Ada semacam perasaan yang mengganggu kala mendengar kabar bahwa KA Parahyangan jurusan Bandung – Jakarta harus diberhentikan dengan alasan merugi. Kalau benar 27 April nanti KA Parahyangan harus berhenti beroperasi berarti itu memang sudah takdirnya. Itu juga merupakan satu konsekuensi dari pembangunan atas nama bisnis. Sejak Tol Cipularang diresmikan dan digunakan pertama kalinya tepat pada selebrasi 50 tahun Konferensi Asia Afrika bulan April 2005 mulai dirasakan kekhawatiran akan keberlangsungan moda transportasi kereta api.
Bukan hanya itu saja. Persaingan dalam bisnis transportasi pun semakin sengit kala jasa travel mulai bermunculan. Tak pelak lagi, atas berbagai alasan tadi KA Parahyangan terpaksa harus mengalah karena loading rationya tidak mencapai 80% atau dengan kata lain merugi terus dalam lima tahun belakangan ini. Konon, kerugiannya mencapai Rp. 36 Milyar per tahun, jumlah yang sedikit lebih besar dari uang yang dipertaruhkan Gayus Tambunan untuk mengakali Negara.
Penurunan harga sebagai imbas dari bersaingnya harga tiket KA dengan travel dan moda transportasi darat lain memang jadi alternatif. Dengan harga tiket sempat mengalami penurunan baik untuk KA Argo Gede dan KA Parahyangan ternyata belum cukup untuk menutupi kerugian biaya operasional. Lagipula, peak season untuk KA jurusan Bandung – Jakarta (selain mudik) adalah setiap liburan akhir pekan, sejak Jum’at sore sampai Senin dini hari dengan KA Parahyangan yang berangkat pukul 04.00.
Saya menjadi penumpang tetap KA Parahyangan sejak November 2008 hingga Maret 2009, setiap dua minggu sekali untuk kembali ke Jakarta. Alasan saya waktu itu karena perhitungan waktu yang ideal. Saya benci bila harus meninggalkan Bandung sesegera mungkin untuk memulai aktivitas awal pekan di Jakarta. Makanya, KA Parahyangan yang berangkat setiap pukul 14.55 di hari Minggu selalu jadi favorit. Selidik punya selidik, ternyata kereta yang selalu saya tumpangi itu hanya tersedia setiap akhir pekan saja.
Kalau diingat lagi, saya selalu benci bila harus menceritakan ini semua. Saya selalu benci pada bunyi lonceng keberangkatan kereta yang berbunyi 5 menit sebelum kereta berangkat. Belum lagi ketika mendengar pesan dari MC lewat corong speaker, “Kami beritahukan kepada para penumpang KA Parahyangan tujuan Jakarta, berhenti Bekasi, Jatinegara, Gambir, kami persilahkan untuk segera menaiki kereta yang tersedia di jalur 4 karena kereta akan segera diberangkatkan.” Lebih baik mendengarkan khotbah Jum’at yang paling membosankan sekalipun dibandingkan dengan harus mendengarkan lonceng dan kalimat itu lagi. Biasanya, tak lama kemudian masinis akan membunyikan klakson kereta yang berbarengan dengan suara decitan dari gesekan logam roda kereta dengan rel. Rasanya, waktu perpisahan telahtiba dan saya selalu mendadak jadi sentimentil.
Saya lebih memilih KA Parahyangan karena ada kelas bisnisnya. Kelas bisnis yang tidak pernah membuat saya miris karena tidak bisa merokok. Sayangnya, saya belum pernah duduk di kelas bisnis dengan seorang gadis*. Alasan lainnya, karena harga tiketnya yang murah dan waktu keberangkatan yang match dengan jadwal hidup saya. Dibandingkan dengan adiknya, KA Argo Gede, KA Parahyangan memberikan saya kenyamanan yang luar biasa walau dengan bangku yang keras tanpa reclining seat dan pijakan kaki, dan juga kipas angin rumahan yang tidak pernah berhenti. Bagi saya, rasanya terlalu mewah dan terlalu singkat untuk sekedar pergi ke Bandung dengan KA Argo Gede. Memang rasanya jelas berbeda, seperti jadi raja yang kedinginan (pengaruh AC). Tentu akan berbeda bila tujuannya ke Yogyakarta atau Surabaya. Saya tentu akan memilih KA level Argo.
Ada beberapa momen yang tidak terlupakan dengan KA Parahyangan. Seperti waktu kehabisan tiket duduk sehingga harus berdiri dalam gerbong yang penuh sepanjang perjalanan Jatinegara - Bandung. Kadang-kadang, baru bisa “ngampar” beralaskan koran setelah Stasiun Purwakarta. What a boring trip, tapi disitulah seninya naik kereta. Kita bisa lebih akrab dengan penumpang lainnya. Lha wong sama-sama pulang ke Bandung jadi obrolan-obrolan yang lebih personal dan seputar Kota Bandung akan lebih terasa.
Berbeda dengan KA Argo Gede, dimana penumpangnya lebih banyak memilih untuk diam dalam kenyamanan dan sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, dengan teman sebangku pun bisa saling cuek bebek. Sungguh suasana yang berbeda dan seperti ada sesuatu yang hilang. Kalau sudah begitu, kadang saya tersadar bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu tidak selalu tetap dan ajeg. Ada kalanya kita ini merasa menjadi manusia dan ada pula waktunya kita merasa tidak jadi manusia, walau berwujud manusia.
Saya terakhir kali naik KA Parahyangan tanggal 30 November 2009, hari Senin, pukul 13.30 dari Gambir. Sampai saat ini saya tidak menyangka bahwa itu adalah perjalanan terakhir saya. Kalau ada yang bisa saya kenang dari perjalanan terakhir saya itu hanyalah tiket kereta yang tersimpan rapi bersama tumpukan tiket bis Primajasa. Saya juga tidak akan pernah lupa pada pemandangan sepanjang perjalanan. Pemandangan yang menyadarkan dan membuka mata bahwa memang ada kehidupan seperti yang saya lihat. Sejak dari Monas yang terlihat tetap tegak di belantara skyscrapers Jakarta, kumuhnya Manggarai, hamparan sawah dan ladang di Karawang hingga gelapnya terowongan di Purwakarta yang kalau seandainya perjalanan akan berlangsung seperti itu terus rasanya mungkin seperti perjalanan menuju ketiadaan.
Akhirul Kalam, untuk saya pribadi KA Parahyangan telah memberikan kesan khusus sehingga maknanya akan lebih dari sekedar alat transportasi. Saya memang bukan pelanggan tetap KA Parahyangan, yang lebih memilih Hino Primajasa dibandingkan dengan Sang Legenda yang mulai beroperasi sejak 31 Juli 1971. Begitulah hidup dengan setiap episodenya. Ada yang datang, ada yang pergi,musim selalu berganti but memories will linger forever. Menirukan Anita Tourisia, tiket kereta itu akan kusimpan selalu sebagai pengingat rindu**.
Paninggilan, 25 April 2010, 15.29
*dari lirik lagu “Antrilah di Loket” dipopulerkan oleh Padhyangan Project
**dari lirik lagu “Selendang Merah” dinyanyikan oleh Anita Tourisia