Benar apa yang dibilang Pak Direktur. Bahwa kita harus bicara berdasarkan pada fakta di lapangan. Jadi, jangan bicara kalau belum ada faktanya. Itulah pesan beliau di briefing hari pertama sekaligus penyambutan kami. Waktu itu, kami belum paham kemana arah dan maksud pembicaraan beliau.
Namun, kejadian beberapa waktu lalu menjadi cermin bagi kami untuk menyikapi keadaan. Terutama dikaitkan dengan statement beliau tempo hari. Kami harus hati-hati dalam menyimpulkan sesuatu. Apalagi yang sumbernya berasal dari media. Bukan hasil rilis resmi temuan fakta.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa lagi menelan bulat-bulat apa kata media. Pun, tidak bisa hanya melihat permasalahan dari luar. Konten dan pemberitaan media terkait dengan suatu tendensi entah apalah itu. Media berlaku seperti itu karena memang punya semacam 'tanggung jawab' (yang selalu) mengatasnamakan publik. Demi keingintahuan dan keterbukaan publik.
Kami pun belajar menganalisa dan membandingkan hasil analisa kami di dalam dengan segala macam pemberitaan di media. Baik itu statement dari otoritas yang berwenang maupun komentar para pahlawan kesiangan. Ada suatu missing context dimana terdapat suatu generalisasi yang tergesa-gesa. Menirukan istilah Pak Agus, pengajar mata kuliah Logika di kampus dulu. Imbasnya, publik dibuat semakin bertanya-tanya dan semakin laku pula komentar para pengamat bidang terkait.
Saya pun merasakan perubahan dalam diri saya. Saya tidak dapat lagi memberikan komentar seenaknya di zaman keterbukaan digital seperti sekarang. Saya memang terhubung dengan berbagai media jejaring sosial yang bisa menyuarakan pendapat saya hanya dengan sekali klik dan mendeklarasikannya secara utuh ke seluruh dunia. Tetapi, kalau yang disuarakan itu hanya pepesan kosong apa kata dunia, untuk apa pula? Saya harus mampu melihat dan menafsirkan konteks dan tendensi dari dua sisi, baik dari luar dan dari dalam supaya memiliki 2 sudut pandang yang berbeda dan objektivitas tetap terjaga.
Walaupun, pada kenyataannya ada saja teman yang mengajak debat tetapi saya harus bertahan dengan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Katakan saya bisa membantah apa kata media diluar sana, tetapi apakah bantahan itu berdasarkan fakta yang validitasnya tidak perlu diragukan lagi?
Saya masih harus tetap belajar agar tetap waspada. Supaya tidak membuat atau terkesan 'curhat' (meniru istilah petinggi negeri kita) atau status update yang semangkin (menirukan gaya mantan petinggi negeri kita-alm) mengacaukan isi hati publik yang memang selalu penasaran dan ingin tahu isu-isu sejelas-jelasnya.
Hanya Tuhan yang tahu dimana kebenaran itu berada, tetapi karena itu pula Tuhan menciptakan akal untuk manusia.
Wallahu'alam bis shawab.
Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 25 Mei 2011.
Namun, kejadian beberapa waktu lalu menjadi cermin bagi kami untuk menyikapi keadaan. Terutama dikaitkan dengan statement beliau tempo hari. Kami harus hati-hati dalam menyimpulkan sesuatu. Apalagi yang sumbernya berasal dari media. Bukan hasil rilis resmi temuan fakta.
Saya sadar bahwa saya tidak bisa lagi menelan bulat-bulat apa kata media. Pun, tidak bisa hanya melihat permasalahan dari luar. Konten dan pemberitaan media terkait dengan suatu tendensi entah apalah itu. Media berlaku seperti itu karena memang punya semacam 'tanggung jawab' (yang selalu) mengatasnamakan publik. Demi keingintahuan dan keterbukaan publik.
Kami pun belajar menganalisa dan membandingkan hasil analisa kami di dalam dengan segala macam pemberitaan di media. Baik itu statement dari otoritas yang berwenang maupun komentar para pahlawan kesiangan. Ada suatu missing context dimana terdapat suatu generalisasi yang tergesa-gesa. Menirukan istilah Pak Agus, pengajar mata kuliah Logika di kampus dulu. Imbasnya, publik dibuat semakin bertanya-tanya dan semakin laku pula komentar para pengamat bidang terkait.
Saya pun merasakan perubahan dalam diri saya. Saya tidak dapat lagi memberikan komentar seenaknya di zaman keterbukaan digital seperti sekarang. Saya memang terhubung dengan berbagai media jejaring sosial yang bisa menyuarakan pendapat saya hanya dengan sekali klik dan mendeklarasikannya secara utuh ke seluruh dunia. Tetapi, kalau yang disuarakan itu hanya pepesan kosong apa kata dunia, untuk apa pula? Saya harus mampu melihat dan menafsirkan konteks dan tendensi dari dua sisi, baik dari luar dan dari dalam supaya memiliki 2 sudut pandang yang berbeda dan objektivitas tetap terjaga.
Walaupun, pada kenyataannya ada saja teman yang mengajak debat tetapi saya harus bertahan dengan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Katakan saya bisa membantah apa kata media diluar sana, tetapi apakah bantahan itu berdasarkan fakta yang validitasnya tidak perlu diragukan lagi?
Saya masih harus tetap belajar agar tetap waspada. Supaya tidak membuat atau terkesan 'curhat' (meniru istilah petinggi negeri kita) atau status update yang semangkin (menirukan gaya mantan petinggi negeri kita-alm) mengacaukan isi hati publik yang memang selalu penasaran dan ingin tahu isu-isu sejelas-jelasnya.
Hanya Tuhan yang tahu dimana kebenaran itu berada, tetapi karena itu pula Tuhan menciptakan akal untuk manusia.
Wallahu'alam bis shawab.
Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 25 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar