Bila Piala Dunia 2010 ini diawali dengan hambarnya pertandingan yang miskin kejutan. Memasuki fase akhir penyisihan grup barulah kejutan mulai bermunculan. Italia dipaksa pulang dengan tertunduk usai dikalahkan Slovakia setelah sebelumnya Mexico berhasil menyudahi perlawanan Ayam Jantan dari negeri tempat lahir Napoleon. Babak 16 besar juga menghadirkan lagi kejutan. Inggris kalah dari Jerman, 4-1 dibayar tunai. Rakyat Inggris berduka menyaksikan sekumpulan pemain hebat hasil kompetisi paling wahid di dunia. Barangkali rasa pedihnya kurang lebih sama dengan ketika Hitler menghujani London dengan bom-bom yang dibawa Luftwaffe.
Final 1966, wasit mensahkan gol Inggris begitu saja padahal bola belum melewati garis gawang. Jerman Barat pun tak mampu melawan kenyataan bahwa Inggris berada di ambang tanah terjanji, beyond the promised land. Inggris juara dengan keputusan yang kontroversial. Sama kontroversialnya dengan di Afsel 2010. Sejarah berulang terbalik dan Tuhan (memang) Maha Adil. Bola yang sudah kadung masuk tidak dianggap sebagai gol. Rakyat Jerman bersorak, kini rakyat Inggris dan skuad nasionalnya tahu rasanya tersakiti oleh nasib, seperti yang mereka alami 44 tahun yang lalu.
Kesedihan pun sama dialami Argentina dan Brazil. Seluruh negeri Argentina tertunduk lesu ketika Maradona, sang dewa bola bergelar “il nostro dio” gagal membesut Messi dan kompatriotnya menari tango untuk menggasak Jerman. Juga, tak ada lagi tarian samba semenjak Felipe Melo dikartu merah dan Brazil kalah dari Belanda, 2-1. Raksasa berguguran.
Semifinal pun ternyata masih menyisakan pertarungan level raksasa. Raksasa yang masih kuat bertahan untuk mempertahankan hegemoninya di jagad persepakbolaan dunia. Tersisalah Spanyol, Jerman, Uruguay dan Belanda. Dua raksasa penuh gelar, Jerman dan Uruguay dan dua raksasa tanpa gelar, Spanyol dan Belanda. Jerman juara 3 kali, Uruguay baru 2 kali. Spanyol dan Belanda hanyalah raksasa kecil yang bergelar Juara Eropa.
Belanda sudah terlebih dahulu memastikan tempatnya di final. Satu raksasa telah mereka taklukkan. Sejauh ini juga mereka telah membuktikan kesalahan hipotesis Uwe Seller, eks skuad Die Nationalmannschaft. “Belanda datang dan bermain di Piala Dunia hanya untuk menunjukkan kemampuan mereka, sedangkan kami (Jerman, pen.) datang untuk menang, itulah yang membedakan kami.”. Begitulah Uwe Seller menanggapi performa Belanda menjelang Piala Dunia dimulai. 25 pertandingan tanpa catatan kalah sekalipun adalah sebuah eksepsi atas hipotesis tersebut.
Kini, tinggal menunggu hasil ulangan partai Final Piala Eropa 2008, Jerman VS Spanyol. Aroma dendam masih menghiasi rivalitas kedua kutub sepakbola Eropa ini. Sepanjang penampilannya di Afsel, Jerman tampil sangat meyakinkan, kecuali pada saat kalah dari Serbia, 0-1. Permainan konsisten, disiplin tinggi dan ketahanan luar biasa membuat reputasi mereka sebagai tim turnamen semakin kuat.
Agaknya, menjelang pertarungan melawan Spanyol, sempat beredar kabar yang dikhawatirkan memecah konsentrasi mereka. Konon, Michael Ballack masih berminat untuk menjadi kapten Der Panzer setidaknya sampai Piala Eropa 2012 bersaing dengan Phillip Lahm yang juga masih antusias untuk memimpin Jerman sampai beberapa tahun ke depan. Rivalitas keduanya dikhawatirkan menjadi sebab disharmoni dalam tim. Joachim Loew pun belum mau berkomentar tetapi menurut Oliver Bierhoff, hal itu tidak akan menjadi masalah bagi Jerman jelang laga lawan Jugadorios del Espana.
Menarik untuk disaksikan apakah Jerman berhasil mengatasi Spanyol, atau sebaliknya. Dua raksasa ini perlu untuk membuktikan kapabilitas dan reputasi mereka di kancah persepakbolaan sejagad. Satu syarat bagi Spanyol untuk bisa menjadi raksasa bergelar adalah harus mampu menyudahi perlawanan Bavarian Spielmacher. Entah dengan mematikan motor serangan mereka, Schweinsteiger atau dengan hanya menutupi pergerakan talenta muda Mesut Oezil. Jika Spanyol malah menjadi korban keganasan Jerman berikutnya, sudah tentu memori tentang ulangan Final 1974 kembali menyeruak. Johan Cryuff tentu akan bisa lebih memaknainya sambil berharap generasi emas Belanda saat ini mampu melunasi dendamnya.
Kalaupun seandainya Spanyol bertemu Belanda di final nanti, sudah tentu satu dari mereka akan mendapatkan gelar jawara sejagad pertamanya. Kekalahan bukanlah tragedi, kecuali jika kita mengambilnya dari Tuhan. Akankah Frisian Warriors, een soldats von Oranje, bertempur kembali dengan lawan mereka di 1974 atau malah mengadu nasib dengan Iberian Conquerors? Masalahnya, hanya tinggal menunggu waktu saja. Karena siapa pun juaranya, sudahlah tentu mereka yang paling siap untuk menerima takdir mereka sendiri: Juara Dunia 2010.
Paninggilan, 8 Juli 2010. 00.05
Dibuat jelang laga Spanyol VS Jerman
*) foto (c) Getty Images, direpro printscreen dari website FIFA
Kesedihan pun sama dialami Argentina dan Brazil. Seluruh negeri Argentina tertunduk lesu ketika Maradona, sang dewa bola bergelar “il nostro dio” gagal membesut Messi dan kompatriotnya menari tango untuk menggasak Jerman. Juga, tak ada lagi tarian samba semenjak Felipe Melo dikartu merah dan Brazil kalah dari Belanda, 2-1. Raksasa berguguran.
Semifinal pun ternyata masih menyisakan pertarungan level raksasa. Raksasa yang masih kuat bertahan untuk mempertahankan hegemoninya di jagad persepakbolaan dunia. Tersisalah Spanyol, Jerman, Uruguay dan Belanda. Dua raksasa penuh gelar, Jerman dan Uruguay dan dua raksasa tanpa gelar, Spanyol dan Belanda. Jerman juara 3 kali, Uruguay baru 2 kali. Spanyol dan Belanda hanyalah raksasa kecil yang bergelar Juara Eropa.
Belanda sudah terlebih dahulu memastikan tempatnya di final. Satu raksasa telah mereka taklukkan. Sejauh ini juga mereka telah membuktikan kesalahan hipotesis Uwe Seller, eks skuad Die Nationalmannschaft. “Belanda datang dan bermain di Piala Dunia hanya untuk menunjukkan kemampuan mereka, sedangkan kami (Jerman, pen.) datang untuk menang, itulah yang membedakan kami.”. Begitulah Uwe Seller menanggapi performa Belanda menjelang Piala Dunia dimulai. 25 pertandingan tanpa catatan kalah sekalipun adalah sebuah eksepsi atas hipotesis tersebut.
Kini, tinggal menunggu hasil ulangan partai Final Piala Eropa 2008, Jerman VS Spanyol. Aroma dendam masih menghiasi rivalitas kedua kutub sepakbola Eropa ini. Sepanjang penampilannya di Afsel, Jerman tampil sangat meyakinkan, kecuali pada saat kalah dari Serbia, 0-1. Permainan konsisten, disiplin tinggi dan ketahanan luar biasa membuat reputasi mereka sebagai tim turnamen semakin kuat.
Reaksi pemain Jerman usai mencetak gol ke-4,
Akankah kegembiraan Jerman kembali saat melawan Spanyol?
Akankah kegembiraan Jerman kembali saat melawan Spanyol?
Agaknya, menjelang pertarungan melawan Spanyol, sempat beredar kabar yang dikhawatirkan memecah konsentrasi mereka. Konon, Michael Ballack masih berminat untuk menjadi kapten Der Panzer setidaknya sampai Piala Eropa 2012 bersaing dengan Phillip Lahm yang juga masih antusias untuk memimpin Jerman sampai beberapa tahun ke depan. Rivalitas keduanya dikhawatirkan menjadi sebab disharmoni dalam tim. Joachim Loew pun belum mau berkomentar tetapi menurut Oliver Bierhoff, hal itu tidak akan menjadi masalah bagi Jerman jelang laga lawan Jugadorios del Espana.
Menarik untuk disaksikan apakah Jerman berhasil mengatasi Spanyol, atau sebaliknya. Dua raksasa ini perlu untuk membuktikan kapabilitas dan reputasi mereka di kancah persepakbolaan sejagad. Satu syarat bagi Spanyol untuk bisa menjadi raksasa bergelar adalah harus mampu menyudahi perlawanan Bavarian Spielmacher. Entah dengan mematikan motor serangan mereka, Schweinsteiger atau dengan hanya menutupi pergerakan talenta muda Mesut Oezil. Jika Spanyol malah menjadi korban keganasan Jerman berikutnya, sudah tentu memori tentang ulangan Final 1974 kembali menyeruak. Johan Cryuff tentu akan bisa lebih memaknainya sambil berharap generasi emas Belanda saat ini mampu melunasi dendamnya.
Kalaupun seandainya Spanyol bertemu Belanda di final nanti, sudah tentu satu dari mereka akan mendapatkan gelar jawara sejagad pertamanya. Kekalahan bukanlah tragedi, kecuali jika kita mengambilnya dari Tuhan. Akankah Frisian Warriors, een soldats von Oranje, bertempur kembali dengan lawan mereka di 1974 atau malah mengadu nasib dengan Iberian Conquerors? Masalahnya, hanya tinggal menunggu waktu saja. Karena siapa pun juaranya, sudahlah tentu mereka yang paling siap untuk menerima takdir mereka sendiri: Juara Dunia 2010.
Paninggilan, 8 Juli 2010. 00.05
Dibuat jelang laga Spanyol VS Jerman
*) foto (c) Getty Images, direpro printscreen dari website FIFA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar