Belum usai menuliskan isi kepala tentang Abdullah Totong Mahmud, baru saja saya mendapat kabar bahwa Achdiat Karta Mihardja meninggal dunia.
*
Ambilkan Bulan, Bu.
Beberapa bulan yang lalu, sekitar bulan Mei entah apa yang merasuki saya waktu itu, saya menjadi sangat ingin sekali mendengarkan lagu Ambilkan Bulan. Thanks God it’s 4shared. Menjelang tidur, saya selalu memutar lagu itu sebagai pengantar. Pertama kali mendengar tahu ada lagu anak-anak seperti itu kira-kira sekitar medio 1997. Entah Tasya atau siapa yang menyanyikannya, kalau tidak salah ingatan yang tersisa di kepala saya adalah model yang jadi Ibu si anak di video klipnya adalah Maudy Koesnaedi.
Adalah suatu perasaan yang mengagumkan untuk mengenang sang pencipta lewat karya-karyanya. Apalagi kalau ternyata karyanya abadi dan selalu menjadi pertanda zaman. Mengenai lagu itu juga ada alasan emosional sehingga saya tidak pernah bosan memaksa si Ngipod untuk memutarbalik playlist. Menurut saya, kekuatan lirik yang sangat dahsyat tercermin dari lagu ini. Saya sendiri tidak pernah punya pengalaman untuk sekedar memintakan bulan pada Ibu. Barangkali karena saya anak laki-laki jadi Ibu tidak pernah menjadi Ibu yang diperankan dalam video klip lagu ini.
Saya tidak menyangka bahwa ditengah guyuran hujan dan gemuruh dari langit pada siang 8 Juli kemarin bangsa Indonesia telah kehilangan seorang maestro lagu anak-anak. Mendengar kabar wafatnya Pak A.T. Mahmud saya hanya bisa diam sambil memutar lagu itu dikepala saya, berulang-ulang. Semoga bulan pun ikut menerangi jalan keabadian Pak Abdullah.
Lelaki kelahiran Palembang, 3 Februari 1930 yang juga sahabat Prof. Emil Salim semasa SMP itu kini telah tiada untuk selamanya. Namun, karyanya akan tetap abadi. Selalu dikenang sepanjang masa oleh mereka yang tak pernah lupa akar rumput bangsanya.
Achdiat K. Mihardja
Perkenalan saya dengan Begawan sastra yang satu ini dimulai dengan cerpen beliau yang dimuat dalam Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia hasil kompilasi Korrie Layun Rampan sekitar tahun 2005. Judul cerpennya saya lupa. Tetapi dari biografi singkat penulisnya sudah barang tentu beliau ini adalah satu dari sekian banyak maestro sastra Indonesia. Buktinya, beliau menjadi Guru Besar yang mengajar Kesusasteraan Indonesia di Australia National University (ANU). Biografi singkat itu juga yang selalu menyemangati saya supaya suatu saat nanti harus bisa berlabuh di ANU, Canberra atau Monash di Melbourne. Saya mengenal lebih dekat sosok beliau melalui Majalah Horison edisi bulan April 2010.
Beliau lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat pada tanggal 6 Maret 1911 dan wafat pada usia 99 tahun di Australia sana. Ia pernah mengenyam pendidikan AMS-A Solo dan Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Semasa mudanya, beliau pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, Redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun sebagai dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.
Hingga hari ini belum ada satu pun karya beliau yang saya baca secara penuh. Kecuali tulisan cerpennya di buku Korrie Layun Rampan tadi. Awal-awal menulis di blog saya sering mengutip judul novel beliau lainnya, Debu Cinta Bertebaran, untuk dimasukkan kedalam tulisan. Keduanya adalah karya fenomenal yang mengalami cetak ulang di dalam negeri dan luar negeri. Akan tetapi, barangkali Atheis lah yang merupakan karya terpenting dari beliau. Waktu di SMA, penggalan novel Atheis seringkali jadi bahan soal dan pertanyaan di LKS (Lembar Kerja Siswa) Bahasa Indonesia.
Pada masanya, Atheis yang ditulis sekitar tahun 1940-an mengemukakan masalah baru yang belum pernah dikemukakan sastrawan-sastrawan lain. Terlebih lagi pada masa itu atheisme mulai di kenal di Indonesia. Pemikiran Karl Marx dan Frederick Nietzsche merasuki ranah pembicaraan kaum intelektual. Atheis menjadi satu bukti respon dan keterlibatan beliau dalam diskusi tentang atheisme.
Satu lagi yang membuat Atheis akan selalu dikenang dan melegenda dalam sejarah sastra Indonesia adalah isinya yang membahas benturan nilai-nilai antara theisme dengan atheisme dalam tatanan masyarakat tradisional Indonesia. Ada konteks ikatan pertentangan budaya antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern serapan dari Barat. Implikasinya terlihat langsung pada benturan antara nilai-nilai kepercayaan pada Tuhan di satu sisi dan nilai-nilai penolakan terhadap Tuhan di sisi lain*).
Selamat jalan, Aki. Doa kami bersamamu. Terima kasih untuk telah jadi pembeda, antara mereka yang memilih jalan Tuhannya dan mereka yang mencoba membuat jalan sendiri menuju keabadian yang kekal.
Paninggilan, 8 Juli 2010. 23.35
*) dikutip dari Majalah Horison, April 2010
NB: Profil A. T. Mahmud dapat dibaca di website Tokoh Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar