Judul : Trilogi Insiden
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2010
Tebal : 454 hal.
Genre : Sastra-Kumpulan Cerpen
Membaca kembali kumpulan cerpen Seno tentang Insiden Timor Timur memang menghadirkan kembali segala kenangan pahit dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Disukai atau tidak, karya Seno ini setidaknya telah dianggap sebagai suatu realita, fakta, dan kenyataan atas kejadian yang benar-benar terjadi. Padahal, semua tulisan Seno itu tersaji dalam bentuk cerpen (baca kumpulan cerpen Saksi Mata, Penembak Misterius) dan Novel (Jazz, Parfum, dan Insiden) yang jelas-jelas adalah fiksi rekaan.
Bukan hanya sekali ini saja, karya Seno lainnya-kumpulan cerpen Penembak Misterius- juga mengalami hal yang sama terkait dengan Peristiwa Petrus sepanjang medio 80-an. Masalahnya, sejauh mana batas antara fiksi dan non-fiksi bila keduanya saling mempengaruhi? Agaknya, hal ini merupakan isu utama yang diangkat Seno untuk kebutuhan saling mengingatkan.
Trilogi Insiden terdiri atas 3 karya Seno yang pernah diterbitkan sebelumnya. Kumpulan cerpen Saksi Mata menjadi pembuka atas keseluruhan cerita. Beruntung, kumpulan cerpen ini kembali mengalami cetak ulang untuk memenuhi kebutuhan pembaca yang (mungkin saja) hanya sempat membaca “Jazz, Parfum, dan Insiden” dan atau “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”.
Kumpulan cerpen Saksi Mata, rasanya pantas bila disebut sebagai reaksi penulis atas tidak lengkapnya pemberitaan media mengenai hal-hal yang terjadi sepanjang konflik Timor-Timur. Seno berhasil mendeskripsikan bagaimana teror terjadi di seluruh pelosok Timor. Entah melalui telinga seorang pemberontak yang dikirimkan pada kekasihnya (baca cerpen Telinga) atau kepala yang tertancap di pagar rumah (baca cerpen Kepala di Pagar Rumah Da Silva).
Bukan hanya sekali ini saja, karya Seno lainnya-kumpulan cerpen Penembak Misterius- juga mengalami hal yang sama terkait dengan Peristiwa Petrus sepanjang medio 80-an. Masalahnya, sejauh mana batas antara fiksi dan non-fiksi bila keduanya saling mempengaruhi? Agaknya, hal ini merupakan isu utama yang diangkat Seno untuk kebutuhan saling mengingatkan.
Trilogi Insiden terdiri atas 3 karya Seno yang pernah diterbitkan sebelumnya. Kumpulan cerpen Saksi Mata menjadi pembuka atas keseluruhan cerita. Beruntung, kumpulan cerpen ini kembali mengalami cetak ulang untuk memenuhi kebutuhan pembaca yang (mungkin saja) hanya sempat membaca “Jazz, Parfum, dan Insiden” dan atau “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”.
Kumpulan cerpen Saksi Mata, rasanya pantas bila disebut sebagai reaksi penulis atas tidak lengkapnya pemberitaan media mengenai hal-hal yang terjadi sepanjang konflik Timor-Timur. Seno berhasil mendeskripsikan bagaimana teror terjadi di seluruh pelosok Timor. Entah melalui telinga seorang pemberontak yang dikirimkan pada kekasihnya (baca cerpen Telinga) atau kepala yang tertancap di pagar rumah (baca cerpen Kepala di Pagar Rumah Da Silva).
Jazz, Parfum, dan Insiden sejatinya adalah sebuah novel namun Seno menginginkannya menjadi sebuah roman metropolitan (tercatat di halaman pembuka) yang bercerita tentang seorang wartawan yang mengikuti terus perkembangan berita dari insiden Timor. Mungkin, karena penulisnya tidak ingin novel ini menjadi monoton dan mencekam dengan segala pemberitaan media tentang insiden itu maka untuk mengaburkannya Seno sengaja menambah bumbu-bumbu lain dalam karya yang satu ini: Jazz, Perempuan, dan Parfum.
Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara adalah catatan kepenulisan Seno tentang dua karya sebelumnya yang menyangkut Insiden Dili: “Saksi Mata” dan “Jazz, Parfum, dan Insiden”. Disini Seno menjelaskan bagaimana reaksi media yang tiarap begitu saja ketika diancam oleh kepentingan tertentu dan juga bagaimana reaksi Seno ketika menghadapi pembungkaman dari institusi tempatnya bekerja. Catatan lain yang menarik adalah satu tulisan berjudul “Penulis di Tengah Masyarakat yang Tidak Membaca” yang merupakan pidato Seno dalam Pemberian Anugerah SEA Writing Award di Thailand.
Trilogi Insiden secara keseluruhan menampilkan permainan fiksi dan fakta sangat kental sehingga sulit sekali untuk membedakan keduanya. Boleh dibilang, Seno memadukan keduanya menjadi sesuatu hal yang bias dimana fiksi bisa dianggap sebagai fakta maupun sebaliknya. Sejumlah konflik dan pertentangan dalam cerita-cerita yang disajikan semain menambah kesulitan bagi mereka yang terbiasa hidup di dalam dunia yang hitam putih.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Untuk saya pribadi, dua bagian dalam Trilogi Insiden yaitu “Jazz, Parfum, dan Insiden” dan “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara” sudah saya nikmati sebelumnya. Terlebih ketika saya menemukan edisi berbahasa Inggris dari “Jazz, Parfum, dan Insiden” terbitan Lontar Foundation. Namun, tetap terasa kurang lengkap karena banyak catatan dalam “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara” berbicara dan merujuk pada cerita-cerita didalam Saksi Mata. Maka, dengan alasan melengkapi referensi dan juga untuk bisa mengalami sendiri kesan dari Saksi Mata maka tidak salah bila akhirnya Trilogi Insiden berjajar dengan saudara tuanya di rak buku.
Yang menarik dari Saksi Mata sepanjang pengamatan saya adalah rentang waktu penerbitan cerpen-cerpen yang berdekatan sehingga seakan-akan membentuk suatu sekuen. Mungkin saja, Seno merasa harus segera mengutarakan isi kepalanya agar fakta-fakta tentang insiden tersebut tidak hilang begitu saja dan segera direkam sejarah.
Kesan yang saya tangkap dari Saksi Mata, sebagai entitas pembuka dalam Trilogi Insiden ini sangat kuat. Bahwa fiksi pun bisa mewakili suatu yang dianggap fakta dan malah kadang dianggap sebagai kebenaran sebagai sesuatu yang pernah terjadi dan benar-benar berlangsung. Berbeda dengan “Jazz, Parfum, dan Insiden” yang dikemas begitu apik sebagai novel dengan bumbu-bumbu khas metropolitan: Perempuan dan parfumnya, maupun “Ketika Jurnalisme Dibungkan, Sastra Harus Bicara” yang penuh dengan catatan pribadi penulis tentang proses kreatif hingga proses ‘pembungkaman’ yang dilakukan oleh pemangku kepentingan tertentu.
Ya, kadang kita tidak perlu berjuang hingga berdarah-darah untuk menyuarakan kebenaran. Melalui Trilogi Insiden, kiranya tidak berlebihan bila karya Seno ini adalah sebagai catatan sejarah dan bukti perjuangan. Catatan sejarah karena Trilogi Insiden menyuguhkan suatu rentetan peristiwa pada waktu tertentu dan menjadi bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sungguh pun demikian, Trilogi Insiden juga layak disebut sebagai catatan perjuangan pribadi Seno pada khususnya untuk mengingatkan kita semua terhadap sesuatu. Perjuangan melawan lupa.
Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 16 September 2011.
Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara adalah catatan kepenulisan Seno tentang dua karya sebelumnya yang menyangkut Insiden Dili: “Saksi Mata” dan “Jazz, Parfum, dan Insiden”. Disini Seno menjelaskan bagaimana reaksi media yang tiarap begitu saja ketika diancam oleh kepentingan tertentu dan juga bagaimana reaksi Seno ketika menghadapi pembungkaman dari institusi tempatnya bekerja. Catatan lain yang menarik adalah satu tulisan berjudul “Penulis di Tengah Masyarakat yang Tidak Membaca” yang merupakan pidato Seno dalam Pemberian Anugerah SEA Writing Award di Thailand.
Trilogi Insiden secara keseluruhan menampilkan permainan fiksi dan fakta sangat kental sehingga sulit sekali untuk membedakan keduanya. Boleh dibilang, Seno memadukan keduanya menjadi sesuatu hal yang bias dimana fiksi bisa dianggap sebagai fakta maupun sebaliknya. Sejumlah konflik dan pertentangan dalam cerita-cerita yang disajikan semain menambah kesulitan bagi mereka yang terbiasa hidup di dalam dunia yang hitam putih.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Untuk saya pribadi, dua bagian dalam Trilogi Insiden yaitu “Jazz, Parfum, dan Insiden” dan “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara” sudah saya nikmati sebelumnya. Terlebih ketika saya menemukan edisi berbahasa Inggris dari “Jazz, Parfum, dan Insiden” terbitan Lontar Foundation. Namun, tetap terasa kurang lengkap karena banyak catatan dalam “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara” berbicara dan merujuk pada cerita-cerita didalam Saksi Mata. Maka, dengan alasan melengkapi referensi dan juga untuk bisa mengalami sendiri kesan dari Saksi Mata maka tidak salah bila akhirnya Trilogi Insiden berjajar dengan saudara tuanya di rak buku.
Yang menarik dari Saksi Mata sepanjang pengamatan saya adalah rentang waktu penerbitan cerpen-cerpen yang berdekatan sehingga seakan-akan membentuk suatu sekuen. Mungkin saja, Seno merasa harus segera mengutarakan isi kepalanya agar fakta-fakta tentang insiden tersebut tidak hilang begitu saja dan segera direkam sejarah.
Kesan yang saya tangkap dari Saksi Mata, sebagai entitas pembuka dalam Trilogi Insiden ini sangat kuat. Bahwa fiksi pun bisa mewakili suatu yang dianggap fakta dan malah kadang dianggap sebagai kebenaran sebagai sesuatu yang pernah terjadi dan benar-benar berlangsung. Berbeda dengan “Jazz, Parfum, dan Insiden” yang dikemas begitu apik sebagai novel dengan bumbu-bumbu khas metropolitan: Perempuan dan parfumnya, maupun “Ketika Jurnalisme Dibungkan, Sastra Harus Bicara” yang penuh dengan catatan pribadi penulis tentang proses kreatif hingga proses ‘pembungkaman’ yang dilakukan oleh pemangku kepentingan tertentu.
Ya, kadang kita tidak perlu berjuang hingga berdarah-darah untuk menyuarakan kebenaran. Melalui Trilogi Insiden, kiranya tidak berlebihan bila karya Seno ini adalah sebagai catatan sejarah dan bukti perjuangan. Catatan sejarah karena Trilogi Insiden menyuguhkan suatu rentetan peristiwa pada waktu tertentu dan menjadi bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sungguh pun demikian, Trilogi Insiden juga layak disebut sebagai catatan perjuangan pribadi Seno pada khususnya untuk mengingatkan kita semua terhadap sesuatu. Perjuangan melawan lupa.
Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 16 September 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar