Intisari dari film ini kurang lebih seperti disebutkan diatas. Tetapi, kesan pertama saya terhadap film ini adalah: Henidar Amroe is Back! Stunning! Rupanya, ia membuktikan ucapannya pada suatu interview di acara Just Alvin! Henidar is on-screen, yeah!
Film garapan Mizan Production ini mengangkat tema yang universal dan masih membalas isu yang sama, perbedaan. Perbedaan keyakinan antar tokoh-tokoh utama dalam film ini menjadi tema sentral yang menjadi roh dalam film garapan Benni Setiawan ini. Diceritakan bagaimana Rosid (Reza Rahadian) yang terobsesi menjadi seorang sastrawan wannabe inspired by W.S Rendra berhubungan dekat dengan Delia (Laura Basuki), seorang mahasiswi dari keluarga berada. Keberadaan sastra sebagai bumbu lain di film ini juga cukup membangkitkan kenangan penonton terhadap syair-syair Rendra. Saya terkesan dengan potongan dialog antara Rosid dengan Martha (Ira Wibowo), Ibu dari Delia, “Mama pikir setelah Rendra nggak ada lagi yang mau jadi sastrawan...”.
Hubungan Rosid dan Delia pun semakin berjalan selayaknya kaum muda yang sedang bercinta. Mereka cenderung menjalani perbedaan dengan apa adanya dan saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi, konflik baru timbul ketika kedekatan mereka mulai beralih menjadi sesuatu yang serius. Ada beberapa adegan yang menampilkan rapuhnya nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Betapa kecurigaan dan prasangka terhadap sesuatu yang terlanjur melekat dalam keseharian kita menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Dalam satu adegan digambarkan bagaimana keributan yang terjadi hanya karena perkumpulan yang dibentuk Rosid dan teman-temannya. Kejadian itu pun akhirnya diselesaikan dengan jalan keributan, jalan yang selalu ditempuh beberapa warga masyarakat kita untuk menyelesaikan masalah. Hal ini menampakkan bahwa kebenaran itu bukan sesuatu yang mutlak dan ada di masing-masing kepala. Sehingga, terjadilah benturan yang tidak diinginkan atas dasar prasangka dan kehendak umum-yang kadang-kadang menyesatkan. Bila dicermati lagi, scene itu terkesan mirip dengan beberapa kejadian yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia ini. Kekerasan telah jadi bagian hidup di Negara yang warganya dikenal ramah dan damai.
Konflik utama dari keseluruhan cerita adalah ketika keseriusan Rosid untuk menikah dengan Delia mendapat tentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan: keluarga. Sampai disini, penonton seakan disadarkan kembali bahwa pernikahan adalah bukan hanya sekedar ikatan dua anak manusia, tetapi lebih dari itu. Pernikahan pun melibatkan dimensi-dimensi lain dalam ruang kehidupan seseorang, keluarga itu jelas faktor utama selain lingkungan yang ikut menentukan. Maka, ketika dua dunia meminta dipersatukan timbullah berbagai persoalan. Mulai dari orang tua Delia, Frans (Robby Tumewu) dan Martha yang berniat menyekolahkan Delia ke Amerika dan orang tua Rosid dengan mencarikan jodoh yang sealiran dengan mereka.
Prahara pun kembali muncul ketika 3 hati yang terlanjur bermain dengan perasaan itu bertemu satu sama lain. Nabila (Arumi Bachsin) yang tampil anggun dibalik kerudungnya, rupanya berhasil memikat hari Rosid. Namun, ketika Delia menanyakan tentang kesungguhan Rosid, maka Rosid pun terperangkap pada kenangan masa lalunya bersama Delia. Kesungguhan mereka kembali diuji.
Akhir cerita, Delia dan Rosid akhirnya sepakat pada takdir. Mereka biarkan takdir membawa nasib mereka masing-masing. Delia dan Rosid sepakat pada kata-kata mereka dulu, “Kita liat aja nanti...”.
Catatan Akhir Seorang Kritikus Dadakan
Pada akhirnya, Rosid, Nabila, dan Delia menjalani takdirnya masing-masing. Tidak satupun dari mereka bersatu kembali dalam satu ikatan. Memang nasib takdir tidak menentu. Hal ini semakin menegaskan bahwa ketika anda berpikir bahwa anda bisa mengendalikan segalanya justru yang terjadi adalah kebalikannya: everything’s out of control.
Dalam diskusi seusai pemutaran film Romo Benny Susetyo dan satu pembicara yang saya lupa namanya, mempersoalkan tentang ending dari film yang konon diangkat dari Novel Best Seller dengan judul yang sama. Bagi kedua komentator, selain jalan cerita yang memang mencerminkan perilaku masyarakat kita ditengah himpitan dan benturan antara nilai-nilai modernitas dengan budaya serta tradisi, ending dari film tadi haruslah jelas dan berujung pada satu kesimpulan (conclusion) agar tidak menimbulkan berbagai macam pretensi. Akhir cerita yang demikian tersebut diharapkan mampu memberikan suatu gambaran atau solusi bagi penonton yang kebetulan mengalami kejadian yang sama.
Akan tetapi, saya yakin bahwa ending yang ditampilkan dalam film sudah merupakan suatu keindahan tersendiri. Dalam satu tulisan, saya pernah membaca bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang memberikan kesempatan bagi pembaca untuk menentukan kesimpulan masing-masing. Rasanya tidak berlebihan bila ending dari film ini kemudian berakhir dengan memberikan wacana bagi penonton, sama halnya seperti ciri karya sastra yang baik diatas.
Mempersoalkan perbedaan kini bukan lagi hal yang tabu. Perbedaan itu lumrah karena pada dasarnya kita mengalami pengalaman demikian setiap harinya. Tinggal bagaimana menyikapi perbedaan sebagai keberagaman dalam masyarakat yang multikultur. Dibutuhkan lebih sekedar sekedar pengertian dan pemahaman terhadap konteks keberagaman. Kesenjangan yang menimbulkan gesekan antara nilai-nilai modernitas gaya barat dan nilai-nilai tradisional, seperti terdapat dalam novel Atheis, dapat diminimalisir dengan berbagai cara, diantaranya dialog antar budaya. Menyikapi perbedaan dalam heterogenitas masyarakat mutlak diperlukan untuk mengembalikan dan menegakkan kembali nilai-nilai humanisme universal yang terlanjur pudar dalam wajah masyarakat kita.
Paninggilan, 21 Juli 2010 23.56
*dengan ingatan pada Nonton Bareng & Diskusi Film, 3 Hati: dua dunia, satu cinta, 10 Juli 2010 di Pondok Indah Mall.