalam komik ini adalah karena masing-masing dari mereka memperlihatkan keberagaman pendekatan yang sangat kuat dalam bertutur melalui gambar yang telah secara intens mereka lakukan dalam waktu yang cukup lama. Gambar hanya sebuah pintu awal yang atraktif dalam mengundang kita ke lapisan-lapisan gagasan lainnya. Bila anda menginginkan sebuah nama besar, Beng Rahadian ada dalam deretan komikus “Kaldu Ikan”.
Untuk saya pribadi, komik ini justru terbit usai selesainya skripsi komik saya. Sehingga, saya tidak bisa menambahkan dimensi lain dari seni komik Jepang (manga) dan perkembangan komik yang lebih actual di Indonesia. Komik favorit saya adalah komik karya Dwinita Larasati yang berjudul “Prajab 12 Desember 2007”. Barangkali, ini terkesan subjektif karena saya mengalami juga yang namanya Diklat Prajab pada Maret 2011. Namun, jauh sebelum Diklat Prajab, saya sudah menyenangi bahasa gambar buatannya. Storyline yang berurut serta ilustrasi yang mengingatkan akan kenikmatan kuliner khas kota Bandung (yang ini alasan subjektif).
Judul : Kaldu Ikan: Komik Indonesia + Jepang
Penulis : Takahashi Mizuki, Ade Darmawan (ed.)
Penerbit : The Japan Foundation
Tahun : 2008
Tebal : 126 hal.
Genre : Komik
Medan Merdeka Barat, 9 Maret 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar