Entah karena bosan sepanjang perjalanan dengan Metro Mini yang merambat dalam kemacetan Negara Bagian Tjiledoeg, aku berkhayal. Membayangkan suatu masa. Barangkali, usai menatap senja di Jakarta yang cahayanya bagai kilatan emas dalam semarak pantulan pencakar langit sepanjang Sudirman ada sesuatu yang mengganggu. Bukan juga karena si pengkhotbah yang juga jualan kopi itu. Disela-sela Kisah Para Rasul, aku mendengar kisah tentang ketidakadilan, kisah yang socially unfair. Itu menurut versinya.
Masih di Metro Mini sialan, ketika hidup (masih) terasa panjang, aku menulis sajak:
aku ingin menikahimu dengan sederhana
dengan ucapan yang tak lekat dengan kata
aku ingin menikahimu dengan sederhana
hanya berhias intan Martapura
aku ingin menikahimu dengan sederhana
tanpa bayangan senja di sela foto pre-wed
juga gegap gempita gedung resepsi di pojok jalan itu
aku ingin sederhana saja
karena aku masih belum tahu
apa makna yang disisakan ijab
itu cinta atau hanya rasa?
dengan ucapan yang tak lekat dengan kata
aku ingin menikahimu dengan sederhana
hanya berhias intan Martapura
aku ingin menikahimu dengan sederhana
tanpa bayangan senja di sela foto pre-wed
juga gegap gempita gedung resepsi di pojok jalan itu
aku ingin sederhana saja
karena aku masih belum tahu
apa makna yang disisakan ijab
itu cinta atau hanya rasa?
Jakarta-Tangerang, 6 Juli 2010. 19.47
*)dengan ingatan pada suatu sore tertanggal diatas, usai hujan reda, sehabis meet and greet, membahas revisi dan hal-hal lain yang belum selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar