Hari-hari awal di Pakutik adalah sebuah refleksi. Refleksi atas segenap ketidakadaan dan segala kemewahan yang hanya mampu ditawarkan oleh impian-impian khas metropolitan. Wangi hujan semalam masih terasa dari daun pohon jambu air di sebelah lapangan bulu tangkis. Embun masih malas bergerak menetes walaupun mentari mulai menggeliat dari balik gunung. Gemuruh pekerja tambang menandakan waktunya bekerja. Anak-anak pergi sekolah sementara orang tua dan kaum muda sebagian beranjak menapaki jalan desa menuju kebun masing-masing. Harmoni yang selalu tercipta dan mengalun syahdu menyambut hari di sekitar desa.
Kalaupun ada ironi tercipta, mungkin itu hanya sekedar rasa takjub. Lebih tepatnya, kurang lebih seperti rasa tidak percaya. Ditengah segala permasalahan atas semua kesenjangan, ada sesuatu yang masih bisa dijadikan simbol kemakmuran. Ukurannya kuantitatif. Dan kalau kau bisa menebaknya tentu jawabannya tidak lebih dari persoalan masyarakat agraris. Bukan. Bukan itu, Kawan.
Arus modernitas yang sering kau dengungkan dengan merdu di setiap seminar, ceramah, dan kuliah umum itu kini perlahan mulai merambah desa-desa sekitar tempat aku tinggal. Betapa teori tentang transaksi dan pertukaran sosial itu kini tampak nyata dihadapanku. Untung saja, kau pernah bilang bahwa menilai masyarakat itu bukan sekedar ilmu pasti. Terlalu banyak variabel yang ikut mempengaruhi unsur-unsur di dalam heterogenitas masyarakat pedesaan.
Fenomena sosial semacam itukah yang pernah mengganggu mimpi-mimpimu setahun kemarin? Aku rasa kau harus mengalaminya sendiri. Tentu saja. Kau harus dengar sendiri bagaimana suara gemericik air di kolam penampungan air dari gunung, dengarkan pula gemuruh badai tropisnya, hingga kesunyian malam yang benar-benar menghadirkan perasaan rawan. Bukankah kau sendiri yang pernah bilang bahwa kau ingin sekali membuktikan teori-teori seputar kehidupan masyarakat pedesaan dan gejala-gejala yang ikut mempengaruhinya?
Barangkali, kau bisa kirimi aku surat pula bila suatu saat kau mau menemuiku. Aku akan ajak melihat kehidupan mereka dari dekat. Aku akan bawa kau lebih dekat pada kebun-kebun mereka yang luasannya tak jauh beda dari Konglomerat penguasa superblok di Sudirman. Mungkin baru kau rasa saat mengalaminya sendiri. Pesanku, tolong buatkan tesis yang tak terbantahkan tentang kehidupan mereka sekalipun aku tahu itu sulit. Tolong jangan berkecil hati karena tiada yang tak mungkin selama dunia ini memberi kita kesempatan untuk menikmatinya.
Salam dari Pakutik,
Pakutik, Sungai Pinang, 5 Agustus 2010. 22.47
NB: Sekedar catatan, Pakutik itu sekitar 3 jam perjalanan dari Martapura, dan sangat jauh dari PIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar