The winner takes it all
The loser standing small
Beside the victory
That’s her destiny
ABBA, Winner Takes It All
The loser standing small
Beside the victory
That’s her destiny
ABBA, Winner Takes It All
Suatu hari, dalam wawancara dengan satu stasiun televisi pemegang hak siar Piala Dunia 2010 ini saya mengatakan bahwa salah satu dari Slovenia atau Slovakia akan membuat kejutan dengan menyingkirkan tim-tim unggulan. Sampai dengan pertandingan Slovenia VS Inggris prediksi saya belum terbukti. Apalagi ketika si Dono (baca: Landon Donovan, pen.) berhasil mencetak gol dramatis ke gawang Aljazair. Musnahlah sudah harapan saya untuk menyaksikan Slovenia berlaga untuk pertama kalinya di putaran kedua Piala Dunia 2010. Saya masih mencoba untuk berbesar hati karena setidaknya masih ada harapan pada Slovakia yang masih akan bertanding melawan Sang Juara Dunia empat kali, Italia.
Pertandingan Italia kontra Slovenia sejatinya adalah kisah klasik Daud versus Goliath. Italia, yang masih dibesut oleh Marcelo Lippi masih mengandalkan permainan khasnya yang sedikit bercorak defensif ala catenaccio. Slovakia, yang harus menang pun tampil sangat baik, tanpa beban, dan penuh semangat. Kapten mereka, Marek Hamsik, yang didatangkan ke Napoli seharga 5 juta euro pun mampu memberikan kontribusi. Maklum saja, karena ia sudah berpengalaman dan familiar dengan sepakbola Italia maka sedikit banyak Hamsik tahu celah-celah untuk memanfaatkan kelengahan Italia.
Kisah Hamsik ini mengingatkan kita pada cerita di Piala Dunia 2002 lalu yang berlangsung di Korea-Jepang. Waktu itu, Ahn Jung Hwan membuat gol sensasional di babak kedua perpanjangan waktu yang menjadi penentu kemenangan Korea Selatan atas Italia di babak perempat final. Kontan, Perugia, tim Italia tempat Jung-Hwan bermain menolak untuk menggunakan jasa pemain Korea itu di lantai rumput sepakbola Italia, tak lama kemudia FIGC (PSSInya Italia) pun menghimbau agar Pahlawan Korea itu untuk tidak bermain lagi di Italia. Kita tentu masih tahu bagaimana kecewanya Italia saat itu yang masih dihuni pemain-pemain kelas wahid seperti Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi, Francesco Totti, dan Gianluigi Buffon.
Pasca pertandingan Slovakia VS Italia, masih belum ada kabar tentang bentuk pelampiasan rasa kecewa macam apalagi yang akan ditunjukkan Italia. Mengingat mereka telah melakukan suatu "pembatasan" dalam dunia sepakbola modern ini hanya karena mereka kalah oleh legiun asing yang mencari makan di rumput Italia. Apakah Italia juga akan menghukum Hamsik untuk tidak bermain lagi di Italia? Masih belum pasti namun kenyataan yang ada tentu tidak akan menghukum Italia seperti 8 tahun lalu. Skuad Italia saat ini terkesan ringkih dengan komposisi pemain yang "kurang berpengalaman" untuk tampil di hajatan sebesar Piala Dunia. Seandainya Hamsik tidak diizinkan lagi merumput di Napoli maka ia tidak perlu khawatir karena tentu masih banyak klub besar lainnya yang menginginkannya.
Kekalahan 3-2 itu bisa menjadi suatu pelajaran bagi Italia bahwa mereka masih bisa tampil ngotot dengan sisa-sisa mental juara 4 tahun lalu. Tetapi, barangkali dibutuhkan komposisi pemain yang seimbang dan strategi yang cenderung tidak kalah oleh model sepakbola pragmatis yang sedang menjadi tren saat ini sehingga memaksa Italia harus mampu bermain lebih efektif dan efisien, baik dalam menyerang maupun bertahan. Italia harus menempuh kenyataan pahit, bahwa mereka tidak lolos dari fase penyisihan grup dan harus menemani lawan mereka di Berlin 2006, Perancis yang pulang duluan dengan tiket ekonomi sampai di bandara Charles de-Gaulle.
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Landon Donovan pasca kekalahan USA atas Ghana 1-2, bahwa pemain-pemain USA tampil terlalu naif sehingga cenderung melambatkan tempo permainan. Hasilnya, pukulan telak harus mereka terima setelah Kevin-Prince Boateng mencetak gol di menit ke-6. Ghana yang berhasil memanfaatkan kelengahan dan lambatnya tempo permainan USA memainkan serangan cepat sehingga berhasil unggul terlebih dahulu.
Landon Donovan berhasil memecah kebuntuan USA dengan tendangan piealtinya yang membuat mental The Cowboys bangkit kembali. Mereka masih punya banyak waktu untuk melakukan hal yang sama pada Ghana seperti ketika melawan Slovenia, mencetak dua gol penyeimbang untuk menahan laju Slovenia. Agaknya, bila dalam pertandingan terakhir melawan Aljazair, Landon Donovan mampu mencetak gol di masa kritis, kali ini anak-anak asuh Bob Bradley harus merasakan pil pahit yang sama. Asamoah Gyan mencetak gol penentu kemenangan The Black Stars Ghana di menit 93. Sungguh suatu ironis bahwa akhirnya mereka telah menjadi korban atas keganasan mereka sendiri. Ibarat kata Celine Dion, it's all coming back to me now.
Walaupun demikian, USA bisa pulang dengan kepala tegak karena kalah secara gentlement dari Ghana setelah berhasil menahan imbang Inggris dan Slovenia lalu menang atas Aljazair. Finalis Piala Konfederasi 2009 ini pun patut berbangga hati karena semangat juang dan mentalitas mereka teruji dalam menghadapi lawan yang lebih matang.
Jerman kontra Inggris adalah pertandingan yang sama-sama diwarnai pergolakan sejarah kedua bangsa. Inggris turut berperan dalam Battle Of Normandy atau yang juga dikenal dengan D-Day untuk menyerang sekaligus menahan ekspansi Hitler. Muatan historis yang sangat kental dalam pertandingan keduanya merupakan suatu sensasi tersendiri bagi para fans fanatik Jerman dan Hooligans. Saya tidak perlu membahas lagi statistik pertemuan kedua negara ini karena pembaca tentu sudah terlebih dahulu menyimaknya melalui berbagai media elektronik maupun cetak.
Melawan Jerman, Inggris memiliki rasa percaya diri yang kuat. Namun, serangan yang dibangun dengan mengandalkan Rooney dan Defoe belum cukup ampuh untuk menembus blokade pertahanan Jerman yang dikawal duet Per Mertesacker dan Arne Friedrich. Malah mereka kebobolan terlebih dahulu oleh Miroslav Klose yang berhasil memanfaatkan kesalahan John Terry dan Upson. Walaupun selalu mencoba menekan Jerman dan menguasai bola hingga 52% tetap saja Gerrard cs masih kesulitan dan semakin terpuruk dengan gol kedua yang dilesakkan Lukas Podolski.
Semangat juang Inggris yang dimodali sejarah tahun 1966 ketika berhasil menjadi juara dengan mengalahkan Jerman Barat membuahkan hasil ketika Matthew Upson berhasil membuat gol menyambut umpan crossing Steven Gerrard. Bahkan, jika saja tidak dianulir Inggris sudah berhasil menahan imbang Jerman setidaknya sampai half-time. Namun, perbedaan antara takdir dan nasib seringkali sangat tipis sehingga kadang keduanya tak seiring sejalan. Bola hasil tendangan Lampard yang memantul tiang sempat masuk melewati garis namun wasit tidak mensahkan gol tersebut. Kontan hal itu menjadi titik kontroversial yang bisa saja membuat mental pemain Inggris semakin down.
Memasuki babak kedua, Inggris masih gencar membangun serangan. Tetapi, lagi-lagi koordinasi yang buruk membuat mereka semakin frustasi. Beberapa kali tendangan bebas dari Lampard pun hanya membentur tiang dan barisan pemain penjaga. Justru di saat genting karena hujan serangan yang bagaikan gempuran bom pesawat Royal Air Force di Perang Dunia II itu, Jerman berhasil memperagakan permainan yang efektif. Dua gol dalam empat menit yang dicetak oleh Thomas Mueller jadi bukti keganasan serangan cepat Jerman, mirip blitzkrieg ke Polandia yang menandai awal kampanye ekspansi Hitler dengan Nazi-nya.
Inggris menyusul Italia dan Perancis. Raihan manis di babak kualifikasi segera saja sirna dengan telak usai menerima gilasan panser-panser muda Jerman. Untuk Jerman sendiri, kemenangan ini membuktikan bahwa mereka masih layak diperhitungkan dalam perburuan gelar juara dunia sepakbola sejagat ini. Sertakan juga predikat mereka sebagai tim turnamen yang mempunyai ketahanan luar biasa sepanjang turnamen.
Sebagai penutup, batas antara kemenangan dan kekalahan seringkali sangat tipis karena tidak akan ada yang tahu kemana bola akan menggelinding. Bola bagaikan nasib yang menggelinding kesana kemari menunggu waktu yang tepat untuk menentukan si pemenang dan si pecundang yang akan pulang. Piala Dunia 2010 ini telah menyuguhkan beberapa diantaranya, bahwa kadang-kadang nasib berpihak pada mereka yang kecil dan tidak diperhitungkan sedangkan takdir selalu berada di pihak yang paling pantas menerima kemenangan. Barangkali, hal ini juga membuktikan bahwa saat ini sedang terjadi pergesaran kekuatan sepakbola yang merata dan tidak selalu melulu Eropa.
Paninggilan, 28 Juni 2010
*dibuat setelah mengamati kekalahan Italia, USA, dan Inggris dan kemenangan Jerman yang sensasional dan kontroversial
* foto (c) Getty Images, ditampilkan disini hasil repro printscreen dari website FIFA
Pertandingan Italia kontra Slovenia sejatinya adalah kisah klasik Daud versus Goliath. Italia, yang masih dibesut oleh Marcelo Lippi masih mengandalkan permainan khasnya yang sedikit bercorak defensif ala catenaccio. Slovakia, yang harus menang pun tampil sangat baik, tanpa beban, dan penuh semangat. Kapten mereka, Marek Hamsik, yang didatangkan ke Napoli seharga 5 juta euro pun mampu memberikan kontribusi. Maklum saja, karena ia sudah berpengalaman dan familiar dengan sepakbola Italia maka sedikit banyak Hamsik tahu celah-celah untuk memanfaatkan kelengahan Italia.
Kisah Hamsik ini mengingatkan kita pada cerita di Piala Dunia 2002 lalu yang berlangsung di Korea-Jepang. Waktu itu, Ahn Jung Hwan membuat gol sensasional di babak kedua perpanjangan waktu yang menjadi penentu kemenangan Korea Selatan atas Italia di babak perempat final. Kontan, Perugia, tim Italia tempat Jung-Hwan bermain menolak untuk menggunakan jasa pemain Korea itu di lantai rumput sepakbola Italia, tak lama kemudia FIGC (PSSInya Italia) pun menghimbau agar Pahlawan Korea itu untuk tidak bermain lagi di Italia. Kita tentu masih tahu bagaimana kecewanya Italia saat itu yang masih dihuni pemain-pemain kelas wahid seperti Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi, Francesco Totti, dan Gianluigi Buffon.
Pasca pertandingan Slovakia VS Italia, masih belum ada kabar tentang bentuk pelampiasan rasa kecewa macam apalagi yang akan ditunjukkan Italia. Mengingat mereka telah melakukan suatu "pembatasan" dalam dunia sepakbola modern ini hanya karena mereka kalah oleh legiun asing yang mencari makan di rumput Italia. Apakah Italia juga akan menghukum Hamsik untuk tidak bermain lagi di Italia? Masih belum pasti namun kenyataan yang ada tentu tidak akan menghukum Italia seperti 8 tahun lalu. Skuad Italia saat ini terkesan ringkih dengan komposisi pemain yang "kurang berpengalaman" untuk tampil di hajatan sebesar Piala Dunia. Seandainya Hamsik tidak diizinkan lagi merumput di Napoli maka ia tidak perlu khawatir karena tentu masih banyak klub besar lainnya yang menginginkannya.
Kekalahan 3-2 itu bisa menjadi suatu pelajaran bagi Italia bahwa mereka masih bisa tampil ngotot dengan sisa-sisa mental juara 4 tahun lalu. Tetapi, barangkali dibutuhkan komposisi pemain yang seimbang dan strategi yang cenderung tidak kalah oleh model sepakbola pragmatis yang sedang menjadi tren saat ini sehingga memaksa Italia harus mampu bermain lebih efektif dan efisien, baik dalam menyerang maupun bertahan. Italia harus menempuh kenyataan pahit, bahwa mereka tidak lolos dari fase penyisihan grup dan harus menemani lawan mereka di Berlin 2006, Perancis yang pulang duluan dengan tiket ekonomi sampai di bandara Charles de-Gaulle.
*
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Landon Donovan pasca kekalahan USA atas Ghana 1-2, bahwa pemain-pemain USA tampil terlalu naif sehingga cenderung melambatkan tempo permainan. Hasilnya, pukulan telak harus mereka terima setelah Kevin-Prince Boateng mencetak gol di menit ke-6. Ghana yang berhasil memanfaatkan kelengahan dan lambatnya tempo permainan USA memainkan serangan cepat sehingga berhasil unggul terlebih dahulu.
Landon Donovan berhasil memecah kebuntuan USA dengan tendangan piealtinya yang membuat mental The Cowboys bangkit kembali. Mereka masih punya banyak waktu untuk melakukan hal yang sama pada Ghana seperti ketika melawan Slovenia, mencetak dua gol penyeimbang untuk menahan laju Slovenia. Agaknya, bila dalam pertandingan terakhir melawan Aljazair, Landon Donovan mampu mencetak gol di masa kritis, kali ini anak-anak asuh Bob Bradley harus merasakan pil pahit yang sama. Asamoah Gyan mencetak gol penentu kemenangan The Black Stars Ghana di menit 93. Sungguh suatu ironis bahwa akhirnya mereka telah menjadi korban atas keganasan mereka sendiri. Ibarat kata Celine Dion, it's all coming back to me now.
Walaupun demikian, USA bisa pulang dengan kepala tegak karena kalah secara gentlement dari Ghana setelah berhasil menahan imbang Inggris dan Slovenia lalu menang atas Aljazair. Finalis Piala Konfederasi 2009 ini pun patut berbangga hati karena semangat juang dan mentalitas mereka teruji dalam menghadapi lawan yang lebih matang.
*
Jerman kontra Inggris adalah pertandingan yang sama-sama diwarnai pergolakan sejarah kedua bangsa. Inggris turut berperan dalam Battle Of Normandy atau yang juga dikenal dengan D-Day untuk menyerang sekaligus menahan ekspansi Hitler. Muatan historis yang sangat kental dalam pertandingan keduanya merupakan suatu sensasi tersendiri bagi para fans fanatik Jerman dan Hooligans. Saya tidak perlu membahas lagi statistik pertemuan kedua negara ini karena pembaca tentu sudah terlebih dahulu menyimaknya melalui berbagai media elektronik maupun cetak.
Melawan Jerman, Inggris memiliki rasa percaya diri yang kuat. Namun, serangan yang dibangun dengan mengandalkan Rooney dan Defoe belum cukup ampuh untuk menembus blokade pertahanan Jerman yang dikawal duet Per Mertesacker dan Arne Friedrich. Malah mereka kebobolan terlebih dahulu oleh Miroslav Klose yang berhasil memanfaatkan kesalahan John Terry dan Upson. Walaupun selalu mencoba menekan Jerman dan menguasai bola hingga 52% tetap saja Gerrard cs masih kesulitan dan semakin terpuruk dengan gol kedua yang dilesakkan Lukas Podolski.
Semangat juang Inggris yang dimodali sejarah tahun 1966 ketika berhasil menjadi juara dengan mengalahkan Jerman Barat membuahkan hasil ketika Matthew Upson berhasil membuat gol menyambut umpan crossing Steven Gerrard. Bahkan, jika saja tidak dianulir Inggris sudah berhasil menahan imbang Jerman setidaknya sampai half-time. Namun, perbedaan antara takdir dan nasib seringkali sangat tipis sehingga kadang keduanya tak seiring sejalan. Bola hasil tendangan Lampard yang memantul tiang sempat masuk melewati garis namun wasit tidak mensahkan gol tersebut. Kontan hal itu menjadi titik kontroversial yang bisa saja membuat mental pemain Inggris semakin down.
Memasuki babak kedua, Inggris masih gencar membangun serangan. Tetapi, lagi-lagi koordinasi yang buruk membuat mereka semakin frustasi. Beberapa kali tendangan bebas dari Lampard pun hanya membentur tiang dan barisan pemain penjaga. Justru di saat genting karena hujan serangan yang bagaikan gempuran bom pesawat Royal Air Force di Perang Dunia II itu, Jerman berhasil memperagakan permainan yang efektif. Dua gol dalam empat menit yang dicetak oleh Thomas Mueller jadi bukti keganasan serangan cepat Jerman, mirip blitzkrieg ke Polandia yang menandai awal kampanye ekspansi Hitler dengan Nazi-nya.
Inggris menyusul Italia dan Perancis. Raihan manis di babak kualifikasi segera saja sirna dengan telak usai menerima gilasan panser-panser muda Jerman. Untuk Jerman sendiri, kemenangan ini membuktikan bahwa mereka masih layak diperhitungkan dalam perburuan gelar juara dunia sepakbola sejagat ini. Sertakan juga predikat mereka sebagai tim turnamen yang mempunyai ketahanan luar biasa sepanjang turnamen.
*
Sebagai penutup, batas antara kemenangan dan kekalahan seringkali sangat tipis karena tidak akan ada yang tahu kemana bola akan menggelinding. Bola bagaikan nasib yang menggelinding kesana kemari menunggu waktu yang tepat untuk menentukan si pemenang dan si pecundang yang akan pulang. Piala Dunia 2010 ini telah menyuguhkan beberapa diantaranya, bahwa kadang-kadang nasib berpihak pada mereka yang kecil dan tidak diperhitungkan sedangkan takdir selalu berada di pihak yang paling pantas menerima kemenangan. Barangkali, hal ini juga membuktikan bahwa saat ini sedang terjadi pergesaran kekuatan sepakbola yang merata dan tidak selalu melulu Eropa.
Paninggilan, 28 Juni 2010
*dibuat setelah mengamati kekalahan Italia, USA, dan Inggris dan kemenangan Jerman yang sensasional dan kontroversial
* foto (c) Getty Images, ditampilkan disini hasil repro printscreen dari website FIFA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar